JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali menilai saat ini Indonesia menjadi sasaran perang asimetris (serangan non fisik) intelijen asing. Patut diduga ada kepentingan pengusaha asing di balik aksi ini.
“Perang asimetris itu mencakup semuanya. Yang pasti semua serangan opini negatif yang dilakukan pihak luar, jelas kerja-kerja intelijen,” kata As’ad dalam di Jakarta, Sabtu (9/4/2011).
As’ad menjelaskan, perang asimetris adalah model perang yang menggunakan cara-cara kerja intelijen seperti spionase, subversi, propaganda, teror, dan operasi terselubung
Ia mencontohkan berita di laman majalah TIME edisi 1 April 2011 yang menurunkan artikel berjudul “Holidays in Hell: Bali’s Ongoing Woes”. Artikel yang ditulis Andrew Marshall itu menyebut berlibur di Bali bagai berlibur di “neraka” dan sebagai daerah tujuan wisata, Bali disebut penuh sampah serta informasi miring lainnya.
Sebelumnya, “The Wall Street Journal” edisi 30 Maret 2011 merilis tulisan opini Kelley Currie, mantan Asisten Khusus Wakil Menlu AS untuk Demokrasi dan Urusan Global dan Koordinator Khusus untuk Isu Tibet di Departemen Luar Negeri AS, yang mendiskreditkan Pemerintah Indonesia.
Currie menyoroti sejumlah kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola sistem politik, hukum, dan HAM di Indonesia. Masih di bulan yang sama, tepatnya 11 Maret, dua media Australia, “The Age” dan “Sydney Morning Herald”, mengangkat pemberitaan yang bersumber dari “WikiLeaks” yang menyudutkan pemerintah.
As’ad yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan berbagai serangan tersebut dimaksudkan untuk menguasai Indonesia.
“Ini bisa motifnya kepentingan pengusaha dengan menggunakan alat negara,” katanya.
Menurut As’ad, pada era globalisasi, invansi atau serangan langsung secara fisik ke negara lain sudah tidak lagi populer. Invansi model baru lebih memilih cara tidak langsung, misalnya menggunakan instrumen internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).
“Model invansi ini tentu lebih berbahaya ketimbang serangan fisik,” kata As’ad. Maraknya serangan pihak luar, kata As’ad, karena Indonesia dinilai sebagai sasaran empuk untuk diserang.
“Saat ini Indonesia dijadikan sebagai laboratorium politik dunia,” katanya.
Menurut As’ad, model serangan nonfisik atau asimetris yang dilancarkan pihak luar terhadap Indonesia mulai terbuka sejak era reformasi 1998, saat Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie. (ant/rep/arrahmah.com)