(Arrahmah.com) – Ulama Ahlussunnah bersepakat bahwa tidak ada Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar dalam perkara yang masih diperselisihkan. Kita mengikuti manhaj pertengahan yang mencerminkan keseimbangan dan keadilan, jauh dari sikap berlebihan maupun mengurangi ajaran agama. Kita mengutamakan muhkamat bukan mutasyabihat, dan kita tidak memastikan serta menolak dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
Kita juga membatasi pengertian dan istilah di mana terkadang Ulama membatasi beberapa pemahaman yang menjadi sebab terjadinya perselisihan. Kita menggarap masalah besar yang dihadapi ummat mempunyai skala prioritas dalam beramal. Kita bekerjasama dalam masalah yang telah disepakati. Kita menahan diri dari orang yang mengucapkan “Laa ilaaha illallaah”. Nah, bagaimanakah dengan Aman Abdurrahman Hadahullah dan yang semisal dengan dirinya?
Sebuah studi kritis yang disampaikan oleh Abu Jihad Al-Indunisy dan dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Ahad (1/2/2015) berikut ini merupakan lanjutan dari studi kritis bagian pertama sebelumnya yang mengupas adab dan akhlak khawarij masa kini. Pada bagian kedua ini, pembahasan studi mencakup penjelasan mengenai posisi ajaran Akh Aman Abdurrahman di hadapan manhaj Ahlussunnah dalam mengamalkan Dien.
Selain menyajikan sejumlah rambu metodologis Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengamalkan ajaran Islam serta bagaimana posisi ajaran Akh Aman Abdurrahman dalam hal ini, studi ini juga memberi penjelasan mengenai solusi untuk menjaga diri kita dari fitnah takfiri. Berikut pembahasan selengkapnya.
Demikian sifat-sifat umum yang melekat pada diri mereka, dampak pemahaman ini juga melahirkan cara-cara beragama yang menyelisihi kebanyakan Ahlus Sunnah, di antaranya adalah :
1. Tidak Memakan Daging Sembelihan
Alasan mereka adalah tidak jelasnya aqidah orang yang menyembelih hewan potong tersebut, hingga menimbulkan syubhat tersendiri bagi mereka. Jelas ini adalah pemahaman Takfiri dikarenakan mereka tidak mempercayai sembelihan orang Islam lainnya. Ketika kami sama-sama dipenjara di Polda Jakarta, kami merasakan betul bagaimana kelompok sesat ini menuliskan risalah agar berhati-hati memakan daging hewan potong ini, isi surat berikutnya terkadang membolehkan dengan syarat-syarat dengan alasan tersyubhat. Ketika kami menjalani sidang di PN Jakarta Barat, salah satu Amir dari kelompok mereka ini disuguhi nasi padang dengan daging ayam, maka mereka marah-marah dengan mengatakan mereka disuguhi bangkai ayam dan mereka meminta di belikan telur ayam.
Pertanyaannya, mengapa mereka mengatakan sebagai bangkai ayam? Bukankah ayam potong ini dipotong oleh orang-orang Islam? Ataukah kita sudah mengkafirkan seluruh kaum muslimin di Indonesia?
Dalam situs Mimbar Tauhid wal Jihad, terdapat dialog menarik berkenaan dengan persoalan ini, pertanyaan yang diajukan sangat memiliki kemiripan dengan kondisi di Indonesia, di bawah ini kami sajikan terjemahannya:
Pertanyaan:
“Apa hukum orang yang bertanya tentang daging yang diperoleh dari pasar Halab dan Damaskus yang didiami oleh ahlussunnah, tetapi banyak tersebar kemurtadan. Apakah kita menahan diri dari makan daging sampai kita mengetahui secara yakin orang yang menyembelih atau dibangun di atas dasar bahwa ini termasuk negeri Islam dan bukan wilayah kekuasaan Islam yaitu banyak kaum muslimin yang mendiaminya? Apa pendapat Anda?
Bagaimana pendapat para ulama yang disertai dalil-dalil?
Perlu diketahui, Syaikh Sulaiman Al-Ulwan ketika ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: “Ini bukan termasuk masalah din, wallahu a’lam.”
Berilah kami fatwa dengan menjelaskan dalil-dalilnya.”
Penanya: Koresponden Al-Mimbar
Jawaban:
Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi yang mulia, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Ketika kaum muslimin adalah mayoritas penduduk suatu negeri dan orang-orang kafir minoritas, maka dihukumi negeri ini dengan keislamannya dan dimakan sembelihannya tanpa bertanya siapa yang menyembelih karena minoritas tidak ada hukum baginya. Karena sembelihan syar’i berdasarkan mayoritas, maka boleh memakan sembelihan tanpa bertanya, berdasarkan hukum asal.
Dalil tentang masalah itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya:
Bahwa suatu kaum datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata: Sesungguhnya suatu kaum datang kepada kami dengan membawa daging yang kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya atau tidak. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebutlah nama Allah atasnya dan makanlah kalian!”
Para ulama berkata : “Dalam hadits ini terdapat dalil (kaidah fikih) bahwa perbuatan dibawa pada keadaan sah sampai ada dalil akan fasadnya (kerusakannya).”
Adapun ketika penyandaran pada orang-orang kafir itu besar nilainya, mendekati 1/3 atau kurang lebih maka menjadi negeri yang terkumpul antara kaum muslimin dan orang-orang kafir. Ketika itu harus mengambil kehati-hatian yang menjamin seorang muslim tidak makan dari sembelihan orang-orang kafir.
Jika mayoritas di suatu negeri adalah tidak ada sembelihan syar’i atau mencapai jumlah yang menuntut keraguan akan kesahannya maka wajib menahan diri dari memakan sampai bisa dipastikan adanya sembelihan syar’i dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Para ulama bersepakat bahwa daging tidak halal kecuali dengan disembelih. Apabila terdapat keraguan akan syar’i tidaknya penyembelihan maka daging tetap pada hukum asal haram sampai diyakini kehalalannya. Seperti binatang buruan yang diragukan sebab kematiannya maka haram memakannya sebelum dipastikan penyembelihannya, berdasarkan hadits ‘Adi bin Hatim rodhiallahu ‘anhu, berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku melepas anjingku, lalu aku dapati ada anjing lain bersamanya”. Beliau bersabda: “Janganlah engkau makan karena engkau hanya mengucapkan basmalah ketika melepas anjingmu dan engkau tidak mengucapkan basmalah pada anjing yang lain.” (HR. Bukhari)
Ibnul Qoyyim berkata : “Ketika hukum asal dalam sembelihan adalah haram dan dia ragu apakah didapati syarat yang menghalalkannya atau tidak maka binatang buruan itu tetap pada hukum asalnya yaitu haram.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/340)
Ibnu Qudamah berkata : “Jika tercampur saudara perempuannya dengan perempuan ajnabiyah (asing/bukan mahrom) atau bangkai dengan sembelihan, maka kami haramkan bangkai dengan sebab kematiannya dan yang lain dengan sebab kesamarannya.” Kaum berkata, “Hewan sembelihan adalah halal, tetapi wajib menahan diri darinya.” (Raudhatun Nazhir)
Ibnu Qudamah berkata juga : “Kehalalan itu terhenti di atas syarat sembelihan orang yang layak menyembelih atau hewan buruannya yang tercapai sembelihan dengannya.” (Al-Mughni 21/305)
Oleh karena itu, kami mengatakan: “Apabila negeri itu tercampur di dalamnya kaum muslimin dan orang-orang kafir, kaum muslimin tidak sampai mayoritas maka selayaknya bagi seorang muslim untuk mengetahui siapa sebenarnya yang menyembelih di negeri itu. Jika mayoritas mereka adalah kaum muslimin maka dimakan dagingnya tanpa bertanya. Jika mayoritas mereka adalah orang-orang kafir maka menahan diri dari memakan darinya karena pengambilan dasar hukum berdasarkan mayoritas, minoritas tidak ada hukum baginya sebagaimana telah kami jelaskan.”
Memungkinkan juga untuk disandarkan pada pembagian negeri dimana dibedakan daerah dan suku yang ditinggali oleh kaum muslimin, lalu dia membeli daging darinya, bukan yang lain.
Wallahu a’lam.
Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Dijawab oleh anggota Al-Lajnah Asy-Syar’iyah :
Asy-Syaikh Abul Mundzir Asy-Syinqithi hafizhahullah
Dengan keterangan di atas mereka justru tidak mau memakan daging sembelihan dengan alasan syubhat. Padahal dengan hukum masyarakat yang mayoritasnya adalah muslim, maka sembelihannya pun halal sembelihannya begitu menurut keterangan ulama di atas.
Adapun kondisi seperti di Indonesia sama dengan pertanyaan di atas. Karena Indonesia adalah negara mayoritas muslim maka layak untuk kita memakan sembelihannya. Akan tetapi, lihatlah apa yang dilakukan kelompok takfiri ini, mereka justru menuduh bahwa daging sembelihan di pasar-pasar itu sebagai bangkai yang tidak layak dimakan. Barangkali jika ini dilakukan oleh individu dengan sikap wara mungkin sah-sah saja, akan tetapi dengan memegang keyakinan ini dengan mengajak orang banyak, kemudian mentahzhir orang yang tidak sependapat dengannya juga bukan perbuatan yang baik dan bijak, masalah sepele ini kemudian menjadi sumber kebencian dan permusuhan, na’udzubillah min dzalik.
Untuk itu kembali kepada persoalan di atas adalah khilafiyah dan selama dia tidak menimbukan permusuhan dan kebencian maka itu tidak mengapa, adapun jika mereka ngotot dengan pendapatnya maka ketahuilah bahwa sifat-sifat ini adalah sifat was-was yang di akibatkan pemahaman takfiri ini . Wallaahu ‘alam
2. Menikah Tanpa Wali
Mungkin, bisa dikatakan bahwa kami telah menyaksikan belasan kali prosesi pernikahan ikhwah didalam penjara. Alhamdulillah, hal ini kami syukuri karena perjuangan menegakkan agama Allah tidak menghalangi kita mencari jodoh. Bahkan, terlihat dalam banyak hal kita dimudahkan oleh Allah ta’ala. Baik di dalam mencari jodoh sendiri hingga dicarikan,dari mahar dan acara walimah semua dimudahkan. Alhamdulillah!
Akan tetapi jika perhatikan ada permasalahan baru yang muncul yaitu tidak adanya wali yang sah atau berkompeten untuk menikahkan gadis akhwat ini dengan alasan ayahnya bukan muwahhid, aqidahnya bermasalah, bapaknya masih nyoblos dan alasan-alasan lainnya. Sehingga, mereka mencari jalan pintas dengan mencari wali hakim menurut selera mereka, dengan alasan yang bermacam-macam yang sepertinya menabrak rambu syariat.
Padahal, keberadaan wali merupakan rukun dalam akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak sah menikah tanpa wali. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kesimpulan, ini, diantaranya:
- Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:‘Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali’. (HR. Abu Daud 1785, Turmudzi 1101 dan Ibnu Majah 1870).
- Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal.” (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).
Yang harus dipahami tidak semua orang bisa menjadi wali. Allah menghargai hubungan kekeluargaan manusia. Karena itu, keluarga lebih berhak untuk mengatur dari pada orang lain yang bukan kerabat. Allah ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Anfal: 75)
Syaikh Athiyyatullah rahimahullah menggambarkan pernikahan tanpa wali yang sah ini sebagai Zina Ghairus Sharih. Adapun jika Zina Ash-Sharih adalah zina secara terang-terangan, yakni zina yang tidak ada unsur syubhat (keserupaan dan kesamaran) sama sekali dengan nikah.
Adapun contoh zina yang tidak secara terang-terangan (zina ghairu sharih) atau zina yang mengandung unsur syubhat (keserupaan dan kesamaran) dengan nikah adalah seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan adanya dua saksi namun tidak memakai wali dari pihak wanita, atau memakai wali namun bukan wali yang sah bagi wanita tersebut.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Siapapun wanita yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batil. Jika laki-laki itu telah menggaulinya, maka wanita itu berhak atas mahar karena laki-laki itu telah menikmati kemaluannya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Abu Ya’la, Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi)
Disini kami tidak akan menuliskan satu-persatu nama-nama ikhwah yang menikah dengan cara-cara seperti itu dan kita mendoakan agar ikhwah-ikhwah tersebut diberikan hidayah dan keluarganya menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Namun, dalam hal ini para ikhwah yang pernah mengalami kehidupan di penjara rezim murtad / Rutan Polda waktu itu, ia akan mengetahui perkara ini wal-iyyadzubillah.
3. Buruknya Bertetangga dengan Mereka Hingga Mendiamkan Saudaranya lebih Dari Tiga Hari
Ketidakpahaman mereka akan adab ikhtilaf dan ilmu menyebabkan mereka sesak dada dan tersumbatnya tenggorokan mereka sebagai rasa dongkol mereka karena menyelisihi perkara yang mereka yakini. Kedongkolan mereka membuat mereka kehilangan kewarasan berpikir yang sehat, mereka menjadi gelap mata menuduh orang yang berbeda dengannya sebagai antek-antek musuh tanpa bukti. Bukti yang pegangi hanyalah zhan/ sangkaan yang buruk yang keluar dari hawa nafsu mereka sebagaimana sempitnya akal dan kebodohan mereka dalam melihat realita yang ada.
Buruknya sikap mereka seharusnya tidak perlu terjadi jika mereka sedikit berilmu, sedikit berakhlaq dan memahami adab-adabnya. Kita berungkali menjelaskan bahwa masih adanya celah ruang perbedaan di kalangan ulama dan hal itu masih diperselisihkan. Seyogyanya tidak pantas kita ngotot mempertahankan argumentasi yang kita pegangi, karena tidak ada amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap hal yang masih diperselisihkan.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak perkataan ulama tentang tidak adanya amar ma’ruf nahi munkar dalam perkara ikhtilaf:
- Dalam kitab At-Tadzkirul Jiyad li Ahlil Jihad yang ditulis oleh syaikh Mujahid Abdullah Khalid Adam mengatakan : “Kebanyakan para muhaqqiq/ulama peneliti menegaskan bahwa tidak ada nahi munkar di dalam permasalahan furu’ sebagaimana perkataan Nawawi rahimahullah, sesungguhnya pokok didalamnya adalah saling menasehati dan penjelasan bagi orang yang mampu atas hal itu diantara Ahli ilmu.”
- Imam Al-Ghazali rahimahullah di dalam kitab Ihya Ulumuddien bahkan memberikan syarat-syarat Amar Ma’ruf dan Nahi munkar, yang jika terjadi kemungkaran yang telah diketahui secara umum tanpa ijtihad, maka setiap yang didalamnya masuk dalam ruang lingkup ijtihad maka tidak ada amar ma’ruf nahi munkar didalamnya. (Ihya al-Ulumudien bab al-Mubin al-Mu’in li Fahmil Arba’in hlm. 193-194 )
- Berkata Imam Nawawi rahimahullah di dalam Raudhah : “Sesungguhnya ulama tidak melakukan Nahi Munkar terhadap apa yang tidak disepakati kemungkarannya, adapun perkara yang terdapat perbedaan di dalamnya, maka tidak ada nahi munkar padanya. Karena semua mujtahid benar atau mujtahid itu satu dan tidak ada diantara kita yang tidak mengetahuinya. Dan tidaklah perbedaan di kalangan sahabat, tabi’in, di dalam masalah furu’ dan tidak ada yang mengingkari sesuatu atas selainnya, sesungguhnya pengingkaran terhadap amar ma’ruf nahi munkar dalam perkara yang masih diperselisihkan baik Nash, Ijma’ dan Qiyas adalah perkara yang jelas”. (Raudhatut Thalibin Juz 1 hlm.219-220)
Dengan penjelasan para ulama tersebut, bagaimana mungkin mereka ngotot akan pendapatnya, bahwa dirinya adalah satu-satunya pemilik kebenaran sementara ulama masih berselisih tentangnya? Apakah ia beralasan tengah menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar didalamnya? Menunjukan Izzah? Izzah siapa? Mentahzhir saudaranya bertahun-tahun dengan alasan Nahi Mungkar? Jika tidak, lantas mengapa ini dijadikan alasan mereka meninggalkan kewajiban di dalam agama mereka? Mengapa mereka melakukan hal-hal yang sunnah sementara mereka di sisi lain meninggalkan kewajiban mereka seperti ukhuwah, menjawab salam, senyum kepada saudaranya, bersikap lemah lembut, menghormati ulama-ulama mereka, orang tua mereka di dalam dakwah dan jihad? Di mana adab mereka sebagai thalibul ilmi, mana adab ulama yang katanya takut kepada Allah ta’ala? Bahkan mereka berani menumpahkan darah-darah yang suci dari orang-orang yang terbaik di kolong langit ini, sementara kita kesulitan mencari mutiara-mutiara umat ini ketika kebanyakan manusia rusak didalam nya?
4. Memfitnah dan Berdusta menjadi kegemaran mereka
Sifat di atas sudah menjadi hobi tersendiri bagi mereka, mereka pun sudah mencapai puncak kenikmatan atas hobinya yang baru ini, klimaksnya adalah “Kelezatan tauhid adalah mengkafirkan seseorang, yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang bertauhid.” Sebagaimana yang dikatakan Abu Syami seorang Syar’i IS di suatu halaman Twitter mereka, lalu kelezatan dalam apa? Kenikmatan yang mana? Inikah aqidah dan Manhaj mereka yang menghalalkan pembunuhan seorang muslim?
Wallahi, setelah terbitnya majalah Dabiq edisi ke 6 semakin menguatkan kami bahwa mereka adalah Khawarij. Dari isi majalah yang kami baca telah jelas fitnah dan kedustaan mereka, kami tidak perlu menyebutkan satu persatu karena begitu banyak nya kedustaan mereka yang mungkin 1000 lembar kertas tidak cukup melukiskan dan menuliskan kejahatan merekaa, semoga Allah ta’ala memudahkan kami membongkar kedustaan dan kebusukan aqidah mereka.
Sungguh Khawarij dahulu terkenal kejujuran nya karena khawatir terjatuh kepada dosa besar yang menyebebkan mereka keluar dari millah Islam, sedangkan khawarij zaman sekarang lebih buruk dikarenakan mereka berani berdusta, berkhianat, mengada-adakan lalu ditakwilkan, dengan takwilannya mereka membunuh kaum muslimin. Jika khawarij zaman dahulu keliru dalam takwilan, mereka justru mengtakwilan hal yang tidak ada nash nya, seperti nya mengklaim bahwa daulah adalah janji Allah ta’ala kepada mereka, dan wajib nya baiat kepada mereka, bahwa mereka adalah kelompok yang benar.
5. Tidak Mau Shalat di Masjid dengan Alasan Masjid Dhirar
Pembaca, walaupun secara lahiriah masjid Quba’ sangat sederhana namun Allah menyebut masjid ini sebagai masjid yang dibangun atas dasar ketakwaan sejak awal berdirinya. Sementara orang-orang yang berada di dalamnya adalah orang-orang yang selalu membersihkan diri mereka, penegasan dari Allah ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat ke 108.
Setelah masjid Quba’ berdiri dan menjadi pusat kegiatan umat Islam mulailah orang-orang munafik merasa tidak tenang atas persaudaraan yang erat di kalangan umat Islam. Mereka lantas membangun masjid Dhirar yang bagus di Madinah untuk memecah belah persaudaraan dan melemahkan persatuan umat Islam.
Bagaimana sebenarnya awal dari masjid dhirar ini?
Di Madinah ada seorang pendeta Nasrani dari suku Khazraj bernama Abu Amir. Di kalangan Bani Khazraj ia memiliki kedudukan penting. Ketika Rasulullah datang ke Madinah, dan masyarakat termasuk Bani Khazraj, berbondong-bondong masuk Islam dan mengikuti beliau, Abu Amir mengambil sikap penentangan dan permusuhan. Ia kemudian pergi ke Mekkah meminta bantuan kaum musyrik Quraisy untuk memerangi Rasulullah SAW.
Bukan hanya itu, setelah melihat makin meluasnya dakwah Islam, Abu Amir lantas pergi menemui Raja Romawi, Heraklius, meminta bantuan untuk menghadapi Rasulullah SAW. Kepada Abu Amir, Heraklius menjanjikan apa yang diinginkannya. Kemudian ia tinggal di wilayah Heraklius. Nah, dari “tempat pengasingan” inilah, Abu Amir menulis surat kepada orang-orang munafik di Madinah yang menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan oleh Heraklius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk merealisasikan rencana jahat yang tertuang dalam suratnya tersebut.
Mereka kemudian membangun sebuah masjid di dekat Masjid Quba’. Masjid ini telah selesai mereka bangun sebelum Rasulullah SAW berangkat ke Tabuk. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah, meminta agar beliau mau salat di tempat itu untuk dijadikan sebagai dalih dan bukti persetujuan. Kaum munafik itu beralasan masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Tetapi, Allah ta’ala melindungi Rasulullah SAW dari melaksanakan shalat di masjid tersebut. Atas permintaan itu Nabi SAW menjawab, “Kami sekarang mau berangkat. Insya Allah, nanti setelah pulang.”
Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah SAW tiba di Madinah dari perjalanan Perang Tabuk, Malaikat Jibril turun menyampaikan berita tentang masjid Dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan bertujuan memecah belah jamaah kaum Muslimin. Rasulullah kemudian mengutus beberapa sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya).
Berkaitan dengan Masjid ini, turunlah firman Allah SWT, Surat At-Taubah ayat 107-108 yang membongkar hakikat masjid dhirar. Allah melukiskan motivasi dibalik didirikannya masjid Dhirar tersebut dalam firman-Nya:
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang Mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin, serta menunggu/mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.” (QS. At-Taubah [9]: 107).
Dari sini ada pertanyaan untuk kita smua, apakah masjid yang dibangun oleh rezim ini sudah memenuhi unsur-unshur dhirar sebagaimana di dalam surat At-Taubah ayat 107 di bawah ini:
- Apakah masjid tersebut menimbulkan mudharat bagi orang-orang mukmin? Jika benar apa mudharat tersebut?
- Apakah masjid tersebut memecah belah orang-orang beriman, ataukah sebaliknya?
- Apakah masjid tersebut menjadi tempat markas musuh untuk mengamat-amati orang-orang beriman?
Jika masjid yang kita shalat di dalamnya memenuhi unsur-unsur tersebut, bolehlah kita meninggalkan masjid tersebut dan membakarnya jika mampu. Akan tetapi, jika tidak ada unsur-unsur di atas, bisa jadi itu justru dilakukan oleh orang-orang penganut Ghulat Takfiri al-Mariqun yang justru :
- Menimbulkan mudharat dengan menimbulkan kebencian dan permusuhan kepada kaum mukminin.
- Memecah belah persatuan orang mukmin, terlebih kepada mujahidin.
- Menjadi basecamp dan kajian mereka untuk memvonis tafsiq, tabdi’, tahzhir dan takfir kepada mujahidin sebagaimana mereka melakukan daurah-daurah yang memprovokasi anak-anak muda untuk menyerang mujahidin, para syuyukh jihad, komandan jihad, para ulama dan orang mukmin yang tidak sependapat dengan mereka.
Jika demikian, sesungguhnya mana yang dhirar???
6. Tabayun dan tawaquf
Mereka beranggapan bahwa hukum asal manusia adalah kafir sampai mereka menunjukan ke-Islaman secara zhahir, mereka maksudkan dalam hal ini yakni sama dengan maksud pendahulu mereka, Khawarij ala Syukri musthafa di mesir dan terdahulu Azariqah yang selalu mengetest keislaman sesorang, hal ini dikenal yaitu tawaquf (tidak menilai) terhadap seseorang yang masih belum jelas statusnya, apakah kelompok mereka atau bukan. Mereka tidak menghukumnya kafir dan tidak mengatakan ia muslim, kecuali setelah jelas jika ia dari kelompok mereka dan telah membaiat imam mereka. Setelah itu barulah seseorang tersebut menjadi seorang muslim. Bila tidak maka ia kafir.
Sikap seperti ini dapat kita temukan pada diri mereka, misalnya mereka tidak mau shalat di belakang orang yang mereka tuduh kafir, meskipun tuduhan tersebut masih samar atau Imam tersebut tidak sepemahaman dengan penuduh.
Sebagaimana hari ini, mereka mengklaim bahwa jama’ah mereka merupakan jama’ah kaum muslimin, mereka adalah khalifah yang sah hari ini dan mereka mengklaim sebagai jama’ah akhir jaman yang akan bersama Imam Mahdi dan kelompok merekalah yang akan membunuh Dajjal. Mereka menghalalkan darah, membunuh dan menculik orang yang berbeda dengan mereka, menyebut orang yang keluar dari jama’ah mereka sebagai orang murtad atau sebutan lainnya dari kalangan kaum muslimin.
Aksi yang pernah mereka lakukan yaitu menculik dan membunuh syaikh Dr. Abu Rayyan dari Harakah Ahrar Syam, membunuh utusan resmi Al-Qaeda, syaikh Abu Khalid As-Suri, Syaikh Abu Sa’ad al Hadrami, serta para komandan jihad, ulama dan putra-putri terbaik umat ini, mereka juga menculik sebagian orang yang telah keluar dari jama’ah mereka dan menghabisinya, persis seperti perbuatan kaum khawarij akhir zaman menjelang munculnya dajjal serta turunnya Isa ‘alaihis salam.
Maksud mereka dari perkataan ini yaitu dibolehkan meninggalkan sebagian kewajiban ketika ada hal yang lebih besar yang tidak bisa kita lakukan, kecuali dengan meninggalkan syari’at tersebut. Mereka meninggalkan shalat Jumat sebagaimana mereka ini terjadi di cipinang, karena menganggap mereka dalam masa lemah dengan anggapan bahwa syarat Jumat ialah bila telah adanya kekuasaan. Sebagian kalangan mereka membolehkan menipu dengan alasan yang ditipu adalah orang yang keislaman tidak jelas,mereka juga mencuri motor dengan alasan fai karena tinggal di Darul Kufr, karena mereka beranggapan hukum asal seseorang itu kafir sampai mereka menampakan keislaman mereka (izharuddien). Demikian yang kami saksikan di penjara-penjara rezim murtad Indonesia, bahkan mereka tidak mau shalat Jumat bersama ikhwan-ikhwan yang tidak sepemahaman dengan mereka sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Demikianlah sikap-sikap yang menjadi ciri khas kelompok ini, sikap ini terdapat di dalam Risalah Tsalatsiniyah atau disebut dengan Risalatu Ja’far yang mana dalam hal ini Syaikh al-Maqdisi menjelaskan panjang lebar permasalahan ini. Risalah ini dalam edisi Indonesia sudah diterjemahkan oleh Akh Aman sendiri, akan tetapi entah mengapa Aman tidak konsisten dengan pendapat Syaikh al-Maqdisi ini. Memang ada perbedaan dalam beberapa bab masalah ta’yin Anshar Thagut dan perkara Udzhur Jahil dalam perkara pokok Tauhid akan tetapi Syaikh al-Maqdisi memahami bahwa ini adalah ranah Ushul dan Furu’ yang mana banyak terjadi perbedaan pendapat ijtihad, sehingga hal ini tidak menjadi alasan untuk mendiamkan saudaranya, apalagi sampai mengkafirkan.
Menakar Posisi Ajaran Aman Abdurrahman di hadapan Manhaj Ahlussunnah dalam Mengamalkan Dien
Sebagai seorang Muslim dan tentunya bermanhaj Ahlussunnah wal Jamaah, sudah menjadi suatu kemestian bagi kita untuk minimal mengenali apa dan bagaimana manhaj ahlussunnah dalam mengamalkan agama Islam. Berikut ini kami sajikan sejumlah rambu-rambu metodologis Ahlussunnah wal Jamaah dalam mengamalkan ajaran Islam, dan bagaimana posisi ajaran Aman Abdurrahman dalam hal ini.
1. Kita Menganggap Perbedaan Dalam Masalah Furu’ Adalah Kemestian; Rahmat Dan Keleluasaan
Ulama ahlussunnah bersepakat bahwa tidak ada Hisbah atau Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar dalam perkara yang masih diperselisihkan, sedangkan Ahlu Bid’ah memasang bendera Wala wal Bara’ terhadap orang menyelisihinya atau Mukhalif nya (lihat di matan Hadist Iftiraq Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah juz 3).
Nah, bagaimana dengan Akh Aman dan yang semisalnya? Subhanallah! Mereka berani menerjuni kancah perkara khilafiyah dengan alasan demi Nahi Mungkar, demi Izzah,demi prinsip, ditambah mereka tidak bisa membedakan mana masalah Furu’ dan mana persoalan Ushul.
Bahkan masalah Furu’ bisa menjadi Ushul menurut keyakinan mereka. Meskipun kebanyakan ulama membangun masalah-masalah dien baik perkara ushul dan furu’ di atas pola Gholabutuz Zhan yang masih membuka celah adanya sebuah pilihan, tetapi mereka meyakini bahwa masalah Ushul/pokok adalah persoalan yang tidak bisa digugat lagi. Siapapun yang berani menyelisihi dan mempermasalahkan persoalan ushul, akan dianggap berubah Aqidah dan Manhajnya, bahkan dianggap bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Millah Islam.
Sikap semacam ini jelas ini merupakan perkara yang menyelisihi prinsip Ahlussunnah. Jika keadaannya demikian, maka akhi Aman Abdurrahman telah menempuh jalan para ahlu Bid’ah yang telah mempertahankan keyakinannya lalu men-Tafsiq, Tahzhir dan Takfir orang Muslim yang tidak sependapat dengannya.
Untuk itu Syaikh Athiyyatullah Al-Liby menasehati kita dengan mengatakan :
“Tidak selayaknya memutuskan secara ngotot sampai kepada taraf yakin pada setiap masalah. Maksud saya masalah yang diperselisihkan dan ijtihadi. Karena sesungguhnya kebanyakan masalah-masalah dien (bahkan kebanyakan) dibangun dengan di atas zhan (sangkaan).” ( ‘Idad Syar’i wats-Tsaqafi hlm: 22)
Kembali beliau mengatakan :
“Hendaknya kita juga berkaca kepada kemampuan kita, sehingga kita tidak dengan gegabah menuduh dan memvonis orang yang sebetulnya kita belum sampai taraf mufti apalagi dia merupakan panutan teladan dalam dakwah. Bayangkan jika setiap manusia, dengan kemampuan agama yang terbatas lalu tanpa pertimbangan kemudian memvonis manusia, apa jadinya agama ini?”.
Beliau juga mengatakan kembali :
“Ini adalah sebuah nasihat bagi para pemuda kita yang terburu-buru dalam memastikan pada seluruh masalah yang dibangun di atasnya perselisihan dan perbedaan, yang didalamnya terdapat berbagai ijtihad.” (I’dad Syar’i wat-Tsaqafi hlm 23)
Suatu ketika akhi Aman Abdurrahman ditanya mengapa ia bersikap demikian, maka dia menjawab dengan alasan “Kehati-hatian”. Jawaban semacam inilah yang dinamakan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai sikap Wara’ yang semu. Di dalam kitab Majmu’ Fatawa (XX/140) dikatakan : “Sikap wara seperti itu telah menjerumuskan pelakunya ke dalam bid’ah yang besar. Sama halnya sikap wara’ yang ditunjukkan oleh kaum Khawarij, Syi’ah Rafidhah, Mu’tazilah dan kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka bersikap wara’ secara berlebihan terhadap kezhaliman atau sesuatu yang mereka anggap kezhaliman dengan menjauhi orang-orang yang berbuat zhalim. Sayangnya mereka justru meninggalkan kewajiban yang dibebankan atas mereka, seperti shalat Jum’at, shalat jama’ah, haji, jihad dan memberi nasehat serta berlaku kasih sayang kepada kaum muslimin. Orang-orang yang bersikap wara’ seperti itulah yang disanggah oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti imam yang empat. Mereka menyebutkan hal ini dalam deretan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Demikianlah, mereka lebih memilih kesusahan dan kesempitan dengan alasan kehati-hatian dan sikap wara’. Padahal, rukhsah/dispensasi atau kemudahan adalah rahmat Allah kepada hamba-Nya. Adapun perbedaan merupakan suatu kemestian dan tidak dapat sebabnya antara lain karena:
- Tabi’at agama, adanya ayat-ayat mutasyabihat yang memang menuntut adanya ijtihad.
- Tabi’at bahasa, adanya pemahaman yang berbeda dari makna yang terkandung.
- Tabi’at manusia, yang diciptakan berbeda-beda dan memiliki kepribadian, tabi’at, pemikiran sendiri-sendiri. Hal ini merupakan perbedaan macam atau variasi dan bukan merupakan perbedaan yang mengarah ke pertentangan.
- Tabi’at alam dan kehidupan; alam diciptakan bervariasi dan berbeda-beda.
Ulama menyebutkan adanya perselisihan yang ditolerir, yaitu ketika seseorang melakukan amal perbuatan yang didasarkan pada hujjah atau pengetahuan orang sebagai dasar untuk melakukannya tanpa disertai permusuhan dan celaan kepada orang yang berbeda dengannya.
2. Kita Mengikuti Manhaj Pertengahan Dan Meninggalkan Sikap Berlebihan Dalam Agama
Artinya mengikuti manhaj pertengahan yang mencerminkan tawazun atau keseimbangan dan keadilan, jauh dari sikap berlebihan atau mengurangi ajaran.
Hadits Rasulullah SAW: “Binasalah orang-orang yang berlebihan”. (Al-Hadits)
Orang-orang yang berlebihan ini menurut Imam Nawawi adalah:
- Orang-orang yang ucapan dan perbuatan mereka terlalu dalam dan melampaui batas.
- Selalu memperbanyak pertanyaan yang hanya akan menghasil kesusahan dan kesempitan. Prinsip umum dari shahabiyah r.a adalah tashil / memudahkan, sedangkan Akh Aman dan semisalnya Justru mengambil sikap Ifrath / memberat-beratkan dan Ghuluw/ berlebih-lebihan dalam beragama, Ta’amuq /pelik, sulit dan Tasyadud atau sikap Ekstrem/ keras. Sikap-sikap semacam ini menjadi sikap yang dilarang agama dengan alasan wara’ sebagaimana kami sebutkan di atas.
Sikap tawazun / seimbang seharusnya menjadi prinsip kehidupan kita, karena sikap berlebih-lebihan maupun sikap meremehkan adalah dua sisi pisau tajam Syaitan untuk menjerumuskan anak Adam ke dalam kebinasaan. Salah satu salaf berkata : “Tidaklah seorang hamba menangisi kepada sesuatu kecuali iblis akan menghadang dalam dua jalan/urusan dan dia tidak peduli dari jalan mana dia akan terjatuh, sikap ghuluw didalamnya atau mengurangi/menggampangkannya”. (disebutkan pula oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah didalam Madarijus Salikin)
3. Kita Mengutamakan Muhkamat Bukan Mutasyabihat
Allahu ta’ala berfirman :
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur´an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta´wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS: Ali Imran : 7)
Berdasarkan surat Ali Imran ayat ke 7 di atas, ulama ahlussunnah berpendapat : “Apabila ayat-ayat muhkamat ditinggalkan maka terbukalah pintu perdebatan dan perbantahan. Rasulullah SAW mengecam tindakan mempertentangkan satu ayat al Qur’an dan ayat lainnya dan tidak mengembalikan ayat mutasyabihat kepada ayat-ayat muhkamat. Adapun orang menyukai dan bahkan mereka berani dengan sembrononya menafsirkan sesuai dengan kehendak mereka.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Dar’u Ta’arudhi Al-Aql wan Naql (I/141) berkata: “Kaum Khawarij yang menakwil secara keliru ayat-ayat Al-Qur’an dan mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka lebih baik keadaannya dari pada mereka (kaum Jahmiyah). Sebab kaum Khawarij tersebut menjatuhkan vonis kafir atas dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hanya saja mereka keliru dalam memahami nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut. Adapun kaum Jahmiyah menjatuhkan vonis kafir atas dasar ucapan yang Allah tidak menurunkan keterangan tentangnya.”
Kaum Khawarij ini biasanya meyakini sebuah pendapat terlebih dahulu baru mencari-cari ayat Al-Qur’an yang dikira mendukung pendapat tersebut. Sementara tidak ada pendahulu bagi mereka dari kalangan sahabat maupun generasi yang mengikuti mereka dengan baik. Dan tidak pula dari kalangan para imam yang mendukung pendapat atau penafsiran mereka tersebut. Dalam hal ini mereka memakai dua metodologi:
- Mementahkan kandungan nash-nash Al-Qur’an (contoh dalam hal ini; mereka mementahkan ayat-ayat al-Qur’an yang didalamnya ada Udzur bil Jahl, untuk lebih detailnya silahkan lihat diskusi dalil disinihttp://archive.org/download/bundel_201407/bundel.docx).
- Menempatkan nash-nash tersebut tidak pada tempatnya. Bahkan, dalil nash untuk orang kafir dia gunakan orang-orang mukmin.
Maka kesalahan mereka terpulang kepada dua perkara: kesalahan mereka dalam meyakini keyakinan-keyakinan batil dan kesalahan mereka dalam cara menetapkan keyakinan-keyakinan batil tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (XIII/356):
“Orang-orang yang keliru dalam menetapkan dalil dan kandungan yang terdapat dalam dalil -seperti kelompok-kelompok ahli bid’ah- meyakini sebuah pendapat yang menyelisihi kebenaran yang diyakini oleh umat ini yang tidak akan bersepakat di atas kesesatan, dari kalangan Salaful Ummah dan para imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka membawakan ayat-ayat Al-Qur’an namun memahaminya dengan pendapat akal mereka.
Kadang kala mereka membawakan beberapa ayat Al-Qur’an untuk mendukung keyakinan mereka padahal ayat tersebut bukanlah dalil yang mendukungnya. Dan kadang kala mereka mentakwil dalil-dalil yang menyelisihi pendapat mereka dengan memalingkan dalil tersebut dari makna yang sebenarnya. Di antara kelompok itu adalah Khawarij, Rafidhah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Qadariyah, Murjiah dan lainnya.”
4. Kita Tidak Memastikan Dan Menolak Dalam Masalah-Masalah Ijtihadiyah
Syaikh Athiyyatullah Al-Libi rahimahullah pernah mengatakan: “Tidak selayaknya memutuskan secara ngotot sampai kepada taraf yakin pada setiap masalah (Maksud saya masalah yang diperselisihkan dan ijtihadi. Karena sesungguhnya kebanyakan masalah-masalah dien ( bahkan kebanyakan) dibangun dengan di atas zhan (sangkaan).” (I’dad Syar’i wats-Tsaqafi hlm: 22)
Dan selanjut nya beliau mengatakan kembali : “Hendaknya kita bercermin kepada kemampuan kita, sehingga kita dengan gegabah menuduh dan memvonis orang yang sebetulnya kita belum sampai pada taraf mufti, apalagi dia merupakan seorang panutan teladan dalam dakwah, bayangkan jika setiap manusia dengan kemampuan yang terbatas lalu tanpa pertimbangan kemudian mengvonis manusia, apa jadi nya agama ini?” (I’dad Syar’i Wat Tsaqafi hal 23)
Syarat seorang mujtahid tentu bukan saja dia hafal Al-Qur’an dan hafal Ribuan hadist, akan tetapi metodologi Ulumul Al-Qur’an dan Ulumul Hadist juga harus dia kuasai, apalagi berkaitan dengan Hukum. Dia juga harus menguasai dengan baik, cara mengkomparasi berbagai pendapat, Ushul dan kaidah Ushul, Istimbath (cara menyimpulkan hukum) dan Istidlal (cara mengambil dalil) tentu ada aturan dan metodologinya, termasuk juga memahami mana perkara Wadhih, Bayyinat, Qath’iyat, Zhaniyat, perkara yang maklum bid Dharurah dan bi Ghairu Dharurah, bahkan yang terpenting adalah wajib menguasai adab-adab dan menguasai Fiqh Ikhtilaf di kalangan Ulama.
Akan tetapi, bagi Akh Aman Abdurrahman, ia bersikap sembrono pada perkara yang masih diperselisihkan atau yang sifatnya Zhaniyat! Bahkan, ia nekat memaksakan pendapatnya bahwa itu masalah Qath’iyat/ memastikan. Atau, jika ia sudah terpojok ia menurunkannya hingga derajat Zhanni Tsubut (contoh status polisi dan tentara di negara-negara Muslim) dan dia akan pertahankan keyakinan itu mati-matian walau harus mengkafir-kafirkan saudaranya sendiri, mentahzir/menjauhkan, memfasiqkan, membid’ahkan. Syaikh Athiyatullah al-Liby telah memberikan nasihat yang baik tentang masalah ini dan silakan menyimak buku “Mudah Mengkafirkan.” Beliau adalah Ulama dan Mufti Al-Qaeda yang gugur Syahid oleh drone Amerika.
Syaikh Abu Yahya Al-Libi rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan daurah Syar’i nya di Waziristan : “Kedudukan fatwa dan kedudukan yang ini halal dan itu haram sebelumnya merupakan perjalanan yang panjang bagi seseorang untuk bisa mencapainya, yang demikian itu tidak mungkin bagimu untuk mencapainya dalam sebulan atau dua bulan, bahkan tidak setahun atau dua tahun. Aku tidak ingin mendengar seseorang dari kamu keluar dari sini dan kalian memimpin majelis-majelis lalu ia berkata ini halal dan itu haram.” (Al-I’dad asy-Syar’i wats-Tsaqafi hlm.23)
Jika demikian, lantas siapa akhi Aman Abdurrahman ini? Kita tidak pernah tahu siapa orang ini, bahkan karya-karyanya yang fundamental bagi khazanah keislaman kecuali ilmu yang dibangun oleh ketergenlinciran ulama, lalu dengan siapa dia belajar talaqi, mulazamah dan munaqasyah? sebutkan ulama-ulama yang membimbingnya sebagai tradisi ke ulamaan yang dikenal didunia Islam. Kita yang pernah tinggal seatap dengan beliau, bergaul dengan beliau, belum pernah kita dapatkan beliau memiliki sikap tawadhu dalam ilmu,menghargai pendapat orang lain,bersikap adil terhadap lawan nya, seperti ulama besar dahulu yang sering mengatakan “aku suka begini”, “aku memandang nya begni”, “menurut pendapat saya”, “aku menyangkanya begini”, bukan klaim-klaim palsu, memaksakan kehendak, memvonis saudara nya dengan vonis-vonis keji.
5. Kita Membatasi Pengertian Dan Istilah
Allah Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian”. (Qs. Al-Mâidah: 101 )
Berkaitan ayat ini ada kisah satu kaum bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud mengejek. Salah seorang dari mereka berkata, “Siapa ayahku?”. Orang yang untanya tersesat berkata, “Di mana untaku?”. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka”. ( Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim ).
Terkadang Ulama membatasi beberapa pemahaman yang menjadi sebab terjadinya perselisihan. Ini terjadi karena seringkali suatu istilah dipertentangkan dengan sengit dikarenakan minimnya keterangan dari literatur yang membahas. Oleh sebab itu, Istilah harus dibatasi, diluruskan, dijelaskan pemahamannya agar tidak disalahpahami oleh orang-orang karena permasalahan tersebut berpotensi dapat mengakibatkan kepayahan, kesusahan bahkan vonis sesat dan menyesatkan.
‘Umar bin ‘Abdul- ‘Aziz rahimahullah berkata:
“Takwa bukanlah dengan sekedar melaksanakan qiyamul-lail, puasa di siang hari, dan mengkombinasikan keduanya, namun takwa ialah mengerjakan apa saja yang diwajibkan Allah dan meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah. Menjalin hubungan kepada Allah saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan menjaga hal yang diharamkan seperti memutuskan silaturahmi, menumpahkan darah, merampas hak anak Adam dan selainnya, yang pada intinya menjalin hubungan dengan manusia secara baik adalah lebih utama karena secara umum para salaf mempunyai sikap menjauhi hal-hal haram kendati sedikit, itu lebih utama daripada memperbanyak mengerjakan ketaatan-ketaatan Sunnah, karena meninggalkan hal-hal haram adalah wajib, sedang mengerjakan ketaatan-ketaatan Sunnah adalah Sunnah.” (Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/254 )
Sedangkan Aman Abdurrahman dan kelompoknya seringkali menjadikan suatu istilah dipertentangkan dengan sengit, sehingga membuat syubhat sendiri, membuat batasan-batasan dan kaidah-kaidah di dalam agama, dan menyebarkan doktrin barang siapa yang masuk ke dalam persoalan ini maka dia Muwahhid, dan siapa saja yang menyelisihi ini maka dia kafir.
Untuk itulah nabi melarang kepada kita membahas sesuatu yang membuat kita menjadi susah, bertanya yang di dalam persoalan yang tidak ada maslahat bagi dunia dan akhirat kita.
Maka benarlah Rasulullah dengan mengatakan : “Sesungguhnya kaum Muslimin yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian sesuatu tersebut diharamkan dengan sebab pertanyaannya itu.” (HR al-Bukhâri, no. 7289. Muslim, no. 2358. Ahmad, I/176, 179. Abu Dâwud, no. 4610, dan Ibnu Hibbân, no. 110 )
6. Kita Menggarap Masalah Besar Yang Dihadapi Ummat Mempunyai Aulawiyat /Skala Prioritas Dalam Beramal
Didalam agama kita dikenal Sunnah Tawazun yaitu adanya pertimbangan, yang jika terjadi kontradiksi antara kemaslahatan dengan kemudharatan dalam tingkatan yang sama, maka maslahat yang di dalamnya terdapat pemeliharaan terhadap agama didahulukan daripada pemeliharaan terhadap jiwa. Jiwa lebih didahulukan daripada akal, akal lebih di dahulukan terhadap keturunan. Demikian halnya keturunan lebih dikedepankan daripada harta begitu seterusnya, skala prioritas inilah yang menjadi panduan bagi kita di dalam menghadapi realita dakwah dan Jihad.
Sedangkan sejauh pengalaman yang saya alami bersama Aman Abdurrahman dan para pengikutnya, mereka tidak mempunyai prioritas dalam beramal, semua orang yang tidak sependapat dihukumi satu derajat, satu persoalan dan satu masalah, tidak ada pertimbangan maslahat dan mudharat dalam kamus amaliyah mereka, tidak ada pertimbangan jika berbuat ini maka resikonya ini, kalo berbuat begini akan begitu dan seterusnya.
Mereka berpangku kepada kitab, text book, tekstual, kaku, jumud, keras kepala dengan pendapatnya tidak ada abu-abu yang ada hitam putih jika tidak iman ya kafir. Semua yang tidak sependapat maka dia bukan muwahid, bukan mujahid dan jika menyelisihi maka bisa kafir, fasiq, murtad dan seterusnya. Dan untuk detail pembahasan silahkan di baca Fiqh Aulawiyat Gerakan jihad yang diterbitkan muqawamah.com.
Demikianlah, agama ini akan hilang di tangan orang-orang yang berlebih-lebihan, melampaui batas dan juga orang yang hanya memiliki kemampuan ilmu yang sangat terbatas. Jika kita saksikan, mereka adalah orang-orang ikhlas dan taat beribadah. Akan tetapi mereka terjebak dengan menyibukkan diri kepada perbuatan yang bukan utama (mafdhul) dan melupakan perbuatan yang utama (fadhil), menyibukkan diri kepada perbuatan yang tidak kuat (marjuh), tetapi mereka beranggapan sebagai amalan yang kuat (Rajih) .
Terkadang suatu perbuatan seseorang di anggap fadhil (Utama) di masa tertentu, akan tetapi di masa lain ia bukan perbuatan yang utama (Mafdhul). Akan tetapi sedikitnya pemahaman dan kurang terbimbing oleh ulama yang lurus maka dia tidak bisa membedakan antara dua masa tersebut. Dalam hal ini ada baik nya membaca ulasan makalah Fiqh Aulawiyat gerakan jihad yang pernah diterbitkan muqawamah media.
Demikianlah, kesalahan besar telah merambah umat kita saat ini, utamanya dalam persoalan yang berkaitan dengan Skala Prioritas Dalam Menentukan Amaliyah, sehingga mereka menganggap kecil hal-hal yang besar, dan membesar-besarkan perkara yang kecil, terlalu menekankan dosa-dosa yang kecil dari pada dosa-dosa besar, sampai pada taraf mereka berani mengkafirkan dan membunuh sesama muslim demi memuaskan pendapatnya, dengan alasan menyelisihi pokok tauhid yang sebetulnya masih dalam permasalahan furu’ ijtihadiyah. Semua ini dikarenakan mereka dilanda penyakit jahil yang menyebabkan mereka keliru dan tersesat dalam mendudukkan persoalan Furu’ (cabang) dengan Ushul (pokok), persoalan Juz’iyah (parsial) dengan Kulliyat (global).
Dengan memahami Fiqh Aulawiyat kita dapat mengetahui manakah musuh yang perlu dihadapi dahulu dan fokus terhadapnya, dan mana musuh yang harus kita tunda.
7. Kita Bekerjasama Dalam Masalah Yang Telah Disepakati
Persoalan kaum muslimin bukanlah terletak pada perbedaan masalah-masalah khilafiyah yang didasarkan pada ijtihad, akan tetapi terletak pada tidak difungsikannya akal, pembekuan fikiran, pembisuan kehendak, pemasungan kebebasan, perampasan hak asasi, pengabaian kewajiban, tersebarnya egoisme, pengabaian sunnah-sunnah Allah tentang alam dan masyarakat, kesewenangan atas kebenaran, hilangnya daya kritis, dan tidak diakui secara sosial oleh kelompoknya menyebabkan mereka tersesat. Sehingga mariqun ini tidak mau berkerja sama kepada orang berbeda manhaj dengan mereka walau ada sedikit kesamaan dalam hal tertentu sekalipun, mereka mengklaim pemilik kebenaran dan diluar mereka adalah kelompok yang salah.
Dalam hal ini Syaikh Ayman Adz-Dzawahiri Hafidzahullah berkata :
“Kita mendukung mereka dan berterima kasih kepada mereka atas setiap amalan yang benar dan ucapan yang benar yang bersumber dari mereka, dan kita menasehati mereka atas kesalahan yang mereka lakukan. Jika kesalahan yang dilakukan secara tersembunyi, maka kita menasihati secara sembunyi dan jika kesalahan dilakukan secara terang-terangan, maka kita menasihati secara terang-terangan. Dalam menasihati dan membantah, kita memaparkan dalil-dalil (bukti-bukti)nya dengan manhaj yang ilmiah dan rendah hati, jauh dari sikap menyerang pribadi dan mencelanya, karena sesungguhnya kekuatan itu pada dalil, bukan pada kerasnya caci-makian.
Kemudian, jika sebuah kelompok yang menyatakan dirinya kelompok Islam terlibat dalam perang bersama musuh yang kafir (Amerika dan sekutunya), maka kelompok Islam tersebut dibalas dengan kadar seminimal mungkin sebatas yang bisa menghentikan serangannya (kepada kaum muslimin atau mujahidin), demi menutup pintu terjadinya fitnah di antara kaum muslimin atau mencegah dari menimpakan bahaya terhadap orang yang tidak berperang bersama musuh yang kafir.” (Syaikh Ayman Adz Dzawahiri Taujihatul Ummah terbitan Yayasan Media As Sahab sumber: Al-Fajr Media Center)
8. Kita menahan diri dari orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah”
Dalam sebuah hadist dikatakan : “Orang yang paling berani berfatwa, adalah orang yang paling berani duduk di Neraka.” ( HR. Bukhari – Muslim)
Tindakan yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan persatuan umat ialah takfir/pengkafiran sesama muslim. Rasulullah SAW mengecam takfir ‘alal muslimin ini dalam berbagai haditsnya, salah satu yang diriwayatkan Ibnu Umar : “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya,’wahai si kafir’, maka panggilan itu kembali kepada salah satu jika ia seperti apa yang dikatakan. Tetapi jika tidak, maka panggilan itu akan kembali kepada yang mengucapkan.”
Dalam hadits lain : “Barangsiapa menuduh kafir seorang Mu’min maka ia seperti membunuhnya.”
Adapun pemahaman Aman Abdurrahman dan kelompoknya tidak peduli mereka bersyahadat atau tidak, bertauhid atau tidak, berjihad atau tidak, selama mereka menyelisihi pemahaman manhaj mereka dan berbeda dengan mereka, menentang mereka maka mereka buru-buru akan memvonis dengan sebutan Murtad, Kafir, Ahli Bid’ah dan halal darahnya.
Inilah tragedi yang terjadi di Iraq dan Suriah hingga hari ini, siapa saja yang menyelisihi Jamaah Daulah Al-Baghdadi, maka mereka tidak segan-segan menghabisinya. Akhi Aman yang merupakan bagian dari Jamaah Al-Baghdadi ini mempunyai anggapan sama. Bahkan bagi akhi Aman, penduduk Indonesia tidak bisa disebut sebagai Muslim akan tetapi penduduk yang Mengaku Muslim, artinya mereka bisa di sebut muslim jika mereka memenuhi standarisasi kaidah yang dibuat sendiri oleh kelompok ini dan keyakinan yang mereka bangun, belum lagi kasus mereka yang menekan para tawanan mujahidin di dalam penjara dengan menuduh mereka sebagai orang-orang murtad, hanya karena mengurus administrasi Pembebasan Bersyarat.
Syaikh Athiyyatullah mencoba membongkar salah satu kerusakan mereka dengan mengatakan :
“Orang-orang yang terkena fitnah itu membuat-buat kaidah dari diri mereka sendiri dan meletakkan batasan-batasan bagi agama Allah, mereka menyusunnya dengan ungkapan-ungkapan baru yang diada-adakan, lalu mereka “mengadili” masyarakat dengan kaedah-kaedah tersebut. Barangsiapa memasuki “kaidah-kaidah” yang mereka masuki, maka ia dianggap muslim oleh mereka. Sedangkan orang yang tidak memasuki apa yang mereka masuki, maka ia dianggap orang kafir oleh mereka.” (Jawabus su’al Jihad Difa’ hal 26 )
Begitulah selalunya keadaan para pengikut bid’ah dan kesesatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Akan tetapi keadaan para ahli bid’ah, mereka membuat pendapat-pendapat sendiri, lalu mereka menjadikannya sebagai perkara yang wajib dalam agama. Bahkan, mereka menjadikannya sebagai keimanan yang harus diimani. Sehingga mereka mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam perkara tersebut dan mereka menghalalkan darahnya, seperti sikap kelompok Khawarij, Jahmiyah, Rafidhah, Mu’tazilah dan lain-lain. Adapun ahlus sunnah tidak mengada-adakan pendapat sendiri dan mereka tidak mengkafirkan orang (ulama) yang berijtihad lalu keliru, meskipun orang yang keliru tersebut menyelisihi ahlus sunnah dan menghalalkan darah (nyawa) ahlus sunnah.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 19/212 )
Karena pemahaman inilah mereka adalah biang segala kerusakan, bahkan mereka lebih sesat dari khawarij zaman dahulu.
Ustadz Abu Tholut Al-Indunisi menasihati kita :
“….KHAWARIJ ASLI mengkafirkan Muslim PELAKU MAKSIAT dan menghalalkan darah serta hartanya, SEDANGKAN Jamaah Al-Baghdadi mengkafirkan dan menghalalkan darah serta harta muslim yang melakukan KETAATAN seperti yang mereka lakukan terhadap Abu Sa’ad al-Hadhrami dan keluarganya.
KHAWARIJ ASLI TIDAK BERBOHONG karena berbohong menurut mereka menyebabkan pelakunya murtad, SEDANGKAN Jamaah Al-Baghdadi BANYAK MELAKUKAN KEBOHONGAN bahkan pengkhianatan untuk memperoleh apa yang dikehendaki oleh hawa nafsunya seperti yang mereka lakukan terhadap mujahidin Liwa’ut-Tauhid dengan menugaskan seorang pelaku bom bunuh diri yang diperkenalkan sebagai utusan mereka untuk bermusyawarah dengan mujahidin Liwa’ut-Tauhid. Tatkala telah diterima dengan baik sebagai utusan lalu meledakkan dirinya ditengah tengah para mujahidin Liwa’ut-Tauhid.
Mereka juga BERBOHONG dengan mengingkari bahwa Al-Baghdadi pernah berbai’at kepada Syaikh Aiman Azh Zhawahiri sebagai amirnya. KHAWARIJ ASLI membolehkan khalifah selain QURAISY sedangkan Jamaah Daulah mengaku-ngaku, khalifah mereka seorang Quraisy padahal silsilahnya Majhul bahkan terindikasi menjiplak silsilah orang lain.” (sudah di konfirmasi kepada beliau bahwa ini memang pendapat Ust. Musthafa Abu Thalut Hafizhahullah-Fakkalallahu asrahu)
Atas dasar inilah mereka menumpahkan darah yang diharamkam, Berdusta, Menipu dan Khianat.
Takutlah wahai akhi Aman akan tertumpah darah seorang muslim, antum akan ditanya atas darah yang tertumpah di Syam dan Iraq. Karena orang-orang antum disana yang secara tidak langsung telah menumpahkan darah para ikhwah yang tidak sepemahaman dengan Daulah.
Takutlah kepada Allah akan vonis-vonis murtad kepada Asatidz di Indonesia seperti Ust. Akhwan, Ust. Basyir dan Ust. Fuad Al-Hazimi Hafizhahumulllah Ta’ala oleh orang-orang antum di sana seperti Salim At-Tamimi. Karena dengan memvonis mereka berarti antum telah menghalalkan darah dan harta mereka.
Takutlah antum kepada Allah ta’ala dampak vonis-vonis serampangan yang mengakibatkan tertumpahnya darah-darah mujahid di Indonesia kelak.
Takutlah antum kepada Allah ta’ala yang secara tidak sadar telah membuat Ukhuwah Islamiyah antara sesama Ikhwah Jihadis di Indonesia terpecah, antum sumber perpecahan itu, antum adalah biang dari segala konflik dan secara tidak sadar vonis-vonis antum membantu musuh mengadu domba, sadar tidak sadar antum membantu membunuh mujahidin yang mana musuh belum tentu sanggup melakukannya.
Takutlah antum kepada Allah wahai Aman Abdurrahman, takutlah antum kepada Allah ta’ala, takutlah akibat fatwa-fatwa yang menjadi sebab tertumpahnya darah muwahhid dan mujahidin, takutlah menjadi sumber fitnah dan perpecahan para mujahidin di tanah air ini.
Karena fatwa memiliki kehormatan yang tidak boleh dilakukan sembarang orang, untuk berfatwa sehingga ulama dikatakan, “Orang yang paling berani berfatwa, adalah orang yang paling sedikit ilmunya.”
Ingatkah wahai Aman Abdurrahman akan kisah wanita pelacur bani Israel yang diampuni hanya karena memberikan air kepada seekor anjing.
Ingatkah wahai Aman Abdurrahman bagaimana Sahabat yang ibadahnya biasa-biasa saja tetapi Rasulullah menyebutnya sebagai ahli surga karena sifat pemaafnya.
Ingatkah wahai Aman Abdurrahman, akan kisah seorang abid yang ibadahnya ratusan tahun tetapi masuk neraka karena meninggalkan umatnya dalam kesesatan.
Ingatkah wahai Aman Abdurrahman akan kisah wanita yang masuk neraka karena tetangganya tidak selamat dari lisan dan tangannya walaupun wanita tersebut rajin shalat dan puasa.
Bagaimana Solusi Menjaga Diri dari Fitnah Takfiri Ini?
Terdapat dua metode untuk menghadapi mereka sebagaimana para sahabat menghadapi fikrah Khawarij. Akan tetapi, saya akan menambahkan sebuah pengantar terlebih dulu sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Athiyyatullah al-Libi rahimahullah dalam risalah Jawabus Sual Jihad Difa’ tentang hakikat pemahaman sesat ini di antaranya :
Pertama : Berpegang teguh dengan keimanan secara global (al-iman al-jumliy).
Dalam perkara-perkara yang sifatnya rincian-rincian dan cabang-cabang yang ia belum ketahui atau ia belum menemukan jawaban tuntas tentangnya, dan ia belum melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam tentangnya; maka hendaklah ia mengatakan: “Aku tidak tahu, aku tidak mengerti, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai potensi yang telah dikaruniakan kepadanya.”
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Wahai masyarakat, barangsiapa mengetahui sesuatu maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahui sesuatu maka hendaklah ia mengatakan Allahu a’lam (Allah Yang lebih mengetahui). Karena di antara bagian dari ilmu adalah mengatakan, “Allahu a’lam” atas hal yang belum ia ketahui. Allah berfirman kepada nabi-Nya: “Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikit pun dari kalian atas dakwah ini dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada (memaksakan diri di luar kesanggupan).” (QS. Shad [38]: 86)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah keimanan, keislaman dan tauhid secara global.
Kemudian rincian-rincian (ajaran agama) setelah itu mengikuti sesuai dengan kadar ilmu. Rincian-rincian itu memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda, tidak setiap cabang-cabang iman dan rincian-rincian iman berada dalam satu tingkatan yang sama.
Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang iman yang paling tinggi (utama) adalah laa ilaaha illa Allah dan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.” (HR. Muslim, Abu Daud, A-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain.)
Kedua : Renungkanlah secara mendalam, lihatlah dan perhatikanlah hadits-hadits tentang keimanan.
Perhatikanlah, bagaimana seseorang datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada beliau,”Apakah iman itu?”. Maka beliau menjawab : “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan engkau beriman kepada taqdir yang baik maupun takdir yang buruk.” ( HR. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain ).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang : “Masuk Islamlah engkau, niscaya engkau akan selamat!” . Maka laki-laki itu bertanya : “Apakah Islam itu?”. Beliau menjawab : “Engkau menyerahkan dirimu kepada Allah dan hendaklah kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tanganmu.” Laki-laki itu bertanya lagi : “Islam apakah yang paling utama?”. Maka beliau menjawab : “Iman.” Laki-laki itu bertanya lagi : “Apakah iman itu?”. Maka beliau menjawab : “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya dan kebangkitan setelah kematian.” Laki-laki itu bertanya lagi : “Iman apakah yang paling utama?”. Maka beliau menjawab : “Hijrah.” Laki-laki itu bertanya lagi : “Apakah hijrah itu?”. Maka beliau menjawab : “Engkau menjauhi keburukan.” Laki-laki itu bertanya lagi : “Hijrah apakah yang paling utama?”. Maka beliau menjawab : “Jihad.”
Laki-laki itu bertanya lagi : “Apakah jihad itu?”. Maka beliau menjawab : “Engkau memerangi orang-orang kafir jika engkau bertemu mereka (di medan perang), engkau tidak mengambil secara curang harta rampasan perang sebelum dibagikan dan engkau tidak pengecut.” Beliau kemudian bersabda : “Ada dua amalan yang merupakan sebaik-baik amalan, kecuali orang yang melakukan amalan seperti kedua amalan tersebut.”Beliau menyabdakan hal tersebut sebanyak tiga kali. Beliau bersabda : “Kedua amalan tersebut adalah haji yang mabrur atau umrah.” (HR. Ahmad no. 17027 dan Abdur Razzaq no. 20107. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits shahih dari sahabat ‘Amru bin ‘Abasah)
Bandingkanlah hal itu dengan apa yang kalian lihat dari sikap orang-orang yang terkena fitnah tersebut. Mereka berlebih-lebihan, memperberat dan menjadikan seluruh ajaran agama Islam ini seakan-akan undang-undang positif yang mereka tentukan batasan-batasannya dan mereka gariskan garis-garisnya. Barangsiapa keluar dari batasan-batasan dan garis-garis yang telah mereka tentukan, maka mereka menganggapnya telah keluar dari agama. Semoga Allah menegur mereka, bagaimana mereka sampai dilalaikan seperti itu?
Ketiga : Mengetahui keburukan untuk bisa menjauhinya, mengambil nasehat dan pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang serupa dan sejenis.
Seperti yang telah saya jelaskan sebagiannya di awal jawaban saya ini, maka barangsiapa tidak mengambil nasehat dan tidak memetik pelajaran, maka janganlah ia mencela selain dirinya sendiri. Allah berfirman: “Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?”. (QS. An-Nisa’ [4]: 144)
Mengetahui keadaan orang-orang seperti mereka akan menyebabkan akal sehat lari menjauhi mereka. Orang yang berakal sehat, cerdas, menginginkan kebaikan, kebenaran dan petunjuk akan mengetahui bahwa kaum tersebut adalah orang-orang yang menyelisihi agama, petunjuk, jalan dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka bukan orang-orang yang berada di atas kebenaran. Dengan merenungkan hal itu, ia akan bisa menjauhi mereka dan menjauhi jalan mereka, dan ia tidak akan memberi peluang bagi mereka untuk menguasai dirinya dengan bisikan-bisikan dan keragu-raguan mereka.
Keempat : Berpegang teguh dengan perkara-perkara yang baku, kokoh, jelas, dan pasti secara tegas (qath’i) diketahui oleh seluruh umat Islam sebagai bagian dari agama Islam (al-ma’lum min ad-din). Adapun perkara-perkara yang membingungkan seseorang dan perkara-perkara yang kemunculannya membingungkan seseorang (yaitu perkara-perkara yang ia merasa samar, bingung dan tidak mengetahui jawaban atasnya) maka hendaknya ia tidak tergesa-gesa menjawabnya atau menerima jawabannya dari kaum yang terkena ujian lagi sesat tersebut.
Kelima : Memahami sepenuhnya bahwa mereka, kaum Khawarij yang terkena ujian dan kesesatan —semoga Allah melindungi kami dan kalian dari keadaan dan jalan mereka— jalan sesat mereka dibangun di atas dasar bersikap ekstrim dalam beragama, terlalu berlebih-lebihan yang dicela oleh syariat dan diperingatkan serta dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, serta at-tanathu’.
Tanathu’ seperti yang telah dijelaskan di depan, maknanya adalah bersikap terlalu keras, “terlalu mendalami” yang tercela, terlalu memaksakan diri dan tidak merasa cukup dengan apa yang Allah mudahkan dan Allah longgarkan berupa kemudahan dan karunia.
Justru orang mencari hal yang paling keras, paling sulit dan paling berat, dengan mengira ia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh seluruh manusia lainnya. Biasanya di belakang tindakan ekstrim tersebut terdapat ambisi yang tersembunyi untuk “tampil beda” dari masyarakat dan ingin mengungguli orang-orang yang selevel dengan dirinya.
Semua tindakan tersebut jelas menyelisi sunnah, petunjuk, jalan hidup dan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, pada Kitab Al-Anbiya’, Bab Sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Bukhari kemudian menyebutkan sejumlah hadits, di antaranya hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diminta memilih antara dua perkara kecuali beliau akan memilih perkara yang lebih mudah, selama perkara tersebut bukan suatu perbuatan dosa. Jika perkara tersebut adalah perbuatan dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membalas untuk diri mereka sendiri, kecuali jika hal-hal yang diharamkan Allah telah diinjak-injak, maka beliau akan membalas karena Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Keenam : Mengetahui bahwa pokok-pokok (pangkal) kesesatan kaum yang melesat keluar dari Islam tersebut adalah mereka tidak membeda-bedakan antara tingkatan-tingkatan perkara dan tingkatan-tingkatan dalil. Meskipun mereka mengklaim tidak begitu. (Jawabus sual Jihad Difa’i, Asy-Syaikh Athiyyatullah Al-libi rahimahullah, Edisi Indonesia di terbitkan oleh Manjaniq Media)
Kita akan melihat bagaimana mereka menamakan cara-cara berdalil mereka yang satu sama lain saling tumpang tindih itu dengan nama-nama “perkara-perkara qath’i”, “dalil-dalil qath’i” dan lain sebagainya!
Kalian akan melihat bagaimana akhi Aman ini secara dusta dan palsu menyebutkan ijma’ dalam banyak perkara.
Kalian akan melihat bagaimana mereka sangat jauh dari kebiasaan ulama generasi salaf yang mengatakan “Kami berpendapat begini”, “Menurut kami begini”, “Kami menganggap”, “Kami khawatir”, “Kami senang begini”, dan “Kami tidak senang begini”.
Jadi Pangkalnya atau induk perkara yang mereka (Akhi Aman dan pengikut nya pegang teguh) —seperti para pendahulu mereka yaitu Jama’at Takfir wal Hijrah dan orang-orang Khawarij kontemporer hari ini selalunya memulai pemikiran mereka dari perkara ini, yaitu perkara :
- Udzur bil Jahl atau Udzur dengan kebodohan. Ini adalah perkara fiqih, yang menjadi kajian seorang ulama fiqih. Namun mereka menjadikan perkara ini sebagai perkara pokok-pokok agama dan akidah (ushulud dien wal i’tiqad) dan perkara-perkara tauhid yang bersifat qath’i.
- Demikian juga perkara “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu akan kekafiran orang kafir maka ia telah kafir.” Kaidah ini (barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka ia kafir) adalah benar dan sudah mahsyur, dan ia adalah pembatal ketiga dari pembatal-pembatal Islam (nawaaqidul Islam) yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab rhm. Dimana beliau berkata: “ketiga: barang siapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu pada kekafiran mereka, atau membenarkan madzhab/ajaran mereka maka ia kafir”. Namun kaidah ini tidak lepas begitu saja, karena kaidah ini ada rinciannya. Barangsiapa yang melalaikan perincian ini maka ia jatuh dalam kebatilan, baik kebatilan itu berupa mengkafirkan orang islam atau tidak mengkafirkan orang kafir asli.
- Demikian juga perkara apakah syirik dan kufur itu satu perkara yang sama, ataukah keduanya berbeda dan apa persamaanya dan apa perbedaannya?
- Perkara al-asma dan al-ahkam.
Ini adalah senjata andalan mereka, yang insya Allah kita akan membongkar kebusukan mereka satu persatu dan penulis juga menganjurkan untuk mengkaji kitab Jawabus Sual Jihad Difa’i tulisan Asy-Syaikh Athiyyatullah Al-libi Rahimahullah.
Ada dua cara menghadapi mereka sebagaimana para sahabat karena sahabat adalah generasi terbaik dari umat ini, kita tidak akan jaya kecuali kita menempuh apa yang di lakukan sahabat dan tabi’in dulu karena mereka adalah sebaik-baiknya qurun dan sudah selayaknya kita mengikuti nya, sebagaimana petunjuk ulama hari ini di bumi Syam.
Cara seperti yang dilakukan sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu dengan mengutus sahabat Ibnu Abbas Kepada Haruriah. Kalau menangkap mereka bisa membuat jera dan membunuh mereka bisa menghabisi kelompok ini, mungkin bisa jadi solusi jitu untuk menghentikan penyebaran mereka. Tapi karena pemikiran radikal itu berasal dari keyakinan, penjara tidak akan pernah menghentikan mereka. Kematian tidak akan membuat mereka mundur, apalagi mereka yakin kematian tersebut kematian mulia.
Abdullah bin Umar telah mendengar Rasulullah menyampaikan tentang kelompok Khawarij ini: “Setiap hadir generasi baru, dipotong -(Nabi mengulangi berkali-kali kalimat ini lebih dari 20 kali)- hingga Dajjal keluar.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)
Sabda Nabi ini semakin menguatkan kita bahwa memenjarakan dan membunuh mereka bukan solusi jitu. Karena mereka akan terus ada. Mereka tidak pernah habis. Setiap datang generasi baru, mereka dihabisi. Tetapi pada generasi berikutnya mereka muncul kembali. Kemudian dihabisi lagi, muncul lagi, dihabisi lagi, muncul lagi dan seterusnya. Hingga Dajjal di akhir zaman nanti muncul.
Amirul Mukminin Ali r.a telah memberikan hak-hak mereka selama mereka tidak memerangi Khalifah dan menyerang muslimin dengan kewajiban mereka untuk tetap menjaga pemikiran mereka dalam kerangka aqidah Islam. Ali tidak mengeluarkan mereka di awal dari Islam. Tetapi dia memberikan hak berbeda pendapat yang tidak menyebabkan perpecahan dan mengangkat senjata.
Amirul Mukminin tidak menangkapi Khawarij untuk dijebloskan ke dalam penjara. Tidak mengawasi mereka dengan intelijen. Tidak membatasi kebebasan mereka. Tetapi beliau radhiyallahu anhu sangat antusias untuk menjelaskan hujjah dan menampakkan kebenaran kepada mereka dan kepada siapapun yang terpedaya oleh pemikiran dan penampilan mereka.
Subhanallah, begitulah jika sebuah masalah dianalisa oleh ahlinya. Kekuatan dan kedalaman analisa bersumber dari kekokohan dan kejernihan ilmu.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz suatu hari mendapatkan surat dari pemimpin Kota Mosul yang meminta izin untuk menggunakan kekerasan dalam menghentikan penyebaran kelompok khawarij.
Umar bin Abdul Aziz menjawab: “Jika mereka ingin berjalan di negeri manapun asalkan tidak menyakiti umat, silakan mereka pergi kemanapun mereka mau. Tetapi jika mereka menyakiti seorang muslimin atau masyarakat lainnya, maka adukan kepada Allah.”
Dari kalimat-kalimat di atas, jelas bahwa menangkapi, memenjarakan, membunuhi bukanlah jalan pertama dan utama. Sesungguhnya pemikiran Umar bin Abdul Aziz untuk mengatasi kelompok radikal telah disampaikannya kepada khalifah sebelumnya.
Seorang Khawarij masuk ke majlis Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Sang khalifah sedang bersama para pembesar Syam, di antara mereka ada Umar bin Abdul Aziz.
Al Walid bertanya kepada orang khawarij: “Apa pendapatmu tentang aku?”.
Orang Khawarij: “Orang dzalim pendosa, dictator”.
Al Walid: “Apa pendapatmu tentang Abdul Malik?”.
Orang Khawarij: “Diktator”.
Al Walid: “Apa pendapatmu tentang Muawiyah?”.
Orang Khawarij: “Zhalim”.
Al Walid berkata kepada salah satu stafnya Ibnu Rayyan: “Penggal kepalanya!”.
Orang itu pun mati. Dan majlis bubar.
Al Walid meminta agar Umar bin Abdul Aziz dihadirkan kembali. Al Walid bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz: “Hai Abu Hafsh, apakah tindakanku benar atau salah?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab : “Anda tidak benar ketika membunuh orang itu. Kalau saja Anda putuskan yang lain, maka lebih tepat dan benar. Yaitu: penjarakan dia hingga dia kembali ke jalan Allah atau dia menemui ajalnya”.
Al Walid: “Dia telah menghina saya, menghina Abdul Malik, dia juga seorang khawarij, apakah kamu setuju dengan hal itu?”.
Umar bin Abdul Aziz : “Saya tidak setuju. Kalau saja Anda penjara dulu, kemudian lihatlah permasalahannya. Anda bisa menghukumnya atau Anda maafkan dia”.
Al Walid marah kepada Umar bin Abdul Aziz. (Sirah Umar ibn Abdil Aziz 1/120-121, MS)
Dan terbukti, Al Walid tidak mampu mengatasi kelompok radikal Khawarij. Sementara saat Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dia menjalankan konsepnya menghadapi kelompok radikal. Dan terbukti berhasil.
Dengan Keadilan dan Kebenaran, Mereka Berhenti
Di zaman Khalifah adil; Umar bin Abdul Aziz (99 H – 101 H) kelompok radikal ini pun menyebar di beberapa kota. Seperti biasanya, mereka mempunyai pemikiran dan sikap yang meneror masyarakat dan negara.
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mampu menyelesaikan seluruh permasalah negeri hanya dalam dua tahun setengah saja. Sikapnya menghadapi kelompok radikal harus menjadi pelajaran berharga bagi kita. Berikut sikapnya:
Suatu saat gubernur Khurasan mengirim surat kepada Khalifah untuk meminta izin membasmi kelompok khawarij di kota tersebut dengan jalan cepat yaitu menghabisi mereka: “Mereka ini tidak bisa diperbaiki kecuali dengan pedang dan cambuk!”
Dan inilah jawaban Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menjadi landasan bagi zaman manapun yang tidak ingin kelompok khawarij ini muncul membesar:
“Kamu salah, mereka bisa diperbaiki dengan keadilan dan kebenaran. Maka lapangkan itu untuk mereka. Dan ketahuilah Allah tidak memperbaiki amalnya orang-orang yang merusak.”
Hasil konsep pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini sangat jitu. Ketika sang pemimpin tertinggi negara tersebut menegakkan keadilan dengan cara mengembalikan semua kedzaliman yang pernah dilakukan oleh negara dan para pejabat kepada masyarakat yang pernah didzalimi, kelompok radikal tersebut berkumpul dan memutuskan: “Kita tidak boleh memerangi orang ini.” (Sirah Umar ibn Abdil Aziz 1/120-121, MS)
Karena memang sejarah kemunculan kelompok khawarij ini dipicu diantaranya oleh sikap kekecewaan terhadap pemimpin, sehingga ketika pemimpin dunia hari ini menunjukan permusuhan dan tidak memberikan rasa adil terhadap dunia Islam, dari pemimpin yang represif, kelompok Khawarij akan muncul tiba-tiba.
Jika kelompok ini bisa muncul di zaman Ali bin Abi Thalib yang terkenal adil dan penyayang, maka apalagi di jaman ini. Dan inilah cara yang jitu diajarkan Imam Ali Radhiyallahu Anhu dengan mengirimkan ibnu Abbas sehingga 8000 dari 12.000 Haruri itu kembali bertaubat kembali kepada pangkuan Islam. Hari ini kejadian jaman sahabat terulang kembali di bumi Syam, maka tugas kita adalah menyadarkan mereka dengan hikmah, kesabaran, karena kita tidak bisa memukul rata mereka dalam satu tingkatan sebagaimana kaum khawarij ini berfikir.
Maka kita perlu memilah mana yang menjadi korban propaganda dan mana yang Takfiri Minded. Adapun Ikhwan mujahidin yang ikhlas yang tidak mengerti karena dahsyatnya media mereka, maka hal seperti ini perlu diberikan penyadaran, dikarenakan mereka adalah korban propaganda mereka sehingga para mujahidin yang ikhlas bersama mereka akan kembali kepada kebenaran.
Adapun Khawarij yang secara idiologi telah mengakar kuat lagi terus menerus mengadakan permusuhan dan menumpahkan darah kepada kaum muslimin, maka kita akan melihat kembali kadar ancaman mereka, sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abu Thalib dengan mengutus pasukan bersenjata untuk menumpas 4000 sisa-sisa Haruri ini, sehingga habis tidak tersisa sejak jaman Abdullah ibn Zubayr, Khalifah Malik melalui panglimanya Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dan Muhalab Abi Sahkrah.
Mereka diperangi dan ditumpas hingga habis. Hal inilah yang dilakukan mujahidin di Syam didalam menghadapi Khawarij Jamaah Daulah yang kerusakan dan kejahatannya sudah menjadi kesepakatan ulama dan masyarakat Syam hari ini, setelah melalui proses yang panjang dari Tahkim, mubadarah, perdamaian melalui mahkamah Syar’i yang netral telah ditolak mereka.
Mereka pun ngotot untuk berperang, menghabisi tokoh-tokoh mujahidin, ulama-ulama mujahidin lainnya, ini semua adalah berangkat dari pemahaman Takfiri Khawarij Al-Mariqun yang menjangkiti aktifis Islam hari ini, sehingga tangan-tangan kotor mereka digunakan oleh tangan-tangan jahat musuh umat Islam ini untuk membunuhi para mujahidin hari ini.
Mewaspadai Musuh Islam Menggunakan Khawarij Untuk Menghancurkan Jihad
Membaca tulisan baru-baru ini yang diterbitkan muqawamah.com (Rumus Musuh Islam Dalam memanfaatkan Ghulat Takfir Untuk menghancurkan Iskam ), menjadi renungan bersama dan kita harus bersikap waspada terhadap kelompok-kelompok yang bersemangat mengkafirkan seorang muslim, karena inilah celah untuk memecah belah barisan Islam dan para mujahidin, maka kami pun mengutip yang kami anggap penting dari tulisan tersebut, yang mana Syaikh Abdul Aziz bin Syakir Asy-Syarif hafizhahulah menyebutkan bahwa sikap mereka yang ekstrim, mudah dan gegabah dalam mengkafirkan tersebut sadar maupun tidak sadar telah melayani musuh-musuh Islam. Sikap mereka tersebut sadar maupun tidak sadar telah merusak dakwah dan jihad dari tiga aspek:
Pertama, memisahkan mujahidin dari umat Islam dengan menggambarkan mujahidin ~bagi orang awam yang bodoh dan tidak mengenal hakekat mujahidin~ sebagai orang-orang ekstrim yang mengkafirkan kelompok-kelompok, ulama-ulama dan juru dakwah Islam yang berbeda pendapat dengan mujahidin.
Kedua, menyebarluaskan pemahaman-pemahaman ekstrim di tengah kelompok-kelompok mujahidin dalam perkara-perkara yang sifatnya ijtihad fiqih yang bersifat zhanni. Akibatnya sebagian mujahidin yang terkena racun pemikiran-pemikiran tersebut akan mengarahkan peperangan mereka kepada umat Islam sendiri, yaitu orang-orang Islam yang mereka vonis sebagai “orang-orang musyrik”, “orang-orang kafir” dan “ahlu bid’ah”. Hal itu akan mengalihkan konsentrasi mujahidin dari memerangi aliansi zionis, salibis, paganis dan komunis yang memerangi kaum muslimin.
Ketiga, mengecilkan dan meremehkan kedudukan para ulama mujahidin dan komandan mujahidin dalam pandangan masyarakat serta mencela mereka, dengan tuduhan para ulama mujahidin dan komandan mujahidin memiliki kelemahan di bidang kajian syariat dan tidak memiliki ilmu yang mumpuni.
Dengan demikian masyarakat luas akan meragukan kemampuan para ulama mujahidin dan komandan mujahidin. Lalu masyarakat akan meninggalkan para ulama mujahidin dan komandan mujahidin, terutama para ulama dan komandan yang memiliki peranan penting dalam mengatur jihad di bidang syariat maupun operasi lapangan.
Jika umat Islam telah hilang kepercayaan kepada para ulama mujahidin dan komandan mujahidin serta meninggalkan mereka, maka umat Islam akan menyerahkan kepemimpinan dakwah dan jihad mereka kepada orang-orang bodoh dan anak-anak kecil.
Usaha memetik kemenangan dakwah dan jihad yang telah dirintis selama puluhan tahun oleh para ulama mujahidin dan komandan mujahidin akan musnah begitu saja dalam hitungan waktu yang singkat oleh orang-orang yang disifati oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Salam sebagai “orang-orang yang muda usianya dan sempit wawasannya”. Pada saat itulah umat akan menemui kehancurannya dan musuh-musuh Islam bertepuk tangan karena meraih kemenangan dengan “meminjam” tangan orang-orang Islam sendiri”. (Syaikh Abdul Aziz bin Syakir Asy-Syarif, Tanzihu I’lam Al-Mujahidin ‘an ‘Abatsi Al-Ghulat Al-Mufsidin, hlm. 17)
Tidak heran apabila banyak ulama dan komandan mujahidin mensinyalir bahwa dinas intelijen para thaghut dan LSM-LSM zionis-salibis biasa menunggangi atau melakukan infiltrasi lewat orang-orang yang sangat ekstrim, mudah dan gegabah dalam mengkafirkan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah syariat. Silahkan mengkaji, artikel yang dimuat oleh situs Mimbar at-Tawhid wal Jihad yang berjudul “Hal hunaka ‘alaqatun baina Muassasah Rand wa ghulat at-takfir”, Apakah ada kaitan antara Rand Corporation dan orang-orang yang ekstrim dalam masalah pengkafiran? (Lihat http://www.tawhed.ws/r?i=16011030)
(lihat pula muqadimah buku Mudah Mengkafirkan yang di terbitkan Manjaniq media dari terjemahan buku Jawabus Su’al fi Jihad Difa’i Syaikh Athiyyatullah Al-Libi rahimahullah)
Demikian kajian ini dibuat sebagai nasihat bagi orang yang berpikir, kebenaran datangnya dari Allah. Waallahu a’lam.
Shalallahu ‘ala Nabiyyina wa ‘ala ‘alihi wash-shahbihi wassalam,
Wassalamu alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
(aliakram/arrahmah.com)