JAKARTA (Arrahmah.com) – Adian Husaini berpendapat bahwa isu negara Islam sebenarnya tidak penting. Yang terpenting adalah apakah umat Islam sekarang ini bisa menjadikan negeri muslim ini sebagai negeri yang baldatun thoyyibatun warrabbun ghafur, negeri yang dibawah naungan ridho Ilahi.
“Saya tidak bicara label negara Islam. Yang jelas, dengan Pancasila sebagai dasar negara, telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada umat Islam untuk menjalankan agamanya dan membangun negeri ini, negeri muslim yang besar,” kata Adian saat dijumpai disela-sela acara diskusi di Jakarta.
Adian mengungkapkan, final tidaknya Pancasila dikhawatirkan akan menggiring konsep menyamakan Pancasila dengan wahyu. Yang diperlukan sekarang ini bukanlah penguatan Pancasila, tapi mendudukkan Pancasila secara tepat dan proporsional serta menfasirkannya secara benar pula, seperti yang dimaui oleh para perumus Pancasila itu sendiri. Namun ironisnya, Pancasila telah diselewengkan sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi.
Adian menekankan bahwa yang harus dirumuskan dari Pancasila adalah mendudukan Pancasila sebagai dasar negara, tapi jangan menarik Pancasila ke hal-hal yang berlebihan, seperti Pancasila sebagai pandangan hidup. Bukankah dalam setiap agama, punya konsepnya masing-masing tentang pandangan hidup. Karena itu, jangan mencari konsep tuhan, alam dan moral menurut Pancasila. Dalam Islam sendiri, punya konsep Ketuhanan, begitu juga dengan Kristen.
Adian menjelaskan pandangannya yang menganggap Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, yang merujuk pada tokoh Islam Muhammad Natsir tahun 1954 yang mengatakan, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam karena memang Pancasila dari awal disepakati oleh para tokoh nasionalis maupun tokoh Islam.
“Yang diprotes kemudian oleh tokoh Islam pada masa Orla dan Orba adalah penafsiran yang menyimpang dari Pancasila, misalnya Pancasila ditafsirkan secara Nasakom, dimana Pancasila justru mengakomodir komunisme. Hal itulah yang tidak bisa diterima oleh tokoh Islam. Jadi, bukan Pancasilanya, yang tidak bisa diterima, tapi ketika Pancasila dijadikan sebagai worldview atau rumusan kehidupan. Tidak bisa, konsep ketuhanan dirumuskan oleh Pancasila. Dan sudah pasti, akan bertabrakan dengan konsep agama, terutama Islam,” papar Adian.
Adian menekankan seharusnya Pancasila tidak masuk ke wilayah worlview tersebut. Sebab, worldview itu wilayahnya agama. Karena itu, jangan jadikan Pancasila sebagai landasan moral atau perilaku. Dikhwatirkan menjadi bias dan menimbulkan kebingungan. Orang yang berilaku menurut Pancasila akan bertabrakan dengan Islam. Mengingat Islam sendiri sudah punya konsep perilaku.
Sementara itu Adian mengungkapkan bahwa dirinya menggunakan perspekstif Kasman Dimedjo, yang mengatakan Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Pancasila memberikan kesempatan kepada umat Uslam untuk berjuang menjalankan agamanya.
Dengan Pancasila, lanjut Adian, umat Islam tidak dilarang untruk membaca Al Qur’an, menjalankan shalat, zakat dan sebagainya, bahkan sampai menerapkan syariat Islam, seperti di Aceh. Di Aceh, orang yang menjalan syariat Islam apakah akan dianggap melanggar pancasila? Tentu tidak.
Menurut Adian, Piagam Jakarta adalah dokumen resmi, yang ditegaskan dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Bung Karno. Adapun dekrit itu merupakan satu kesatuan dengan Konstitusi UUD 1945. Setelah dekrit tersebut berlaku, banyak produk per-Undang-undangan di Indonesia yang konsdirennya mengacu pada Piagam Jakarta.
“Piagam Jakarta tidak pernah dipersoalkan. Tapi begitu masuk Orde Baru, banyak pihak yang alergi, mereka takut jika umat Islam menjalankan syariah. Padahal, jika umat Islam menjalankan syariah, sesungguhnya dijamin oleh konstitusi. Walaupun tidak secara eksplisit tujuh kata dicantumkan lagi, tapi yang jelas dekrit itu mengakomodir Piagam Jakarta,” tukas Adian.
Dengan demikian, secara operasional, Pancasila akan dijadikan acuan membentuk perundang-undangan, baik di bidang ekonomi, politik, maupun keagamaan. Sebagai contoh, melarang Ahmadiyah, tentu tidak melanggar ataupun bertentangan dengan Pancasila. Hal inilah yang terus diperjuangkan kelompok liberal untuk mencabut pasal penodaan agama (PNPS tahun 1965) karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Dikarenakan Pancasila yang sekarang mengacu pada rumusan Dekrit Presiden 5 juli 1959, maka berarti tidak boleh ada peratuaran perudangan-undangan di Indonesia yang bertentangan dengan syariah. “Kita bukan kembali pada rumusan Pancasila 18 Agustus ataupun 1 Juni, tapi 5 Juli 1959. Jadi tanggal 1 Juni itu bukan kelahiran Pancasila, tapi hari pidato Bung Karno di BPUPK. Kelahiran Pancasila adalah pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diterima resmi secara nasional oleh komponen bangsa.
Sementara itu dikatakan Pengamat politik dan budayawan Betawi Ridwan Saidi menegaskan, yang menjadi masalah UUD 45 ini diacak-acak oleh reformasi, Pancasila itu sendiri disingkirkan oleh tokoh reformasi. Mereka itu tiada lain SBY, Amin Rais, Abdurrahman Wahid. Mereka inilah yang menyingkirkan Pancasila. Tapi kemudian ingin mengaktifkan lagi.
“Sudahlah jangan buang-buang waktu. Jangan kita hina-hina Pancasila. Sebab, Pancasila itu juga karya ortu kita dulu. Jangan Islam diadu-adu. Islam itu sudah luhur. Yang jadi soal, Pancasila itu disepak. Mereka buat per-undang-undangan yang liberal,”tandasnya
Ridwan Saidi mengatakan bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bersandarkan pada Piagam Jakarta, yang kemudian melahirkan UUD 45. Tapi UUD 45 diacak-acak oleh komplotan Amin Rais dan Abdurrahman Wahid, yakni UUD 45 yang diamandemen. Akibatnya, hancurlah negara ini. Sekarang, ada upaya untuk mengaktifkan lagi Pancasila. Yang jelas, umat Islam punya garis yg tegas, setia pada negara ini, karena sejak awal umat Islam ikut mendirikan negara ini. (voaI/rasularasy/arrahmah.com)