KABUL (Arrahmah.id) – Komite Sentral untuk “Ru’yat Hilal” Mahkamah Agung Afghanistan mengumumkan penampakan hilal Syawal pada Kamis (20/4/2023) dan menetapkan Idulfitri 1 Syawal pada Jumat (21/4/2023) sebagaimana disampaikan melalui channel Telegram Afghanistan_Arabic.
Meski tengah mengalami krisis ekonomi akibat sanksi AS, warga Afghanistan tetap semangat dan bahagia menyambut Idulfitri. Sudah menjadi kebiasaan, orang-orang Afghanistan akan membeli buah-buahan segar dan kering, aneka jenis kue, dan berbagai hidangan selama tiga hari festival Idulfitri untuk menandai akhir Ramadhan.
Namun, lembaga bantuan (PBB) memperkirakan bahwa 28,3 juta warga Afghanistan, yang merupakan sekitar dua pertiga dari populasi, akan membutuhkan bantuan kemanusiaan pada tahun ini, 6 juta diantaranya sudah hampir kelaparan.
“Harga meroket dan orang-orang hidup dalam kemiskinan ekstrim. Bisnis jatuh dan hanya sedikit orang yang bisa membeli buah-buahan segar dan kering untuk Idul fitri mereka,” kata Fazal Rahman, yang berjalan-jalan di pasar Kabul untuk membeli manisan dan buah-buahan untuk Idulfitri.
“Saya hanya bisa membeli buncis dan beberapa permen. Saya ingin membeli pistachio dan almond tapi tidak bisa,” kata Rahman, seraya menambahkan bahwa sanksi AS telah “secara serius” berdampak pada harga komoditas di Afghanistan.
Menyusul penarikan pasukan pimpinan AS dari negara Asia itu, aset Afghanistan senilai lebih dari US$9 miliar dibekukan oleh Amerika Serikat sebagai bagian dari sanksinya terhadap penguasa baru negara ini.
“Harapan saya adalah agar uang Afghanistan tidak dibekukan, untuk menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kondisi kehidupan,” kata Rahman, ayah tujuh anak.
Hal yang sama juga disampaikan Rustam, seorang penjual buah berusia 35 tahun, mengatakan bahwa masalah ekonomi saat ini telah sangat mengurangi daya beli masyarakat, dan karenanya mempengaruhi kemampuan mereka untuk menghias meja dengan buah-buahan dan manisan.
“Harga 1 kg jeruk adalah 150 afghani dan harga 1 kg pir adalah 400 afghani. Tidak ada yang mampu membelinya. Ketika seseorang tidak mampu membeli roti pipih, bagaimana mereka mampu membeli buah? ,” katanya sambil menambahkan bahwa “situasi ekonomi masyarakat telah 100 persen memburuk sebagai akibat langsung dari sanksi tersebut.”
Rustam juga mengeluhkan bahwa dia biasanya mendapatkan sekitar 100.000 afghani selama Ramadhan di masa lalu, tetapi dia hampir tidak mendapatkan 25.000 afghani tahun ini.
Zahir Behzad, peneliti ekonomi dari Otoritas Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan Teknis Afghanistan, mengatakan sanksi bisa menjadi salah satu faktor utama yang menggerogoti daya beli masyarakat.
“Tentu saja, sanksi telah mempengaruhi sistem perbankan karena perusahaan investasi dan investor asing telah menyerah. Mereka tidak membelanjakan proyek pembangunan di Afghanistan, karena mereka menghadapi masalah dalam menyimpan, menarik, dan mentransfer uang,” katanya. (zarahamala/arrahmah.id)