JAKARTA (Arrahmah.com) — Sejak digulirkannya isu NII KW IX, dan satu demi satu korban cuci otak ditemukan, fakta demi fakta terus menguak ke permukaan berkaitan dengan NII KW IX.
Pesantren Al Zaitun yang disebut-sebut sebagai lembaga pendidikan milik NII, juga Panji Gumilang pimpinan NII pusat. Seua fakta tersebut bukannya datang dari luar, melainkan dari “pemain dalam” yang notabene mantan anggota NII KW IX yang sudah tahu hitam putihnya NII.
Iman Supriyanto, salah satu pendiri Yayasan Pesantren Indonesia mengatakan bahwa sekitar 15 pengurus Pondok Pesantren Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat, anggota Negara Islam Indonesia KW 9. Salah satunya, Panji Gumilang, pimpinan Al Zaytun. Hal tersebut diungkapkan Imam di Mabes Polri pada Jumat (6/5/2011) pada saat melengkapi bukti-bukti laporan dugaan pemalsuan dokumen pengurus yayasan yang dilakukan Panji Gumilang.
Imam menambahkan, sebanyak 80 persen kegiatan Al Zaytun menggunakan dana yang dikumpulkan jaringan NII. Dana yang terkumpul dari umat sejak tahun 1992 hingga saat ini mencapai Rp 350 miliar.
Imam juga mengungkapkan Panji Gumilang mencoret nama Imam sebagai pendiri sekaligus pembina Al Zaytun pada Januari 2011. Alasannya, Panji kesal setelah ia keluar dari NII tahun 2007. Imam mengaku telah 20 tahun bergabung dengan NII, dengan jabatan terakhir Menteri Peningkatan Produksi. “Saya dianggap berkhianat,” katanya.
Berkaitan dengan dugaan pemalsuan dokumen, Imam menyampakain bukti berupa contoh tanda tangannya selama lima tahun terakhir dan akta pendirian yayasan sejak tahun 1994. “Di situ saya dan Panji Gumilang sebagai pendiri,” ucapnya.
Menurut dia, sebanyak 50 orang mantan anggota NII KW IX siap memberikan keterangan mengenai dugaan pemalsuan dokumen dan perbuatan makar yang dilakukan Panji.
Target kuasai pemerintahan
Sementara itu, dihari yang sama Sukanto (34), Ketua Tim Rehabilitasi NII Crisis Centre, Jumat (6/5/2011) yang juga mantan pemimpin NII setingkat kecamatan di Tebet, Jakarta Selatan, tahun 1996-2001 mengatakan kelompok NII menargetkan tahun 2014 untuk merebut kekuasaan negara lewat anggota-anggotanya yang memiliki posisi sebagai pengambil keputusan.
Oleh karena itu, seluruh kekuatan gerakan dipusatkan untuk menggalang dana kegiatan pendidikan yang berkualitas. Diharapkan lewat proses pendidikan yang berkualitas ini kader-kader NII mampu merebut posisi-posisi strategis.
Sukanto mengakui, target menguasai negara tersendat karena ada sekelompok elite NII yang mengambil jalan pintas lewat politik.
“Tahun 2009, ada lima anggota NII yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR lewat Partai Republikan. Tapi niat mereka menjadi wakil rakyat gagal karena partai mereka terdepak oleh ketentuan electoral threshold. Kelima elite NII yang mewakili lima daerah pemilihan ini antara lain mewakili daerah pemilihan Tangerang dan Bogor,” papar Sukanto.
Ia mengatakan, NII di bawah kepemimpinan Panji Gumilang alias Samsul Alam alias Abu Totok mengubah haluan NII dari gerakan radikal militer menjadi gerakan pendidikan.
“Oleh karena itu, NII di bawah Panji Gumilang dengan segala cara mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan pendidikan yang berkualitas. Buktinya, hampir seluruh aliran dana mengucur ke Pondok Pesantrean Al-Zaytun,” ungkapnya.
NII berharap pondok pesantren ini kelak melahirkan tokoh-tokoh besar NII yang memiliki latar belakang prestasi pendidikan akademis yang tinggi. Dengan demikian, peluang para tokoh ini untuk merebut jabatan strategis di pemerintahan maupun dunia usaha kian terbuka. Sukanto mengatakan, dana NII diperoleh dari iuran anggota, kegiatan mencari sumbangan, dan mencuri.
“Jumlah anggota NII di Jakarta saja 151.000 orang. Mereka bekerja mencari sumbangan secara bergantian, hampir 24 jam tanpa henti. Anak-anak pondok pun dikerahkan mengemis di SPBU-SPBU, sementara kader lainnya mencuri komputer jinjing di lingkungan kampus. Bayangkan, dalam waktu dua bulan mereka mampu mencuri 50 komputer jinjing, yang mereka jual dengan harga Rp 5 juta,” ungkap Sukanto.
Rekrutmen
NII mengutamakan rekrutmen anggota di lingkungan siswa SMA dan sederajat yang duduk di kelas III. Mereka dipersiapkan membangun jaringan di kampus-kampus saat mereka menjadi mahasiswa.
“Jadi, jangan heran kalau kasus-kasus NII di lingkungan kampus meledak justru di Malang, Jawa Timur, Provinsi Riau, dan Aceh Barat. Saat terungkap, terbukti bahwa para mahasiswa itu dikader saat duduk di kelas III SMA atau sederajat di Jakarta. Dari Jakarta, mereka menyebar ke penjuru Tanah Air lewat kampus-kampus. Para kader muda NII diawasi ketat oleh senior-senior dan jaringan di atasnya. Hal itu sudah berlangsung sejak proses rekrutmen dilakukan. Kalau mereka menghilang, bakal dicari dan diteror sampai mereka kembali ke pangkuan NII,” tandasnya.
Agar lingkungan kampus terhindar dari pengaruh jaringan NII, Sukanto mengusulkan supaya para pengelola kampus memberikan sanksi dan peringatan yang jelas mengenai larangan terlibat NII. Sebab, kegiatan NII inkonstitusional. “Mahasiswa juga harus bersikap kritis dan tegas menolak terlibat NII,” tandas Sukanto.
Ia mengatakan, sampai sekarang, laporan orang hilang yang diduga diculik NII sebanyak 80 orang, sementara yang sudah teridentifikasi baru 35 orang.
Bentukan Intelejen
Pengamat terorisme yang pernah bergabung di Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX (NII KW IX), Al Chaidar, mengungkapkan, NII pimpinan Panji Gumilang adalah NII palsu. Ia mengatakan, NII KW IX merupakan bentukan intelijen pada tahun 1002. NII KW IX dibentuk sebagai bagian dari program deteksi pemerintah untuk mengonter gerakan radikalisme di Indonesia.
“Panji Gumilang akan dibiarkan karena menjadi program deteksi pemerintah. Sangat efektif untuk mengonter radikalisme di Indonesia. KW IX bentukan pemerintah untuk melakukan deradikalisasi gerakan radikal,” paparnya seusai mengisi diskusi di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (6/5)
Ia mengatakan, NII palsu dibentuk untuk meredam gerakan dan ekspansi NII asli. “Misalnya, yang asli dakwah di satu daerah, yang palsu juga. Nanti akan ada yang terjerumus ke (NII) asli, ada yang ke NII palsu. Tetapi, yang ke NII palsu akan dikeruk hartanya, kehilangan jaringan sosial, dan lain-lain,” katanya.
Ketika ditanya bagaimana program deradikalisasi berjalan, ia menggambarkan, setelah para korban di NII KW IX tersadar telah dikeruk hartanya, akan ada cap buruk dan kapok bergabung dengan NII. “Akhirnya ada demoralisasi dan, menurut saya, kriminalisasi terhadap NII asli,” ujarnya.
Menurut Chaidar, eksistensi NII KW IX memang diproteksi pemerintah. Oleh karena itu, jawaban yang diberikan pemerintah terhadap aksi NII tak pernah lugas.
Sementara itu, NII asli, menurut Chaidar, cenderung terpojok dan masih menjalankan pola-pola tradisional. Saat ini, setidaknya ada 14 faksi NII asli yang dipimpin oleh 14 imam. “Masing-masing merasa benar. Di luar faksi, dia dianggap tidak legitimate,” ujarnya.
Gerakan NII asli cenderung tidak agresif dan hanya mampu mengumpulkan infak dalam jumlah kecil. Hal ini berbeda dari NII KW IX yang mampu meraup dalam jumlah besar. “NII asli paling infak Rp 5.000, kapan bisa berdiri negara Islam?” kata Chaidar.
Pembelaan dari pemerintah
Paparan yang diungkapkan Chaidar sepertinya bisa memberikan jawaban kenapa dengan bukti dan saksi yang tak terhitung jumlahnay, pemerintah masih asyik membiarkan Al Zaitun.
Pembiaran tersebut tampak nyata dari pernyataan mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendropriyono, yang dimuat di Kompas, Jumat (6/5).
Hendropriyono mengungkapkan bahwa pemerintah justru senang Al Zaytun mencuci otak mereka yang ingin menjadi NII. Oleh sebab itu, pembelokan ideologi NII untuk kepentingan Al Zaytun bukan tanggung jawab pemerintah, melainkan urusan NII.
Adapun tanggung jawab pemerintah, khususnya kepolisian, hanya pemberantasan gagasan pendirian NII yang bertentangan dengan Pancasila, penculikan, serta orang-orang yang merasa dirugikan secara perdata.
“Kalau ada orang NII teriak-teriak, pemerintah harus bertanggung jawab, dan tokoh-tokoh dianggap mereyakasa Al Zaytun. Katanya, buatan Pak Harto (Presiden Soeharto) dan sampai sekarang buatan pemerintah dan di-back up pemerintah, itu salah. Tidak benar. Yang benar adalah dia menggunakan ideologi NII untuk menarik massa sampai dapat duit untuk membangun Al Zaytun,” tandas Hendropriyono.
Ia tidak sependapat jika ada pihak yang mendesak Ponpes Al Zaytun harus dihancurkan karena dinilai makar terhadap pemerintah.
“Kalau soal NII-nya makar, ya memang makar. Itu menjadi urusan pemerintah untuk memberantas makarnya. Akan tetapi, bukan Al Zaytun-nya yang harus dihancurkan karena dinilai makar. Karena, di mana, tidak ada urusannya. Sebab, makar-nya Al Zaytun di mana?” tanyanya.
Sebaliknya, lanjut Hendropriyono, Al Zaytun justru memiliki manfaat bagi umat Islam, yaitu karena adanya pengembangan dan pendidikan bagi umat Islam. Kurikulumnya sudah diteliti dari pemerintah ke pemerintah sampai sekarang ini, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia, tambah Hendropriyono.
Ia menepis tuduhan bahwa Ponpes Al Zaytun dibentuk oleh pemerintah. “Karena itu, mulai dari Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, dan pejabat lainnya, termasuk saya pernah datang ke ponpes tersebut untuk menetralisasi. Waktu itu tidak ada ideologi politik yang bertentangan dengan Pancasila,” jelas Hendropriyono.
Tentang kemungkinan adanya penipuan di Al Zaytun, Hendropriyono juga menyatakan, “Kalau sumbangan itu dilakukan oleh orang-orang secara sukarela, apa yang salah? Apa ada yang dirugikan?”
Lebih jauh, Hendropriyono menyatakan, sekarang ini persoalan radikalisasi sudah menjadi rancu dan kacau, apalagi dikaitkan dengan Al Zaytun dan NII.
“Masalahnya dicampurbaurkan. Padahal, harus dipilah-pilah persoalan itu menjadi tiga entitas. Pertama, soal NII; kedua, Al Zaytun; dan ketiga, soal masyarakat yang tertipu,” katanya lagi.
Lihatlah betapa kecondongan untuk membela Al Zaitun sudah tampak nyata, padahal saksi dan bukti jelas mengatakan penipuan yang dilakukan berkedok NII KW IX selama ini memang diperuntukkan untuk membangun Al Zaitun.
Jadi pertanyaannya, jangan-jangan target NII KW IX untuk menguasai pemerintahan telah berhasil sebelum 2014? Wallohua’alam. (rasularasy/arrahmah.com)