Oleh Sri Hardjanti*
(Arrahmah.com) – Kebijakan pemblokiran 19 situs media Islam oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) atas instruksi BNPT rupanya menjadi buah simalakama bagi kedua institusi pemerintah tersebut. Dari awal pemblokiran, hingga pembukaan blokade situs, tidak satu pihak pun dapat meneladankan penerapan sistem manajemen mutu (SMM) yang profesional kepada masyarakat.
Jika kita runut dengan pendekatan proses, sejak awal pemblokiran, BNPT dan Kemkominfo tidak dapat memenuhi kebutuhan situs media Islam sebagai “pelanggannya”, berupa informasi resmi terkait surat pemberitahuan atau peringatan akan diadakannya pemblokiran. Sementara, menurut Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika No.19 tahun 2014, terkait payung hukum tata cara pemblokiran situs-situs yang memuat konten negatif seperti judi, pornografi dan SARA dikatakan bahwa,
“Pada bab IV pasal 5 dan Bab VI pasal 11 disebutkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) langsung membentuk tim dan mengkaji laporan itu, dipimpin oleh seorang Dirjen di Kemkominfo. Kemkominfo bisa memanggil situs yang dilaporkan, baru memberi peringatan kepada pengelola situs tersebut melalui email jika memang benar ada konten yang bermuatan negatif.”
Bahkan, termaktub dalam UU No 40 tentang Pers tahun 1999 pasal 4 ayat 2 tertulis: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dengan demikian, kedua pihak pemblokir telah melanggar regulasi yang berlaku untuk pemblokiran, sehingga menurunkan kredibilitas organisasi mereka sendiri.
Bahkan, selain keduanya saling menuding siapa yang melakukan maladministrasi – dengan tidak dapat menghadirkan bukti dokumentasi surat perintah pemblokiran situs dari BNPT kepada Kemkominfo- di akhir kemelut ini, Rudiantara selaku menkominfo tidak mengetahui keputusan Tim Panel Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (FPSIBN) terkait pembukaan akses 12 situs yang diblokir itu.
Yang lebih parah, pernyataan Menkominfo yang berlepas tangan dari merehabilitasi nama baik situs media Islam yang diblokir dan dicap radikal, sama sekali jauh dari bentuk tindakan koreksi atas kealfaannya dalam kasus pemblokiran sepihak ini.
Maka, sebagai lembaga pemerintah, baik BNPT maupun Kemkominfo dapat dikatagorikan malefisien dan tergolong melakukan kesalahan mayor dalam kinerjanya. Hal ini dapat kita lihat dari kesalahan akibat ketiadaan:
- definisi “situs radikal” yang disepakati secara konvensional
- perencanaan yang memadai terkait kebijakan pemblokiran hingga ke tataran teknis
- manual pemblokiran yang sesuai undang-undang
- siapa institusi utama pemegang kendali kebijakan ini
- siapa vocal point dari pemblokiran ini
- pembagian tanggung jawab dan wewenang semua institusi yang terkait dalam pemblokiran
- komunikasi dan koordinasi resmi antara BNPT, Kemkominfo, dan 19 situs media Islam
- verifikasi dan validasi surat perintah pemblokiran
- evaluasi, pemilihan, pemantauan, dan penjaringan situs yang akan diblokir sebelum pemblokiran
- evaluasi efektifitas dan dampak pemblokiran sewenang-wenang ini terhadap situs media Islam dan masyarakat umum
- tindakan koreksi melalui upaya memperbaiki masalah yang terdeteksi dan mencegah terulangnya
Oleh karenanya, BNPT dan Kemkominfo dihimbau untuk menerapkan sistem manajemen mutu secara profesional, agar tidak tercoreng konduitenya, apalagi sampai “dilikuidasi”. Keduanya harus mulai belajar menetapkan, mengumpulkan, dan menganalisis data yang sesuai untuk efektifitas kinerjanya, apalagi ini sangat mempengaruhi nama baik pihak lain, dalam hal ini 19 situs media Islam.
Tentunya mencegah dan mengendalikan kebijakan yang tidak sesuai lebih baik bukan? Jika BNPT dan Kemkominfo lebih cermat dan berhati-hati dalam mengambil kebijakan, insyaa Allah kedepannya dapat menghindari potensi masalah serupa, apalagi ini berhubungan dengan animo Ummat Islam Indonesia terhadap pemerintah, yang diwakili oleh BNPT dan Kemkominfo.
*penulis adalah pemerhati penerapan ISO 9000:2001
(adibahasan/arrahmah.com)