(Arrahmah.com) – Wacana ‘Abad partisipasi penuh perempuan (full partisipation age)’ semakin menggema ke seantero dunia. Wacana yang didengungkan oleh dunia Barat ini, tak lain dan tak bukan untuk memotivasi para perempuan agar lebih maksimal berpartisipasi dalam proses ekonomi. Jika kita melihat, bukankah dunia Barat telah memberikan kebebasan partisipasi tanpa batas dan tidak sesuai dengan fitrah untuk berekspresi di ranah publik kepada para perempuannya? Lalu mengapa masih didengungkan abad partisipasi penuh perempuan? Mengapa demikian? Apa motif sesungguhnya dibalik wacana ini?
Tak lain panah proraganda ini membidik para perempuan di negeri-negeri Muslim para penghuni negara-negara dunia ketiga yang notabene masih kurang berani membebaskan kaum hawa dari belenggu nilai-nilai suci agama Islam. Tentu saja sistem sekuler-kapitalis yang melahirkan wacana ini tidak berangkat atas dasar kasih sayang dan kepeduliannya terhadap kaum perempuan tetapi mengharapkan partisipasi penuh dalam rangka mengeluarkan perempuan dari harkat dan martabatnya demi sebuah ambisi tertentu yang berujung pada rusaknya tata nilai kehidupan islami. Betapa tidak partisipasi di ranah publik yang dilakoni oleh perempuan di dunia Barat justru menghasilkan malapetaka sosial. Tingginya pelecehan dan kekerasan selsual, seks bebas, perceraian, single parent, anak bermasalah dll adalah produk yang dilahirkan atas ambisi dibalik wacana ini yang perlahan mulai menular ke negeri-negeri Muslim walaupun partisipasi perempuan di ranah publik bisa dibilang belum sepenuhnya. Lantas, apa jadinya jika semua Muslimah mengambil peran di ranah publik atas dasar paradigma full partisipation age? Padahal, belum full saja partisipasi perempuan, sudah sedemikian rusak dampaknya. Tak terbayang, bagaimana jika para perempuan benar-benar terlibat penuh dalam segala hal.
Tentu saja hal ini sarat dengan kepentingan ideologi kapitalis yang menggiring para perempuan untuk menjelma sebagai pahlawan perekonomian dunia yang saat ini tengah kolaps. Terutama krisis multidimensi di Barat mengharapkan kontribusi besar para Muslimah dalam menyelamatkan keadaan tersebut. Lantas peran seperti apa yang diharapkan kapitalsime global itu?
Pertama, Muslimah didorong sebagai mesin pencetak uang. Perempuan diberdayakan secara fisik, baik dengan bekerja di sektor-sektor industri, jasa, bahkan hiburan. Selain itu, digelontorkan pula modal khusus perempuan agar memiliki usaha rumahan sehingga menjadi perempuan mandiri secara finansial. Dengan kiprah mereka di bidang ekonomi ini, perempuan turut menggelindingkan roda perekonomian.
Kedua, perempuan didorong berperan dalam mengaruskan konsumtifisme. Berkat kemandirian finansial di mana perempuan mampu menghasilkan uang sendiri, maka perempuan tetap memiliki daya beli. Ia pun mampu memenuhi hasrat konsumtifnya. Tingginya tingkat konsumtifisme akan mendorong proses produksi sehingga mampu memutar roda perekonomian. Perempuan pun makin enjoy dan bahagia karena bisa memenuhi kebutuhan konsumtifnya sendiri tanpa harus bergantung pada laki-laki.
Yang diuntungkan dari peran tersebut adalah Barat. Belum lagi banjirnya produk-produk asing sukses menggilas produk dalam negeri yang disetir oleh pasar bebas serta dilakoni oleh kaum perempuan sebagai penghasil produk yang diberdayakan pemerintah melalui model pemberdayaan ekonomi keluarga itu sendiri dan penikmat produk-produk asing. Mereka didorong berjibaku dengan waktu, memeras energi habis-habisan agar menghasilkan uang dan membelanjakan uang itu untuk memanjakan diri, apalagi hal tersebut adalah yang sangat fitrah disukai kaum perempuan itu sendiri yang kini menjadi fenomena di tengah-tengah Muslimah.
Berbeda dengan Barat, Islam menempatkan perempuan pada posisi bermartabat. Peran kaum Muslimah ini sudah digariskan dengan jelas. Bahwa perempuan memiliki peran utama di rumah, sebagai ummun wa rabbatul bayt dan pendidik anak.
Misalnya, Islam membebankan masalah finansial pada para lelaki, sehingga perempuan fokus mengurus rumah tangga dan anak-anak. Namun, ia berdiri men-support suami guna menguatkan perannya dalam berbagai kiprah. Perannya ini akan menjaga bangunan institusi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat dan negara.
Selain itu, Muslimah diwajibkan cerdas dengan terus menuntut ilmu dan mengkaji tsaqofah sebagai bekalnya. Perempuan bisa memperoleh ilmu di rumah, juga di luar rumah dengan menghadiri majelis ilmu atau pendidikan formal. Yang mengajarkan bisa sesama Muslimah dalam lingkungan yang kondusif. Itulah salah satu peran strategis Muslimah di ranah publik juga sebagai daiyah yang memiliki kontribusi sangat besar dalam pembentukan keluarga yang tangguh, generasi terbaik, cerdas dan masyarakat madani.
Karena itu, semestinya pengarusutamaan peran Muslimah saat ini adalah berupa pencerdasan politik pada perempuan. Hal ini agar mereka memahami hakikat diri dan berkiprah sesuai fitrahnya. Jangan sampai Muslimah tenggelam dalam arus pemberdayaan ala Barat yang akan menggerus dan selanjutnya menghilangkan identitasnya sebagai Muslimah sejati.
Oleh : Ully Armia