(Arrahmah.com) – Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Namun semua perbedaan itu tidak menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan menjatuhkan. Mereka tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati, serta tidak mengedepankan hawa nafsu dan emosi mereka.
Berbeda dengan kaum khawarij yang bibit pemikirannya sudah muncul sejak masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, di mana dalam sejumlah riwayat, diketahui bahwa ciri-ciri mereka yaitu dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan indah tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Sebuah studi kritis yang disampaikan oleh Abu Jihad Al-Indunisy dan dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Sabtu (31/1/2015) berikut ini mengupas adab dan akhlak khawarij masa kini, yang pembahasannya meliputi sejarah dan sebab munculnya benih pemikiran khawarij, sebab-sebab penyimpangan kaum khawarij, aliran-aliran khawarij dan pokok ajarannya, serta kesamaan pemahaman khawarij tempo dulu dan sekarang,
Studi ini juga memuat pendapat sejumlah ulama mengenai “Daulah Islam” – atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS – sebagai khawarij modern, hingga benih-benih khawarij modern di tanah air yang menyorot aqidah, keyakinan dan kesesatan manhaj Aman Abdurrahman Hadahullah.
Pada studi bagian pertama ini, pembahasan mengenai adab dan akhlak khawarij modern juga mencakup hubungan pemahaman khawarij dan kaitannya dengan ajaran Akh Aman Abdurahman ditinjau dari doktrin seputar vonis kafir dan udzur bil jahl serta dari pola akhlaq dan adab ilmu hingga pola pemikiran ajarannya serta faktor-faktor terpisahnya kaum muslimin dari dirinya. Berikut pembahasan studi kritis tersebut selengkapnya.
Allah ta’ala berfirman :
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. [Al-Mâ’idah (5): 77]
Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda :
“Lemparlah dengan batu seperti ini!” Kemudian beliau melanjutkan, “Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.” (Hadits shahîh, diriwayatkan oleh an-Nasâ’i (V/268), Ibnu Mâjah (3029) dan Ahmad (I/215), al-Hâkim mengatakan: “Shahîh, sesuai dengan syarat al-Bukhâri dan Muslim.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.(
Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan, sehingga melanggar batas-batas yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan.
Beliau shalallahu alaihi wassalam menambahkan dalam atsar yang lain, dalam hadits Mihzan bin Al-Adra’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan: “Kalian tidak akan dapat melaksanakan agama ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yang mudah.”
Ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seorang hamba menangisi kepada sesuatu kecuali iblis akan menghadang dalam dua jalan/urusan dan dia tidak peduli dari jalan mana dia akan terjatuh, apakah Ghuluw (berlebih-lebihan) didalamnya atau mengurangi / menggampangkannya”.
Aqidah ahlus sunnah adalah Aqidah tawasuth / pertengahan, aqidah yang tidak terjebak kepada Ifrath/ghuluw dan tafrith /memudah-mudahkan. Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya, juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan agama.
Perbedaan Pasti Tetap Ada, Perselisihan adalah Awal Penyimpangan
Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlah kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.
Untuk bidang hukum Islam misalnya, kita bisa melihat kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua perbedaan itu tidak menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan menjatuhkan, mereka tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati.
Sejarah dan Sebab Munculnya Benih Pemikiran Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat ke 207.
Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriyah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis, Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa: “Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Sebenarnya, awal mula kemunculan pemikiran khawarij adalah pada saat masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ranah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Al-Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh Quraisy dan pemuka-pemuka Arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata, “Demi Allah! Ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah!”. Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”
Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda: “Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari Muslim)
Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau mengkhabar-kan akan munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya: “Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya”. (HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33)
Demikianlah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari tubuh buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)
Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan indah tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Sebab-Sebab Penyimpangan Kaum Khawarij
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berusaha menganalisa faktor-faktor penyebab munculnya bid’ah Khawarij dan berusaha menjelaskan cara-cara setan dalam menjerat mereka. Salah satunya adalah dengan menjadikan bid’ah yang mereka lakukan seolah-olah bagus dan indah serta layak diikuti dan diterima. Sehingga Manhaj mereka harus dibela dengan pedang oleh pemimpin beserta anggota mereka.
Dalam sejarahnya, Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat ke seluruh wilayah. Seiring semakin meluasnya kekuasaan Islam, maka mulailah persoalan muncul di negeri yang dikuasai dari yang awalnya perbedaan cara dan kebiasaan, pola pikir yang berbeda, perbedaan bahasa hingga masalah politik kepentingan lalu berkembang menjadi Aliran pemikiran, Mazhab dan Thariqah di dalam pemikiran umat Islam.
Pemeluk Islam dituntut untuk mampu menyusaikan dirinya pada tempat barunya, tetapi sebagaimana biasanya, proses adaptasi menuntut kesabaran dan waktu yang cukup. Salah satu kendala teknis yang muncul dalam proses dakwah adalah, adanya benturan adat istiadat, kebiasaan dan pola pikir yang berbeda-beda. Sehingga, kita dituntut untuk bisa menyesuaikannya dengan lingkungan yang baru dan tugas kita adalah mewarnai mereka dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, kebiasaan buruk dan cara berpikir mereka mengalami perubahan sedikit demi sedikit seiring kesabaran para da’i kita di dalam menyebarkan agamanya.
Dengan demikian, kesabaran dalam menghadapi beragam kondisi masyarakat yang tidak sesuai dengan harapan ideal, menjadi satu sikap dasar yang harus dimiliki seorang muslim.
Sebaliknya, berawal dari sikap yang berlebih-lebihan dalam menyikapi perkara kezhaliman dan kemaksiatan, dan keyakinan yang keliru tentang ancaman Allah yang pasti ditepati-Nya. Akibatnya, orang-orang yang memiliki sifat ini justru meninggalkan kewajiban menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan berhukum kepada sunnah beliau dalam masalah vonis memvonis. Serta meninggalkan kewajiban seperti ukhuwah, berlaku belas kasih terhadap kaum mukminin, mengajak dan merangkul kepada ketaatan sehingga mereka jatuh ke dalam bid’ah yang besar.
Tidak hanya itu, mereka juga terjebak kepada Talbis Iblis yang menyesatkan manusia dengan dalih taqarub kepada Allah, dalam rangka ketaatan Ibadah kepada Allah, tetapi di satu sisi mereka mendapatkan laknat Allah atas sikap berlebih-lebihan mereka di dalam memvonis manusia.
Mereka terjebak kepada perkara zhaniyat /menduga-duga daripada perkara qath’iyat /pasti , ceroboh dalam memutuskan sehingga menumpahkan darah yang suci.
Mereka sibuk kepada perkara yang diperselisihkan ulama daripada perkara yang disepakati ulama. Sehingga, mereka menghabiskan waktu dengan sia-sia, membahas perkara-perkara yang pelik dan sulit, sembrono dalam memutuskan sehingga mereka asyik kepada perkara yang justru mendatangkan kebencian dibanding kasih sayang sesama kaum mukmin dan demikianlah keadaan ahlu Ahwa dan ahlul Bida’.
Aliran-aliran Khawarij dan Pokok Ajarannya
Sejarah lahirnya aliran Khawarij muncul hampir bersamaan dengan aliran Syi’ah. Tetapi Khawarij muncul terlebih dahulu, masing-masing muncul sebagai sebuah aliran pada masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib.
Benih-benih Aliran Khawarij untuk pertama kali muncul sejak di jaman Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, merekalah yang ikut membunuh khalifah Utsman dan ketika di era kekhalifahan ‘Ali bin Abu Thalib r.a, mereka bersembunyi di pasukan khalifah Ali. Pada saat peperangan antara pasukan ‘Ali dan pasukan Mu’awiyah semakin memuncak, pasukan Mu’awiyah terdesak oleh pasukan ‘Ali, Mu’awiyah pun merencanakan untuk mundur dan berinisiatif untuk mencetuskan ide tahkim dalam rangka menjalankan hukum Allah, yakni perdamaian di antara kedua kubu. ‘Ali r.a pun memutuskan untuk menerima inisiatif Mu’awiyah. Akan tetapi, keputusan ini justru ditentang oleh 12.000 orang dari pasukan Ali r.a, mereka semua memutuskan untuk berpisah dari barisan dan mulai memvonis Ali bin Abi Thalib sebagai orang murtad karena telah menerima tahkim dari manusia.
Selanjutnya, mereka menuntut ‘Ali agar segera bertaubat kerena dipandang telah jatuh kafir karena menyetujui untuk ber-tahkim, sebagaimana mereka juga telah menjadi kafir (karena sebelumnya ikut menyetujui tahkim tersebut) tetapi kemudian mereka mencabut persetujuan itu. Pandangan kelompok ini kemudian diikuti oleh orang-orang Arab badui dengan semboyan mereka yang terkenal adalah, “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah.” (selanjutnya, mayoritas dari mereka ini dikenal dengan nama sekte Khawarij Al-Muhakkimah karena semboyan mereka ini-edt). Mereka kemudian memerangi ‘Ali, setelah terlebih dahulu berdialog dengan ‘Ali r.a.
Demikianlah, bermula dari perselisihan politik dan akibat kedangkalan pemikiran mereka maka muncullah Khawarij sebagai sebuah Aliran Pemikiran di dalam Islam, dalam perkembangannya bermunculan berbagai aliran dan sekte cabang Khawarij ini.
Penulis kitab Al Farqu Bainal Firaq telah menuturkan bahwa mereka itu mencapai 20 sekte dan beliau menyebutkan nama-namanya serta beliau menjelaskan bahwa sebagiannya itu telah terpecah menjadi berbagai sekte juga.
Adapun setiap firqah itu memiliki banyak kesesatan, akan tetapi semuanya disatukan oleh ushul berikut ini:
Pertama: Mereka mengkafirkan pelaku dosa besar dan mereka mengklaim bahwa ia kekal di dalam neraka, dan meniadakan syafa’at.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ushul pendapat Khawarij adalah bahwa mereka itu mengkafirkan dengan sebab dosa, dan meyakini suatu yang bukan dosa sebagai dosa.” (Majmu Al Fatawa V/221).
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Status orang yang melakukan dosa besar menurut mereka adalah kafir.” (Fathul Bari 12/297).
Al ‘Allamah Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah berkata, “Syafa’at beliau SAW bagi para pelaku dosa besar dari kalangan umatnya yang telah masuk neraka sehingga mereka dikeluarkan darinya, dan telah mutawatir hadits-hadits tentang syafa’at ini. Dan kaum Khawarij dan Mu’tazilah mengalami kesamaran dalam memahami persoalan ini, mereka menyelisihi hal itu karena kebodohan mereka terhadap keshahihan hadits-hadits tentang persoalan ini dan menolak kebenaran yang telah mereka ketahui dan bersikukuh di atas bid’ahnya.” (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah hal: 233).
Kedua: Takfir bil ‘umum (mengkafirkan secara total) dan mengkafirkan masyarakat muslim di luar kelompok mereka.
Al Imam Abu Al Hasan Al Asy’ariy rahimahullah berkata: “Azariqah telah mengklaim bahwa barangsiapa tinggal di Darul Kufri maka dia kafir, tidak boleh baginya kecuali keluar.” (Maqalat Al Islamiyyin 1/88).
Sebagian dari keyakinan mereka, “Bila si pemimpin telah kafir, maka semua rakyatnya menjadi kafir pula, baik yang tidak hadir di antara mereka maupun yang menyaksikan.”
Ketiga: Memberontak terhadap penguasa muslim.
Al Imam Asy Syahrastani menyebutkan tentang salah satu sifat Khawarij: “Dan mereka memandang sikap pemberontakan terhadap pemimpin bila dia menyelisihi sunnah, sebagai hal yang wajib.” (Al Milal Wan Nihal hal 54).
Al Imam Abu Al Hasan Al Asy’ariy telah menuturkan di dalam Maqalat Al Islamiyyin 1/156 bahwa Khawarij itu, “Memandang pemberontakan terhadap penguasa yang zhalim.”
Keempat: Memusuhi sahabat dan mengkafirkan mereka.
Al Imam Asy Syahrastani rahimahullah menuturkan saat menyebutkan sekte-sekte Khawarij yang sesat, beliau mengatakan : “Dan firqah-firqah terbesar dari mereka adalah: Muhakkimah, Azariqah, Najdad, Bahsiyyah, ‘Ajaridah, Tsa’alibah, Ibadhiyah dan Shafariyyah, sedangkan yang lain adalah cabang-cabang mereka”.
Mereka disatukan dengan pendapat, “Memusuhi Utsman dan Ali radliyallahu ‘anhuma, dan mereka mengedepankan hal itu terhadap segala ketaatan dan mereka tidak mensahkan pernikahan kecuali di atas hal itu.” (Al Milal Wan Nihal hlm 54).
Kelima: Tidak mengambil As Sunnah di dalam permasalahan yang tidak ada nash Al Qur’an di dalamnya.
Keenam: Jika tidak terdapat dalil dalam Al-Qur’an mengenai suatu persoalan, mereka tidak mau mengambil keterangan dari As-Sunnah.
Al Hafidh Ibnu Hajar Al ‘Asqalaniy rahimahullah berkata berkata: “Dan mereka itu memiliki banyak firqah, akan tetapi di antara ushul mereka yang disepakati diantara mereka adalah mengambil apa yang ditunjukkan oleh Al Qur’an dan menolak secara muthlaq hadits yang menambahkan terhadap hal itu.” (Fathul Bariy 1/546).
Demikianlah, akar mereka sama yaitu mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka, untuk itu kita akan mencoba menyebutkan mereka satu persatu dan landasan keyakinan beraqidah mereka, di antaranya:
Azariqah
Al-Azariqah merupakan sekte terbesar kedua setelah al-Muhakkimah. Nama sekte ini diambil dari pimpinan terpilih mereka, yaitu Nafi’ bin al-Azraq. Mereka berdomisili di perbatasan Irak dan Iran. Paham-paham mereka sedikit lebih radikal atau ekstrim ketimbang al-Muhakkimah.
Prinsip yang membedakan aliran Azariqah dari aliran Khawarij lainnya ialah:
- Mereka memandang orang yang berbeda pendapat dengan mereka tidak hanya bukan Mu’min, tetapi juga musyrik, kekal di neraka serta halal diperangi dan dibunuh.
- Di wilayah perang dibenarkan melakukan tindakan apapun yang dibolehkan dalam peperangan melawan orang kafir, baik merampas harta, menahan anak-anak dan para wanita, memperbudak musuh yang tertangkap, serta boleh membunuh orang dari pihak yang tidak mau turut berperang.
- Anak-anak orang yang menyelisihi mereka kekal di neraka.
Ibadhiyah
Aliran khawarij ini juga dinisbatkan kepada pimpinannya, yaitu ‘Abdullah Ibn Ibadh. Sebelumnya, Ibnu Ibadh adalah pengikut Azariqah. Karena tidak bisa menerima pendapat-pendapat ekstrem Azariqah, maka ia kemudian memisahkan diri dari kelompok ekstrim itu. Di antara pendapat-pendapat sekte Al-Ibadhiah ini ialah:
- Orang yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir.
- Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah dar al-harb, tetapi tetap dar al-tauhid.
- Pelaku dosa besar masih tetap muwahhid, yaitu orang yang men-tauhidkan Allah ta’ala
- Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata.
An-Najdad
Sekte ini dinamakan al-Najdad karena dinisbatkan kepada pimpinan terpilihnya, yaitu Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah di Arabia Tengah. Terpilihnya Najdah sebagai pemimpin sekte ini tidak terlepas dari sumbangan Abu Fudaik dan kawan-kawannya yang pada awalnya adalah pengikut Azariqah dari sekte Azariqah juga. Para pendiri sekte ini pergi meninggalkan Azariqah disebabkan karena mereka tidak dapat menerima beberapa ajaran yang ekstrim dari Azariqah. Di antaranya tentang orang yang tidak mau berhijrah ke lingkungan Azariqah adalah musyrik, juga terhadap ajaran yang membolehkan membunuh anak dan isteri orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.
Paham mereka tidak seekstrim paham Azariqah. Bagi mereka:
- Orang yang tidak secara aktif mendukung mereka tidaklah dianggap kafir, tetapi hanya sekedar munafik.
- Mereka memberikan wewenang kepada anggotanya untuk hidup di wilayah lain, sekalipun di luar wilayah kekuasaan Khawarij.
- Mereka membolehkan anggotanya untuk melakukan taqiyah (yaitu suatu sikap yang menyembunyikan pandangan ke-Najdahannya).
Safariyah
Penamaan sekte ini juga dinisbatkan kepada tokoh utamanya, yaitu Zaid Ibn al-Asfar. Aliran ini juga dianggap ekstrem seperti Azariqah. Di antara pendapat-pendapat mereka juga ada yang terkesan lebih lunak terutama untuk hal-hal berikut ini:
- Orang muslim yang tidak berhijrah ke wilayah Safariyah tidaklah dipandang kafir.
- Mereka tidak sependapat dengan pendapat bolehnya membunuh anak-anak orang kafir (musrik).
- Mereka membagi dosa besar menjadi dua.
- Dosa besar yang ada sanksinya di dunia seperti berzina, membunuh, dan mencuri.
- Dosa besar yang tidak ada sanksinya di dunia seperti meninggalkan shalat dan puasa.
- Cakupan Dar al-Harb (daerah yang harus diperangi) juga dibatasi.
- Kufur tidaklah selamanya keluar dari agama Islam.
- Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
Dan masih banyak aliran pemikiran khawari lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu dan kami mencukupkan apa yang sudah kami bahas, kami kaji dan tela’ah disini.
ISIS/ IS/ Jamaah Daulah/ Daisy Adalah Khawarij Modern
Sebelum dimulai, kami ingin menegaskan bahwa dalam pembahasan ini, kita tidak membutuhkan klaim mereka bahwa mereka adalah Khawarij atau bukan Khawarij, itu tidak penting! Akan tetapi cara mereka berkata, dan berbuat, menyimpulkan suatu hukum serta berbagai kecerobohan dan kebodohan mereka membuat kita meyakini bahwa mereka adalah KHAWARIJ.
Kita sudah mafhum akan kejahatan mereka yang dilakukan di bumi Syam dan Iraq dan sudah banyak ulama yang membongkar kebusukan mereka, baik melalui tulisan kajian kritis, ilmiyah dan muhadharah lainnya. Dalam kesempatan ini, saya hanya akan mengambil beberapa pendapat Ulama Ahlus Sunnah yang Masyhur, Ahluts-Tsughur beraqidah lurus yang telah kita ketahui kontribusi, kesabaran, kelurusan Aqidah dan teguhnya mereka walau mereka dipenjara cukup lama.
Asy-Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri
Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri hafidzahullah, beliau adalah Amir Tandzim Al-Qaeda. Dalam satu kesempatan beliau ditanya tentang sebab berlepas dirinya Al-Qa’idah dari jamaah daulah. Beliau menjawab :
“Ini adalah merupakan perbedaan di antara dua manhaj. Dan manhaj kami adalah manhaj yang berhati-hati terhadap urusan darah dan menjauhi operasi-operasi yang menyebabkan tumpahnya darah tanpa alasan yang benar di pasar-pasar dan di masjid-masjid serta pemukiman-pemukiman penduduk, serta (menjauhi operasi-operasi yang menyebabkan pertumpahan darah) di antara jamaah-jamaah jihad. Dan manhaj kami juga sangat berantusias untuk mengumpulkan umat dan menyatukannya di atas kalimat tauhid dan bekerja untuk mengembalikan Khalifah Rasyidah yang tegak di atas landasan syura dan keridha-an kaum muslimin”. (Bayan bi syu’un Jama’ah Qa’idatul Jihad bi Jama’atid-Daulah Islamiyah fil Iraq wasy Syam 21 Rabi’ul Awwal 1435 H)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan
Dalam transkrip rekaman suara beliau yang disebarkan melalui jaringan internet, Asy-Syaikh Al-Muhaddits Sulaiman Al-Ulwan berkata :
“Bukan hak daulah untuk merubah posisi dan mengambilnya, adapun jika setiap individu yang mengatakan, ‘Kalian keluar atau jika tidak kami perangi kalian, kalian berbaiat atau jika tidak mau kami akan perangi kalian..’ (sikap dan perkataan seperti) ini tidaklah benar. Karena sesungguhnya, daulah itu bukanlah baiat umum untuk mereka. Maka di antara syarat-syarat baiat umum itu adalah dia itu dipilih oleh ahlul halli wal-‘aqdi. Dan Abu Bakar al-Baghdadi tidaklah dipilih oleh ahlul halli wal-‘aqdi. Dan jika saja pemimpinnya (Dr. Ayman Azh-Zhawahiri) saja tidak ridha dengan perbuatannya, maka bagaimana mungkin dia menuntut orang lain untuk membaiatnya dan dia bukanlah Khalifah kaum muslimin, ia hanyalah seorang amir dari sebuah kelompok, adapun jika ia meminta baiat dari orang lain dan mereka menolak untuk berbaiat, kemudian dia memerangi mereka yang tidak mau berbaiat maka ini adalah perbuatan bughat (pemberontak), dan bukan perbuatan ahlul khair.”
Asy-Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
Asy-Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi mengatakan : “Maka di sini kami ingin memaklumatkan bahwa Jamaah Daulah Iraq dan Syam adalah jamaah yang menyimpang dari al-haq, zhalim terhadap mujahidin, berjalan menuju sikap ghuluw, ikut andil dalam penumpahan darah yang terlindungi, sumber harta, ghanimah dan wilayah mereka adalah hasil merampas dari wilayah-wilayah yang dibebaskan oleh mujahidin dari Rezim, dan ini menjadi sebab pencitraan buruk terhadap jihad dan memporak porandakan mujahidin serta merubah arah moncong senjata dari dada murtaddin dan muharibin kepada dada mujahidin dan kaum muslimin”.
Asy-Syaikh Azzam Al Amriki
Asy-Syaikh Azzam Al-Amriki salah seorang Qiyadah Tandzim Al-Qaeda wilayah Khurosan berkata dalam belasungkawanya kepada syaikh Abu Khalid as-Suri seraya membeberkan keadaan mereka :
“Sungguh, tuduhan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu (pembunuhan Abu Khalid as-Suri) tertuduh kepada kelompok yang sudah dikenal sikap ghuluw dan ekstrimnya, fanatisme dan diktatornya, melampaui batas dan penyimpangannya dari apa yang dipegangi oleh ahlul-Islam dan Jihad di Suriah, ahlul ilmi dan pemilik keutamaan dan para pendahulu mujahidin di setiap tempat, sebagaimana kelompok yang disebut itu juga sudah terkenal suka berputar-putar dan berkelit dan beralasan serta lari dari tanggung jawab, bahkan sudah terkenal taqiyahnya dan apa yang tersembunyi pada diri mereka tidak sama dengan apa yg lahir/tampak. Inilah keadaan takfiri zaman ini, yang berbeda dengan kakek moyang mereka yang terkenal dengan kejujurannya dan jauh dari dusta.”
Dan masih banyak komentar Ulama-ulama kaum Muslimin lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan mereka satu persatu disini. Akan tetapi, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, mereka sudah cukup mewakili mengingat kredibilitas mereka dalam dunia Jihad
Kesamaan Pemahaman Khawarij Tempo Dulu dan Sekarang
Sebagaimana yang sebutkan di atas bahwa ada benang merah kesamaan antara Jamaah Daulah/ ISIS sebagai khawarij modern dan khawarij zaman dahulu, walau mungkin IS atau yang semisalnya mengaku Ahlus Sunnah, dan mereka bukan Khawarij. Kesamaan mereka dalam banyak hal disini kita sebutkan :
- Orang yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir, ini adalah pendapat khawarij Azariqah, kita sudah memaklumi hari ini mereka mengkafirkan siapa saja yang berseberangan dengan mereka.
- Khawarij Azariqah menganggap bahwa wilayah perang dibenarkan melakukan tindakan apapun yang dibolehkan dalam peperangan melawan orang kafir, baik merampas harta, menahan anak-anak dan para wanita, memperbudak musuh yang tertangkap, serta boleh membunuh orang dari pihak yang tidak mau turut berperang. Untuk itu mereka akan melakukan apa saja demi tujuan mereka, hari ini mereka menganggap bahwa mereka dalam kondisi perang, mereka akan menganggap lingkungan mereka sebagai musuh kecuali yang menampakkan keislaman secara lahir, meskipun di wilayah tersebut banyak kaum muslimin awam yang sama sekali tidak mengenal ajaran agama mereka karena dikuasai oleh rezim thaghut selama bertahun-tahun. Siapapun yang mengikuti jalannya tragedi Syam akan melihat kejahatan mereka sebagaimana yang disebutkan di atas.
- Orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran. Hal inilah kesalahan bid’ah mereka sehingga benarlah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang berkata dalam Majmu’ Fatawa (XXXV/69-70): “Kelompok-kelompok sesat menyamaratakan antara kesalahan dan dosa. Kadangkala mereka bersikap berlebihan dalam masalah ini, terbunuhnya Utsman dan Ali adalah mereka dianggap telah berbuat dosa dan di kafirkan akibat dari dosa tersebut”. Ibnu Taimiyah di dalam penjelasan hadist Iftiraq Juz 3 mengakatan : “Mereka mengkafirkan dengan sebab dosa, dan meyakini dosa yang sebetulnya bukan sebuah dosa.” Sikap dan perkataan ini terjadi di negeri Suriah hari ini, sebagaimana yang disebutkan dalam kesaksian salah satu jubir resmi Jabhah Nusrah , Asy-Syaikh Abu Faras As-Suri (link youtube: http://youtu.be/iC9CstMSk5U).
Inilah akar kesalahan mereka dan demikianlah keadaan mereka yang sebenarnya.
Mereka juga mengatakan perkataan-perkataan manusia terbaik, yakni hadits-hadits Rasulullah SAW. Hal ini telah digambarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam : “Mereka menyampaikan perkataan makhluk terbaik. (Tetapi) mereka melesat dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga banyak pemuda yang tertipu dan terbuai janji busuk mereka. Dalam hal ini perdebatan dan ucapan mereka terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
- a.Fasih dan lancar berbicara, serta mengusai metode penyajian. Mereka adalah orang-orang yang tegar, tidak gentar menghadapi lawan dan tidak terhalang oleh pikiran yang sempit.
- Kelompok ini berusaha mempelajari al-Qur’an dan Sunnah, serta memahami hadits dan Hafal Qaul-qaul ulama dakwah Najd, mereka nukil sedikit, mereka curi sedikit dengan penjelasan yang penuh penekanan dan semangat yang meledak-ledak. Sehingga makna dan maksudnya sesuai dengan keyakinan sesat mereka
- Mereka menyenangi perdebatan dan diskusi tentang sya’ir dan ungkapan-ungkapan Arab. Mereka suka mengadakan perdebatan dengan lawan walaupun sedang dalam masa perang.
- Perdebatan mereka diliputi fanatisme, penganut paham Khawarij tidak akan menerima dan mengakui pendapat lawan debat mereka walaupun pendapat itu dekat kepada kebenaran atau kebenaran yang terkandung di dalamnya, Mereka akan bantah siapa pun mereka baik dari lawan maupun kawan-kawan mereka sendiri hingga nenek moyang mereka melakukan hal yang sama kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam.”Datanglah Dzul Khuwaisiroh dia adalah seorang laki-laki berasal dari Bani Tamim. Orang itu berkata: ‘Ya Rasulullah, berbuat adillah!’ Rasulullah berkata: ‘Celakalah kamu, siapa yang bisa adil jika aku saja tidak bisa adil. celaka dan rugilah aku jika tidak bisa adil.’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Benih-benih Khawarij Modern di Tanah Air
Bermula dari menentukan arah idiologi negara yang menjadi perdebatan antara kalangan Nasionalisme dan kubu Islami di satu sisi, sehingga muncullah Piagam Jakarta yang mengakomodir Syariat Islam yang menjadi Dasar Negara, kemudian hal ini dikhianati oleh Sukarno sehingga menimbulkan kekecewaan besar bagi kalangan Islamis saat itu.
Pemberontakan DI/TII S.M. Kartosuwiryo adalah bukti bahwa aspirasi kaum muslimin tidak terakomodir dan ketidakpuasan arus politik Islam saat itu tidak mendapatkan tempat sama sekali.
Meskipun pada awalnya ia adalah gerakan politik dan militer untuk memperjuangkan Islam kemudian gerakan politik ini menjadi sebuah aliran pemikiran dikemudian harinya. Dan meskipun dalam sejarahnya, S M. Kartosuwiryo telah menunjukkan keteladanan dengan membangun komunikasi dengan masyarakat, namun, siapapun akan bisa menyimpulkan bahwa dalam periode selanjut nya sejumlah besar operasi-operasi NII dalam tataran tekhnis lapangan terdapat kesalahan dalam target dan sasaran. Kesalahan menentukan musuh menjadi keyakinan untuk melegitimasi kesalahan mereka, serta menjadi pembenaran atas perbuatan serampangan dikarenakan kurangnya ulama yang membimbing mereka dalam perjalanan ini.
Tanpa disadari, pemahaman ini mencemari gerakan DI/TII dengan pemahaman menghalalkan harta dan darah yang didalam Islam terjaga kesuciannya, akan tetapi terkadang pemikiran dan pemahaman ini hilang tenggelam, kemudian muncul kembali di saat yang lain. Dari pengamatan dan analisis kita ketika munculnya KOMJI / Komando Jihad di era 70 an, ada seorang tokoh yang bernama Warman ex NII Jawa Barat yang berimigrasi ke Lampung dan menjadi Perampok dengan dalih Fai serta mencari Ghanimah. Beliau juga telah membunuh Hassan Bauw tokoh DI Jogja karena dituduh mata-mata, demikian kasus kematian Djaja Surdjadi dari NII faksi Fillah yang di bunuh dengan alasan mata-mata ( sumber: BAP Bambang Sispoyo Als Badrun16 April 1980 dengan menukil dari buku “Dari NII Sampai JI” penulis Solahudin cetakan ke 2 Komunitas Bambu oktober 2011). Inilah salah satu kecurigaan tanpa dasar sehingga sampai bermuara menghalalkan darah dan operasi-operasi semacam ini masih kita dengar di era akhir-akhir ini di Poso, Medan dan daerah-daerah lain yang menjadi wilayah operasi, masalah ini masih diperdebatkan baik dalam segi hukum syariat dan dalam segi maslahat bagi citra mujahidin itu sendiri.
Di Aceh ketika terjadi pemberontakan GAM/ Gerakan Aceh Merdeka, banyak terjadi penembakan dan pembunuhan kepada orang yang di anggap cuak / mata-mata bagi RI oleh OTK ( Orang tak dikenal), begitupun sebaliknya yang dilakukan oleh aparat TNI maupun POLRI, mereka cepat menyimpulkan sebuah perkara lalu menghalalkan darahnya, hanya ketika orang tersebut terlihat bercengkerama, berbicara dengan Musuh GAM saat itu.
Juga ketika peristiwa pengeboman Masjid Istiqlal di tahun 1998 oleh kelompok AMIN, pengeboman masjid di Masjid Polres Cirebon oleh kelompok Syarif pada tahun 2011, dan lain sebagainya.
Sebagai bagian dari kaum Muslimin yang memegang aliran thiyyar/ aliran jihadi, kita merasa prihatin dengan keadaan tersebut dan mengkhawatirkan jika cara kesalahan-kesalahan dan penyimpangan seperti ini secara tidak sadar seperti perampokan dan pembunuhan-pembunuhan ini adalah berakar dari sebuah pemikiran dan pemahaman Takfiri, yaitu menghalalkan darah dan harta tanpa dibenarkan syariat Islam itu sendiri.
Hanya yang menjadi catatan disini, terkadang perbuatan tersebut bisa berkembang menjadi sebuah ideologi Khawarij, jika perbuatan tersebut di lakukan berulang kali dengan alasan keyakinan sehingga menjadi sebuah manhaj dan aqidah mereka. Adapun kejadian konflik di atas yang tidak berkembang menjadi sebuah keyakinan dikarenakan kesalahan target maka dia tidak menjadi sebuah keyakinan dasar pijakan takfir khawarij ini, dan semoga hal-hal ini bisa dimaafkan.
Aqidah dan Keyakinan Aman Abdurrahman
Sebelum kasus IS / Daisy atau Daulah Islamiyah di Iraq dan Syam ramai diberitakan, kami sebetulnya telah merasakan bahwa pemikiran nyeleneh tersebut, mulai menjangkiti para aktifis jihadis di tanah air ini. Dimulai pada tahun 2004 setelah Bom Cimanggis di Batu Jatijajar Depok Jawa Barat, tertangkaplah sekelompok pengajian yang dipimpin akhi Aman Abdurahman.
Entah dari mana tiba-tiba ustadz muda ini menjadi Ikon Tauhid di negeri ini, dan dijuluki singa Tauhid. Entah siapa yang pertama kali memberikan gelar julukan ini, dan tidak ada yang bisa menjawab secara ilmiah, karena apa ia disebut singa tauhid. Jika melihat karya-karyanya juga tidak ada yang istimewa, justru kita melihatnya adalah penyimpangan dari aqidah yang lurus (silakan lihat buku “seri materi tauhid”nya yang berisi aqidah khawarij yang ia ajarkan, dalam kesempatan mendatang, insya Allah kita akan membongkarnya satu persatu dengan izin Allah).
Kelompok-kelompok NII wilayah Jakarta yang dipimpin Abdullah (nama inisial) yang mempunyai reputasi melakukan pencurian dan perampokan dengan alasan Fai dan mencari Ghanimah serta pengeboman di masjid menjadi semakin familiar dengan bertemunya pemikiran akh Aman dalam satu irisan. NII generasi baru yang membutuhkan legitimasi fatwa tentang bolehnya merampok, mencuri dan menipu orang yang dianggap kafir atau tidak menunjukan zhahir ke-islaman-nya, dan di satu sisi Akh Aman membutuhkan pengikut.
Kelompok Aman semakin terkenal karena keberaniannya mengkafirkan PKS dan manhajnya yang dianut (lihat catatan kaki buku Syirik Demokrasi terbitan Arrahmah media), ide mudah mengkafirkan mulai terasah ketika interaksinya dengan NII Jakarta kelompok Abdullah yang jejaknya terlihat di Aceh, Poso, Sulawesi dan Ambon. Siapa saja akan bisa menyimpulkan dalam buku Seri Tauhid berisi pemahaman batil dan takfir.
Akh Darwo dan Akh Kamal (mereka adalah rekan akh Aman generasi awal yang kemudian meninggalkan akh Aman) sebetulnya cukup berjasa mengembalikan pemahaman Akh Aman yang sangat ghuluw ini dengan mengenalkan buku karangan ulama muwahid Syaikh Ashim Abu Muhammad Al-Maqdisi, “Risalah Tsalasiniyyah” yang diterjemahkan dengan judul 33 sikap Ghuluw Fie Takfir.
Mulailah beliau merinci persoalan-persoalan yang dianggap pokok ini, dan beliau sempat memperingatkan murid-muridnya untuk bertaubat dari mengkafirkan siapa saja yang tidak menampakkan ke-Islamannya serta berlepas diri dari para thaghut.
Buku Al-Urwatul Wutsqa
Buku ini sejatinya adalah qaul-qaul ulama Nejd yang dinukil oleh Akh Aman sepotong-potong. Pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan ulama Nejd waktu itu, qaul-qaul ini ia kutip dan kemudian ia mencoba membangun keyakinannya dengan qaul-qaul ulama Nejd tersebut. Padahal qaul dan fatwa tersebut perlu dilihat peta politik Nejd saat itu dan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat saat ini, lalu mereka meng-copypaste kondisi tersebut dengan kondisi Indonesia saat ini.
Jelas cara seperti ini tidak tepat, silahkan dikaji kitab Nazharat Dakwah Nejd tulisan ulama Maroko Syaikh Hassan Al-Kanani dan kitab Tarikh Dakwah Nejd yang disusun oleh para ulama lainnya, dan Syaikh Al-Maqdisi mengkhawatirkan penukilan ini karena khawatir menjadi bibit pemikiran Takfiri dan demikian pula pandangan syaikh Utsaimin rahimahullah dalam masalah ini.
Latar Belakang pendidikan Agama Akh Aman Abdurrahman
Jika kita melihat latar belakang jenjang pendidikan keagamaan ustadz tersebut, maka tidak ada yang istimewa. Beliau menyelesaikan Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah lalu lulus dari LIPIA Jakarta, lalu sempat berinteraksi dengan dakwah salafi dan partai keadilan sebagai mana penuturan beliau, kemudian beliau sempat menjadi pengajar dan pengurus masjid Al-Sofwa Lenteng Agung Jakarta. Pemikiran takfiri akhi Aman terbentuk dan meluas ketika menjalin hubungan dengan sejumlah faksi kelompok NII Jakarta sebagaimana yang kita sebutkan di atas.
Sedangkan menurut web resmi mereka disebutkan biografi akhi Aman ini:
“……Pekerjaan setelah lulus :
- Kordinator Dai Robithoh ‘Alam Al-Islamiyyah dan Haiah Ighotsah Islamiyyah cabang Indonesia di Jakarta yang berpusat di Saudi Arabiyyah.
- Pindah mengajar untuk Tahfidh Quran di pondok Al-Hikmah Cirebon.
- Da’i dan Imam di Masjid Yayasan Al Shofwa As Salafiyyah sekaligus memegang perpustakaan Masjid Al Shofwa, lalu keluar atau diminta mengundurkan diri dari Al Shofwa karena sebab menjaharkan prinsif tidak ada udzur dengan sebab kebodohan di dalam syirik akbar serta takfir mu’ayyan di dalamnya.
- Disamping itu beliau sebagai Dosen Al-Qur’an di LIPIA di kampus tempat beliau menyelesaikan program Lc, namun beliau tidak suka pakai gelar Lc dengan alasan bahwa gelar Lc itu kebarat-baratan padahal yang dipelajari ilmi syari’at, kenapa harus memakai gelar barat, itu tasyabuh dengan orang kafir, khawatir tasyabuh dengan orang kafir.
- Pernah menjadi Mudir (pimpinan pondok) Darul Ulum Ciapus Bogor.
- Dosen di Akademi Dakwah Islam Leuwiliang Bogor terus diminta keluar darinya dengan sebab prinsif takfir mu’ayyan para thaghut dan para pelaku syirik akbar serta tidak ada pengudzuran dengan sebab kebodohan.
Adapun setelah beliau pindah maka beliau tidak terikat dengan lembaga dan yayasan apapun dan lebih banyak menyibukkan diri dengan aktifitas dakwah yang berpusat pada manhaj Tauhid.
Adapun beliau mendapatkan sebagian besar pemahaman manhaj Tauhid yang sekarang beliau dakwahkan dengan pilar “KUFUR KEPADA THAGHUT DAN IMAN KEPADA ALLAH” adalah di antaranya dari seorang yang alim Asy-Syaikh Muhammad Salim Ad-Dausariy, seorang da’i dari Jazirah Arab penulis kitab Raf’ul ‘A’imah ‘an Fatwa Al Lajnah Ad-Daimah.
Syaikh Muhammad Salim Ad-Dausary telah memberikan kajian Kasyfusyubuhat milik Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab yang didalamnya dijabarkan tidak ada pengudzuran pelaku syirik akbar dengan sebab kebodohan, dan Syaikh Ad-Dausariy menganjurkan agar mengkaji Thabaqah ke 17 yang ada di kitab Thariqul Hijratain tentang thabaqat juhhal dan muqallidin, dan beliau menganjurkan agar merujuk kitab Aqidatul Muwahhidin. Beliau juga memberikan kajian materi Al Iman wal Kufru, juga materi perincian Al Hukmu bi Ghairi Ma Anzalallah yang sangat memuaskan dahaga yang selama ini dicarinya. Dan kemudian setelah itu melanjutkan sendiri dengan penelaahan kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim dan Aimmatuddakwah”. (https://millahibrahim.wordpress.com/biografi-ust-abu-sulaiman-aman-abdurrahman-fakkallahu-asrah/ )
Dari sini kita bisa melihat bahwa pemikirannya mengalami perkembangan dan beberapa kali penolakan. Bahkan sampai tidak bisa diterima oleh sesama kalangan aktivis Islam, karena terdapat penyimpangan Aqidah Islam yang Shahih. Hal ini dapat dilihat dengan berpindah-pindah dan terusirnya akh Aman ini dari suatu Yayasan Islam ke Yayasan Islam yang lain karena permasalahan pola pikir yang dianutnya.
Dari sini kita melihat sikap keras kepala beliau di dalam memegang prinsip yang diyakininya dan menolak pembanding adanya Udzur bil Jahl dalam perkara Syirik Akbar, Kufur Akbar dan pokok tauhid lainnya.
Hubungan Pemahaman Khawarij dan Kaitannya Ajaran Aman Abdurahman Ditinjau dari Doktrin Seputar Vonis Kafir dan Udzur bil Jahl
Pemahaman aliran Khawarij hari ini pada umumnya berkisar pada soal iman, kufur dan persoalan dosa besar. Konsep iman menurut mereka merupakan kebalikan konsep iman menurut aliran Murji’ah saat ini. Kalau konsep iman menurut aliran Murji’ah hanya mengangkut soal kebenaran hati (al-tashdiq bi al-qalb), maka konsep iman menurut Khawarij ditekankan pada amal di samping al-tashdiq.
Pendapat Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukanlah orang Islam lagi, akan tetapi keluar dari Islam dan menjadi kafir, murtad dan wajib dijatuhi hukuman mati, karena konsep iman menurut mereka meliputi amal, bahkan amal itulah pokok dari iman, rusaknya amal menyebabkan rusaknya iman. Kalau iman sudah rusak oleh perbuatan dosa besar maka orang tersebut keluar dari Islam serta menjadi kafir dan murtad. Sebagian sekte Khawarij, ada yang berpendapat bahwa dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi dosa besar dan pelaku dosa besar yang seperti ini menurut mereka dipandang keluar dari Islam.
Dari sini mereka berani membuat sebuah kaidah dan aturan sendiri yaitu siapa yang menyelisihi perkara Ushul atau Pokok Tauhid yang mereka yakini dan ajarkan, berarti telah menyelisihi Aqidah Islam. Padahal perkara-perkara tersebut masih diperselisihkan oleh Ulama Islam, baik perkara -perkara ijtihadi yang terdapat dalam persoalan Furu’ maupun Ushul. Padahal banyak contoh dari sahabat, Tabi’in ada nya perbedaan masalah pokok agama tetapi tidak menyebebkan perselisihan dikalangan ummat islam.
Adapun contoh-contoh perkara pokok, tetapi diperselisihkan oleh para shahabat radhiyallaahu anhum antara lain:
Pertama : Seputar surat Al-Mu’awidzatain
Sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, yakni Abdullah ibnu Mas’ud memiliki pendapat untuk meniadakan Surah Al-Mua’widzatain dari mushafnya yaitu surat Al-Falaq dan An-Naas. Beliau berpendapat bahwa jumlah surah Al-Qur’an ada 112 Surah saja, dua Surah lagi bukanlah bagian dari Al-Qur’an.
Apa alasan sahabat Ibnu Mas’ud berpendapat demikian?
Ibnu Qutaibah berkata : “‘Abdullah bin Mas’ud tidak menuliskan surat Al-Mu’awwidzatain dalam mushhaf karena ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon perlindungan (kepada Allah) dengan membaca Al-Mu’awwidzatain untuk Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallaahu anhumaa”. (Tafsiir Al-Qurthubiy, 20/251)
Walau ibnu Hazm dan An-Nawawi menolak hadits ini dan menyebutnya sebagai dusta, tetapi Al-Imam Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
“Aku katakan: (Riwayat) Ini masyhur menurut kebanyakan qurra’ dan fuqahaa’ bahwasannya Ibnu Mas’ud tidak menuliskan surat Al-Mu’awwidzatain dalam mushhaf-nya. Barangkali ia tidak pernah mendengar sebelumnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan tidak sampai mutawatir riwayat tersebut darinya (Ibnu Mas’ud). Dan sungguh ia telah menarik pendapatnya itu dan kembali kepada pendapat jama’ah, karena para shahabat radliyallaahu ‘anhum telah menuliskannya (Al-Mu’awwidzatain) dalam mushhaf-mushhaf para imam dan menyebarluaskannya ke seluruh pelosok negeri. Walillaahil-hamd wal-minnah”. (Tafsiir Ibni Katsiir, 8/531)
Demikianlah, walaupun Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu anhu mempunyai ketinggian kedudukan di kalangan shahabat tetapi beliau bukanlah manusia yang ma’shum terbebas dari kesalahan dari salah dan dosa, akan tetapi dalam perkara yang menyelisihi perkara pokok ini tidak ada sahabat yang mem-fasiq-kan apalagi mengkafirkan.
Kedua : Kisah para shahabat dan pohon Dzatu Anwath
Demikian juga kisah para shahabat dan pohon Dzatu Anwath, ketika para sahabat meminta dibuatkan pohon Dzatu Anwath, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Musyrik. Riwayatnya secara lengkap adalah sebagai berikut:
Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu, dia menceritakan: Dahulu kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Sedangkan pada saat itu kami masih baru saja keluar dari kekafiran (baru masuk Islam-edt). Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka beri’tikaf di sisinya dan mereka jadikan sebagai tempat untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut dengan Dzatu Anwath. Tatkala kami melewati pohon itu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Allahu akbar! Inilah kebiasaan itu! Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telah mengatakan sesuatu sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Isra’il kepada Musa: ‘Jadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan.’ Musa berkata: Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bertindak bodoh’.” (QS. al-A’raaf: 138). Kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi dan beliau mensahihkannya, disahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam takhrij as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim, lihat al-Qaul al-Mufid [1/126])
Perhatikanlah kemuliaan akhlak Rasulullah yang sangat mengerti kondisi umatnya lagi sangat menyayangi mereka. Perhatikanlah bahwa beliau tidak serta merta mengkafirkan mereka, padahal mereka meminta dibuatkan berhala, meski di dekat mereka ada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalaam !
Perhatikan pula bahwa Rasulullah melihat dan mempertimbangkan secara seksama kondisi mereka yang baru masuk Islam, dengan pendekatan yang bijak, komunikasi politik dakwah yang tepat, alhamdulillah, dengan izin Allah, mereka bertaubat dari permintaan mereka itu.
Ketiga : Aisyah radhiyallaahu anha juga menolak adanya riwayat shahih yang menyatakan bahwa mayit akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari Umar bin Khatthab, Mughirah bin Syu’bah dan Abdullah bin Umar disebutkan bahwa, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan karena tangis dari keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Disebutkan bahwa Aisyah r.a menolak hadits tersebut dan berdalil dengan sebuah ayat dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 18: “Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. Fathir: 8)
Demikianlah sikap Aisyah r.a terhadap hadits di atas. Akan tetapi, pernahkah ada seorang shahabat pun yang berani mengatakan bahwa Aisyah mengkufuri sabda Rasulullah saw, sementara beliau adalah seorang Nabi yang tidak mungkin berdusta
Keempat : Perbedaan Pendapat di Kalangan Shahabat seputar Isra’ dan Mi’raj
Telah masyhur di kalangan ahlussunnah wal jamaah bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara para shahabat mengenai fenomena Isra’ dan Mi’raj, Mu’awiyah radhiyallahuanhu juga menganggap bahwa Nabi Isra’ dan Mi’raj melalui mimpi beliau, bukan dengan jasad beliau shalallaahu ‘alaihi wassalam. Sementara itu, Ibnu Abbas r.a berbeda pendapat dengan Aisyah r.a tentang Rasulullah ketika Isra’ dan Mi’raj, apakah Nabi melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati atau melihat cahaya.
Perbedaan pendapat pada wilayah yang sering disebut “wilayah keyakinan” ini tidak membuat para shahabat terpecah belah, saling memvonis apalagi sampai menghalalkan darah dan kehormatan antara satu dengan yang lain.
Demikianlah, masih banyak lagi kisah-kisah yang tidak kita sebutkan di atas yang pada intinya perbedaan adalah kemestian dan tidak selayaknya kita tidak harus ngotot sampai kepada yaqin dalam perkara-perkara Ushul dan Furu’ yang masih diperselisihkan.
Oleh sebab itu, banyak para ulama membangun persoalan-persoalan dien itu kebanyakan di bangun dengan Gholabatudz Dzon (cenderung lebih menguatkan salah satu pendapat karena sudah meyakini dalil kebenarannya), baik itu perkara Ushul (pokok) maupun Furu’ (cabang), apalagi perkara-perkara tersebut masih diperselisihkan.
Sangat tidak etis dan sikap yang salah jika kita terjebak kepada perkara yang diperselisihkan ketimbang perkara yang disepakati ulama. Sungguh aneh dan ajaib mereka sudah berani melangkah pada tahap kesimpulan, sedangkan kebanyakan ulama melihat masih banyak yang harus dikaji, dan masih di perdebatkan.
Pola pemikiran ajaran Aman Abdurrahman
Pertanyaannya, adakah keterkaitan antara pola ajaran Aman Abdurrahman hadahullah, dengan pola pemikiran khawarij yang telah diuraikan di atas? Meskipun nantinya akan diuraikan lebih rinci, tetapi kita dapat melihatnya, minimal pada dua aspek pola sikap dan perilaku pada para penganut ajaran ini, yaitu:
1. Mudah menjatuhkan vonis
Yaitu siapa saja yang menyelisihi mereka baik perkataan dan perbuatan adalah Tabdi’, Tafsiq, Tahzhir dan Takfir. Hal semacam ini bisa kita temukan dari dialog-dialog mereka di sosial media, terjemahan mereka dan tulisan- tulisan mereka. Dari sini kita akan melihat seakan-akan mereka adalah pemilik kebenaran, bahwa kebenaran ada pada mereka.
2. Menutup celah perbedaan dan mereka sudah dalam tahap kesimpulan
Ketika persoalan-persoalan Ijtihadiyah ini masih diperselisihkan dan masih dikaji oleh para ulama dan masih ada nya ruang perbedaan didalam nya,justru mereka sudah mencapai pada suatu kesimpulan dan mereka yakin bahwa ini adalah persoalan yang Qath’i (pasti) dan mengklaim sebagai Ijma’ sehinggah ketika mereka kita berikan Diskusi dalil untuk mereka kaji mereka menolak nya bahkan justru kesulitan menerima perbandingan ini, karena jikalau memakai cara seperti ini kami tidak bisa mengkafirkan orang-orang. Contoh dalam masalah ini adalah Perkara Udzur bil Jahl.
Secara umum udzur bil jahl adalah pemberian maaf kepada pelaku syirik akbar dengan tidak memvonisnya sebagai orang kafir, karena sebab jahl (kebodohannya). Dalam kesempatan ini, kita tidak akan menjelaskan panjang lebar mana pendapat yang benar dalam masalah ini, apakah yang mengudzur atau tidak mengudzur.
Akan tetapi subyektifitas Aman Abdurrahman dalam menerima pendapat yang menyatakan, bahwa tidak ada udzur bil jahl dalam perkara pokok Tauhid dan Syirik Akbar adalah sebuah kekeliruan. Seharusnya, beliau membandingkan antara pendapat-pendapat ulama yang menyatakan adanya pemberian Udzur bil Jahl serta karya yang tidak ada Udzur bil Jahl.
Adapun kitab-kitab yang tidak ada Udzur bil Jahl dengan contoh berikut :
- Ithaaf al-Bararah fii Mawani’ at-Takfir al-Mu’tabarah, tulisan Muhammad Salim al-Majlisi.
- Al-Udzru bil Jahl Tahta al-Mijhar asy-Syar’i, tulisan Abu Yusuf Madhat bin Hasan alu Faraj.
- Al-Indzar bi Anna Naqdha Ashl at-Tauhid bil Jahli laisa min al-A’dzaar, tulisan Ahmad Thariq.
Kitab-kitab inilah yang selama ini isinya dibela dan didakwahkan oleh Aman Abdurahman dan kawan-kawannya. Jika saja Akhi Aman ini mau membandingkan dengan kitab lainnya yang memberikan adanya Udzur bil Jahl di bawah ini yang Insya Allah lebih Rajih dan Metodologis. Dan di bawah ini kami akan sebutkan kitab-kitab yang membahas udzur bil jahl yang ditulis oleh para ulama Ahlusunnah wal Jama’ah, seperti:
- Al-udzr bil jahl, tulisan dr. Ahmad Farid.
- Al-Udzr bil Jahl Inda A’immati ad-Dakwah, tulisan Rasyid bin Ahmad Uwaisy al-Maghribi.
- Al-Qawl al-Fahsl fi Mas’alati Iqaamatil Hujjah wal Udzr bil Jahl, tulisan Abu Anas Jawwad Bandada al-maghribi.
- Al-Jahl bi Masail I’tiqad wa Hukmuhu, tulisan Abdurrazaq Thahir.
- Sa’atu Rahmati Rabbil ‘Alamin lil Juhhal al-Mukhalifina li asy-Syariah minal muslimin, tulisan Al-Ghabbasyi.
- ‘Aridh al-Jahl wa Atsaruhu ala Ahkam al-I’tiqad inda Ahli Sunnah wal Jama’ah, tulisan Abul ‘Ula bin Martsad.
- Dhawabit at-Takfir inda Ahli Sunnah wal Jama’ah, tulisan Abdullah bin Muhammad Al-Qarni.
- Dhawabit Takfir al-Mu’ayyan, tulisan Syaikh Abdurrahman al-Jibrin.
- Nawaqidhul Iman al-I’tiqadiyah wa Dhawabith at-Takfir inda as-Salaf, tulisan al-Wuhaibi.
- Nawaqidhul Iman al-Qawliyah wal Amaliyah, tulisan Syaikh Abdullatif.
- Ma’alim Ushul Fiqh Inda Ahli Sunnah wal jama’ah, pembahasan tentang “mahkum alaih” tulisan Al-Jiizaani.
- Wal ‘Ilam Bisy syarhi Nawaqidhul Islam. Ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz Ath-Thuraifi, dan sebagainya.
Demikianlah dan masih banyak lagi kitab-kitab ulama lainnya yang membahas persoalan pemberian udzur kepada perkara pokok tauhid karena sebab kebodohan. Akan tetapi menafikan dalil-dalil yang lain bukan sikap ulama Ahlu Sunnah atau jalan nya para Salaf, bahkan ngotot mempertahankan prinsip keyakinan yang nyeleneh lalu memasang bendera loyalitas dan anti loyalitas kepada orang menyelisihi, dan wallahi ini adalah sikap jalan nya para ahlu bid’ah demikian menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.
Hubungan Pemahaman Khawarij dan Kaitannya Ajaran Aman Abdurahman Ditinjau dari Pola Akhlaq dan Adab Ilmu
Sudah menjadi ketetapan, bahwa Jihad kita akan melalu proses ujian, tempaan dan saringan dari Allah Ta’ala. Kita tengah melalui proses pendewasaan di dalam menyikapi perbedaan. Dan dalam proses tersebut, kita diuji oleh saudara-saudara kita yang berfikir ghuluw. Adapun hikmahnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Abu Qatadah Hafizhahullah, yakni demi untuk membersihkan Jihad yang barakah ini dari tangan-tangan Khawarij Al-Mariqun.
Kita kembali membahas kaitan ajaran Aman Abdurrahman dengan aliran Khawarij. Kali ini, kita meninjau ajaran tersebut dari sisi akhlak dan adab. Rasulullah SAW bersabda:
“Akan datang di akhir zaman kelompok muda usia, lemah pemikiran, menyampaikan perkataan makhluk terbaik. Mereka melesat dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tidak melewati tenggorokan. Di manapun kalian jumpai mereka, maka bunuhlah mereka. Karena membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist yang lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Akan muncul di antara kalian, kelompok yang kalian merasa rendah dengan shalat kalian jika dibandingkan shalat mereka, shiyam kalian dibanding shiyam mereka, amal kalian dibanding amal mereka…..” . (HR. Bukhari )
Fenomena akhir-akhir ini mulai muncul orang-orang aneh (khususnya di Indonesia) yang memenuhi media sosial dari kalangan mereka yang terjebak kepada penyakit ghuluw/ berlebih-lebihan dalam beragama, yang mudah mengkafirkan terhadap saudara-saudaranya seiman hanya dikarenakan tidak mau membaiat atau bahkan hanya karena tidak bersikap yang sama dengan mereka.
Hampir semuanya (jika tidak bisa dikatakan seluruhnya), memiliki pola sikap yang hampir sama, yakni memaksa lawan bicara untuk membai’at “khalifah” Abu Bakar Al-Baghdadi, bahwa mereka adalah khlaifah yang sah, mengagung-agungkan sikap dan pendapat Aman Abdurrahman, mudah mengkafirkan, suka berkata kotor dalam perdebatan, berani mencela ulama dan sebagainya. Mengancam akan menggorok yang tidak membaiat khalifah abal-abal ini. Fenomena semacam ini jelas memecah belah barisan kaum muslimin.
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai sosok ustadz muda usia ini dan arus pemikirannya. Ajaran dan pemikiran ini kemudian bertemu doktrin “khilafah” dengan karakter khasnya yang mengkafirkan orang-orang yang menolak membaiat Abu Bakar Al-Baghdady dan bersikap ekstrim dalam hukum takfir, serta karakter lain yang sangat identik dengan aliran khawarij.
Faktor-faktor terpisahnya kaum muslimin dari akh Aman Abdurrahman
Demikianlah, berbagai upaya dan nasihat telah banyak dilayangkan demi merajut kembali ukhuwah yang terkoyak tersebut, minimal menjalin hal-hal yang masih mungkin untuk disepakati namun selalu gagal. Menurut hemat penulis, ada beberapa faktor mengapa kaum muslimin tidak pernah sepakat dengan Akh Aman Abdurrahman dan pengikutnya di antaranya:
1. Rendahnya Pemahaman Agama
Ada sebab, mengapa Rasulullah SAW mensifati orang mariqun ini sebagai hudatsa’ al asnan was sufahaa’ al-ahlam (kelompok muda usia lagi lemah pemikiran). Hal ini di karenakan mereka beramal bukan di atas ilmu tetapi dengan hawa nafsu. Hal ini dapat kita temukan dari sifat dan cara mereka menyimpulkan hukum dengan jalur pemikiran (ra’yu) mereka dan bukan dari riwayat. Sehingga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Dar’u Ta’arudhi Al-Aql wan Naql (I/141) berkata : “Kaum Khawarij yang mentakwil secara keliru ayat-ayat Al-Qur’an dan mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka lebih baik keadaannya dari pada mereka (kaum Jahmiyah). Sebab kaum Khawarij tersebut menjatuhkan vonis kafir atas dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hanya saja mereka keliru dalam memahami nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut. Adapun kaum Jahmiyah menjatuhkan vonis kafir atas dasar ucapan yang Allah tidak menurunkan keterangan tentangnya.”
Dangkalnya ilmu mereka terlihat dari cara mereka memvonis manusia, mencela saudaranya, dan cara mereka berinteraksi sesama saudara-saudaranya sendiri, tanaquth/ pertentangan di sana-sini, karena aqidah yang dibangun mereka adalah ketergelinciran ulama, mereka tekstual di dalam memahami nash dan atsar hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, mereka sering mengklaim suatu perkara sebagai Ijma’ Qath’i, sehingga yang menyelisihinya mendapat vonis munafiq, ahli bid’ah, fasiq dan kafir.
Mereka tidak mempunyai manhaj dakwah yang baik, perekrutan yang baik, teliti dan standar adab, akhlaq serta sulukiyah yang shahih. Mengapa demikian? Karena tertib ilmu dan adab nya tidak mereka tempuh dengan rapi sehingga menimbulkan pertentangan disana-sini.
Bagaimana tidak, seharusnya yang diajarkan aqidah yang salim dan ibadah yang shahih. Namun akhlaq dari ustadz dan anggota majlisnya tidak memberikan contoh yang baik kepada majlisnya. Sebagai orang yang pernah berkecimpung langsung bersama mereka, tahapan tertib ilmu yang kami rasakan adalah pertama tauhid yang dibangun dengan metode takfiri yang isinya kebencian, permusuhan terhadap saudara-saudara muslim yang tidak semanhaj oleh mereka.
Benar, bahwa kami memang diajak untuk memusuhi thagut murtad karena thaghut tersebut telah melanggengkan kezhaliman di tanah air dan menangkapi mujahidin di banyak tempat dan kami bersepakat atas hal itu. Akan tetapi, ustadz tersebut juga harus mengarahkan, membimbing dan merawat energi para binaannya, bukan justru dikompori,dijerumuskan dan diprovokasi lalu bersikap A’damul Mas’uliyah/meninggalkan mereka dengan sikap tidak bertanggung jawab.
Kasus Bom Cirebon di Masjid Polres jelas suatu kesalahan dari sisi manapun. Memang akhi Aman tidak setuju dengan operasi seperti itu, sebagaimana isi pernyataan sikap berlepas dirinya yang ditulis di VOA-Islam.com waktu itu. Akan tetapi kita tidak bisa pungkiri bahwa di rumah pelaku; Syarif sang eksekutor bom ini, ditemukan buku-buku dan pemahaman ajaran akhi Aman, seperti buku Seri Materi Tauhid yang berisi Aqidah takfiri ini.
Sikap seperti ini (pengumuman berlepas diri pasca mengajarkan pemahaman tersebut) jelas tidak bertanggung jawab. Rendahnya koordinasi, jeleknya komunikasi sistem pembelajaran mereka, menjadikan hal-hal seperti ini sebagai suatu hal sangat mudah terjadi karena kebodohan dan kedunguan kebanyakan orang-orang seperti mereka, karena jauhnya bimbingan ulama yang baik, beraqidah lurus.
Kita bisa bayangkan, mereka begitu berani mempelajari ilmu-ilmu yang masih dipertentangkan ulama tentang Dhawabith Takfir, Takfir Mu’ayan, Udzhur bil Jahl tetapi di satu sisi mereka belum mengenal bacaan Al-Qur’an, tidak mengerti bahasa Arab, ilmu alat seperti Nahwu Sharaf, mereka sibuk mencari dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadist Nabi, Ijma Ulama dan Qiyas, sementara mereka belum pernah mempelajari ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadist, Ushul Fiqh, apalagi metodologi Ilmu-ilmu tersebut. Jelas! Hal semacam ini menjadi kecelakaan fatal dalam segi Adab ilmu.
Berkenaan dengan hal tersebut, para salaf memeberikan arahan kepada kita seperti kutipan pernyataan mereka berikut ini:
Ibnul Mubarak berkata: “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin berkata: “Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarak: “Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.”
Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin : “Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.”
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata: “Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.”
Akan tetapi lihatlah kelompok Aman Abdurrahman ini, mereka sibuk kepada perkara Furu’ yang pelik dan rumit yang padanya dibangun Ijtihad para ulama, tetapi mereka belum menuntaskan Bab Thaharah, Faraidh, Munakahat. Terjebak kepada permasalahan Juz’iyyah daripada Kulliyah, perkara-perkara furu’ ketimbang ushul/ pokok, mereka sibuk kepada perkara-perkara yang diperselisihkan dari pada perkara yang disepakati ulama. Energi mereka habis hanya untuk perdebatan yang tidak perlu, waktu terbuang, membuat keras hati, menimbulkan bibit kebencian dan permusuhan, di sini mereka senantiasa tanaquth/berselisih dan mengalami pertentangan di mana-mana.
Ini semua karena akh Aman tidak memiliki guru atau syaikh yang membimbing, adab sebagai ulama tidak dimilikinya, beliau belum paham ranah perkara ikhtilaf dan adab-adabnya, thalabul ilmi juga belum sempurna, paling banter beliau hanya menerjemahkan buku-buku yang sudah ditulis ulama, buku-buku beliau yang ditulis sendiri pun masih multi tafsir dan copy paste dari qaul-qaul ulama Najd yang sering diselewengkan makna artinya dan diambil sepotong-sepotong sebagaimana kebiasaan klaim salafi maz’um yang mengambil qaul-qaul Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah secara sepotong;-sepotong.
Syaikh Al-Maqdisi bahkan mengkhawatirkan bahwa cara-cara penukilan semacam inilah yang menyebabkan awal munculnya pemikiran takfiri ini. Beliau berkata :
“Para ghulat menyalahgunakan pernyataan tersebut, mereka menganggap seakan-akan ia adalah kaedah-kaedah syariat, bahkan mereka mengagung-agungkannya, mendirikan madzhab mereka di atasnya sebagaimana orang alim membangun prinsip-prinsipnya di atas ayat muhkamah dan hadits shahih yang mengandung dalil yang jelas. Orang yang familiar dengan fatwa-fatwa para imam dakwah melihat bahwa sebagian dari mereka memperlakukan pernyataan (para imam dakwah najd) tersebut dengan perlakuan yang berbahaya di dunia nyata, dengannya mereka membantu para thaghut dan menghalalkan darah para muwahhidin.”
Masih dalam penjelasannya tersebut, beliau mengatakan kembali :
“Perlu dicatat, pernyataan yang saya sampaikan bahwa dalam kitab-kitab ulama Najd berisi ‘vonis umum’ yang harus disistematiskan bukanlah pernyataan yang bid’ah dan subyektif “.
Lalu beliau melanjutkan dengan berkata : “Hal inilah yang menjadi andalan/sandaran utama para ahlul ghullat di Peshawar dan para pengikut Abu Maryam Al-Mukhlif, Abu Umar Al-Kuwaiti, Dhiyauddin Al-Maqdisi, dan Al-Hazimi.” (Abu Muhammad Al Maqdisi 15 Dzul Hijjah 1435 Dipublikasikan oleh : MIMBAR AT-TAUHID WAL JIHAD dan diterjemahkan oleh muqawamah.com dengan judul jawaban cerdas syaikh Al-Maqdisi tanggal 3 Desember 2014)
Nah, para “ulama” yang disebutkan oleh Syaikh Al-Maqdisy inilah yang dijadikan rujukan daulah selama ini dan Aman Abdurrahman berserta para pengikutnya. Minimnya adab ilmu mereka menyebabkan mereka tidak siap menerima perbedaan dikalangan ulama. Keras nya hati dan akal menyebabkan mereka menolak mentah-mentah dalil pembanding, mereka terpaku dalam teks kitab yang mendukung hujjah mereka saja, berpegang keras terhadapnya, sementara adab ikhtilaf dikalangan ulama islam mereka buang. Demikian keadaan Akh Aman yang tidak pernah berguru kepada satu orang ulama pun kecuali menukil dari kitab-kitab ketergelinciran ulama. Maka benarlah perkataan salaf:
“Barang siapa yang guru dan syaikhnya adalah kitabnya, niscaya kesalahannya dan kekeliruannya mengalahkan kebenarannya.” (Kitab Manhaju Hayaatin karya syaikh Maisarah al-Gharib dikutip dari qoul salafus salih)
2. Memperturutkan Hawa Nafsu
“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah: 23).
Mereka bersikap sembrono kepada perkara yang masih diperselisihkan dan dikaji para ulama. Ini menyebabkan mereka menjadi Ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Hal ini dapat terlihat dalam karakter amaliah mereka.
Maksud hati ingin melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, tapi justru malah mendatangkan kemungkaran yang baru. Memang melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar akan mendatangkan kebaikan akan tetapi jika tidak dengan cara yang baik, bijak dan penuh hikmah justru menyebabkan kebencian dan permusuhan. Hal ini berlaku dalam perkara Nahi Munkar, minimnya akal dan kepolosan mereka tidak jarang justru menyebabkan mereka mengalami ujian bertubi-tubi, kegagalan mereka dalam membina manusia menyebabkan perceraian dalam rumah tangga murid-murid mereka, perginya murid-murid yang baik, ditambah lagi perilaku cepat memvonis hatta itu di dalam majelis mereka disebabkan karena berselisih pendapat yang secara tidak langsung menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara mereka.
Sebagaimana yang pernah kita singgung bahwa keadaan mereka diliputi perasaan was-was. Dalam hal ini, syaikh Athiyyatullah Rahimahullah melukiskan keadaan mereka didalam kitabnya.
“Mereka terjatuh dalam perbedaan pendapat, perselisihan dan kontradiksi, sampai pada taraf yang keji dimana fitrah yang lurus akan mampu merasakan kekejiannya, satu sama lain mereka saling menjauhi, membelakangi, memutus hubungan, mencuri, bahkan dengan cepat mereka saling memerangi jika mereka memiliki senjata dan berada di wilayah yang beredar banyak senjata, mereka terpecah-pecah dalam banyak kelompok, satu sama lain saling berlomba dalam sikap ghuluw dan kasar.” (Jawabus Su’al Jihad Daf i hlm. 24 ).
3. Saling Curiga di Antara Mereka
Wahai Ulil Abshar, perhatikan kalimat di atas, penulis yang pernah tinggal bersama mereka dalam waktu yang lama, bergaul bersama mereka bahkan kita pernah tercebur kepada pemahaman sesat mereka merasakan betul pahit getirnya hidup bersama mereka, akhlaq dan adab di atas menjadi warna yang melekat pada diri pribadi mereka. Jika bermajelis bersama mereka maka mereka menceritakan keburukan saudaranya dengan keji, meng-Ghibah aib saudaranya, kata-kata mereka yang biasa terdengar seperti, “Dia aqidahnya murjiah”, “Dia bukan bukan muwahid” , “Hati-hati dengan dia”, “Jangan shalat di belakangnya”, dan lain-lainnya.
Hal yang sering terjadi di antara mereka adalah melemparkan tuduhan sebagai jasus atau intel. Memang benar dan bisa dimaklumi, jika gerakan Islam atau pun jihad trauma dengan infiltrasi intelijen, mereka mengadakan pembusukan dari dalam, melakukan black campaign, setelah itu gulung, demikianlah cara intelijen dahulu di dalam menghancurkan gerakan Islam, akan tetapi kecurigaan mereka kepada rekan-rekan mereka sendiri menjadi permasalahan berikutnya.
Tuduhan tanpa bukti ini secara tidak langsung telah membuat perpecahan di kalangan satu majelis dan halaqah mereka, kita juga mengetahui bagaimana kita dulunya disuruh berhati-hati kepada si fulan hanya karena fulan ini tidak terlihat selama 2 minggu di majelis padahal adiknya terkena musibah, bahkan ketika 1 halaqah mereka di gulung aparat dan ketika salah satu anggotanya tidak tertangkap mereka segera menuduh rekan nya yang tidak tertangkap sebagai intel atau jasus. Demikianlah, mereka mudah melemparkan tuduhan kepada saudaranya satu majelis hanya berdasarkan zhan (prasangka) belaka.
Ada lagi pengalaman kami ketika ada seorang Polisi yang sehabis membaca buku-buku seri tauhid tulisan akhi Aman kemudian beliau memutuskan untuk keluar dari kedinasan thogut, akan tetapi keberadaan ikhwah mantan polisi ini ketika bergaul dengan mereka justru dituduh sebagai intel penyusup, mereka belum mengakui sebagai muwahid sebelum mantan polisi ini menggorok leher komandan nya didepan umum dan membakar baju dinas nya di tempat umum. Suatu permintaan yang tidak mungkin dilakukan dan bukan cara yang baik untuk membuktikan sebagai muwahid sejati, lucunya setelah menuduh tanpa bukti tidak lama kemudian mereka meminta maaf, lalu disaat yang lain kemudian menuduhnya kembali.
Demikianlah keadaan mereka yang diliputi suasana kecemasan dan saling mencurigai, sehingga dakwah mereka mengalami kontradiksi, baik secara person maupun manhaj.
4. Hati mereka dilingkupi rasa was-was
Mereka meragukan keislaman yang ada pada diri mereka, kita bahkan menyaksikan mereka menyuruh orang-orang untuk mengulang syahadat karena mereka dituduh telah melakukan kemurtadan. Kami juga pernah melihat sepasang suami istri dari kalangan mereka bersyahadat kembali, mereka meragukan keislaman pada dirinya selama ini, mereka menyesali keadaan mereka yang pernah mengucapkan kekufuran, mencoblos partai Islam, pernah berkerja dengan orang kafir, bercengkerama bersama orang yang di anggap kafir karena vonis-vonisnya sendiri.
Masih di dalam kitabnya Jawabus Sual Jihad Daf’i pada halaman 25, syaikh Athiyatullah al-Liby mengatakan :
“Pada waktu pagi, seseorang di antara mereka mengatakan, ‘Saya kemarin adalah orang kafir, maka saya hari ini masuk Islam kembali.’ Seseorang di antara mereka dalam satu majelis mengkafirkan saudaranya sendiri, lalu ia berubah dan menghukumi saudaranya tersebut sebagai muslim, lalu ia kembali mengkafirkannya berkali-kali, di antara mereka ada yang mengatakan ‘Ya, baru saja saya kafir, maka sekarang saya kembali kepada Islam’.”
Syaikh melanjutkan kembali di halaman ke 25 :
“Seseorang di antara mereka mengkafirkan keluarganya, istri dan anaknya sendiri setiap hari. Pada diri mereka terjadi kerusakan-kerusakan hubungan kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dalam jangka panjang mereka tidak akan sabar menjalaninya, karena mereka mencampakkan diri mereka sendiri ke dalam sikap memperberat diri, mempersulit, mempersempit dan hal-hal yang biasanya jiwa manusia tidak akan sanggup menanggungnya dalam jangka waktu selamanya. Mereka tidak mau menerima karunia Allah kepada mereka dengan keluasan dan kemudahan dari-Nya, justru mereka memberat-beratkan sendiri maka Allah pun memperberat atas diri mereka”.
Ya, memang benar dan demikianlah keadaan mereka, sikap was-was menyebabkan mereka mempersulit diri, pelik dan selalu menantang ujian. Inilah yang menyebabkan mereka terjangkiti berbagai macam penyakit hati dan fisik lainnya, salah mengartikan sikap wara’ yang tidak dibimbing dengan keilmuan, menyebabkan mereka justru melakukan pelanggaran syar’i lainnya.
Demikian sifat-sifat umum yang melekat pada diri mereka, dampak pemahaman ini juga melahirkan cara-cara beragama yang menyelisihi kebanyakan Ahlus Sunnah, di antaranya adalah :
Bersambung, in syaa Allah…
(aliakram/arrahmah.com)