JAKARTA (Arrahmah.com) – Asian Development Bank (ADB) bersama International Food Policy Research menyebut ada 22 juta orang Indonesia yang masih menderita kelaparan.
Hal tersebut disampaikan dalam laporan bertajuk ‘Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045’.
Menanggapi data ADB ini, pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng mengaku tidak kaget mendengar 22 juta orang Indonesia mengalami kelaparan akut.
Pasalnya, lanjut Salamudin kepada Harian Terbit, Kamis (7/11/2019), karena standar yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan terlalu rendah. Ukuran kemiskinan Indonesia 1,9 dolar PPP atau perkapita/hari. Nilai 1 dolar PPP sama dengan Rp 4.985,7.
Sehingga, lanjutnya, nilai 1,9 dolar PPP sama dengan Rp.9.472,83. Oleh karenanya menurut BPS jika pengeluaran Rp. 10 ribu/hari tidak dikatakan miskin. “Makanya data angka kemiskinan turun tapi angka kelaparan besar,” paparnya.
Salamudin juga mengungkapkan bahwa selama ini data kemiskinan disembunyikan dengan ukuran Purchasing Power Parity (PPP) yang paling rendah.
Seharusnya pemerintah Indonesia menggunakan ukuran yang dipakai negara – negara G20. Akibatnya pemerintah tidak dapat membaca keadaan sosial ekonomi yang sebenarnya, dan bangga dengan angka kemiskinan yang turun.
“Padahal yang diturunkan atau dibuat rendah adalah indikator kemiskinan. PPP adalah indikator mengukur kemiskinan untuk kelompok negara paling miskin,” terangnya.
Menurut Salamudin, dengan jumlah kelaparan seperti yang dilaporkan ADB tersebut, maka ke depan pemerintah perlu melakukan langkah konkret menghadapi kelaparan akut. Sehingga pemerintah perlu memfokuskan kebijakan pembangunan dalam rangka memberi makan rakyat yang kelaparan.
Ia menjelaskan, Indonesia adalah negara anggota G20, satu di antara 20 negara dengan PDB terbesar di dunia. Indonesia dalam organisasi ini duduk setara dengan negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan negara kaya di Eropa. Tapi BPS menggunakan indikator negara paling miskin dalam mengukur tingkat kemiskinan. Apalagi negara anggota G20 yang lain menggunakan indikator yang lebih tinggi.
India dan Brazil menggunakan indikator kemiskinan 3,20 dolar PPP. Bahkan Afrika Selatan menggunakan Indikator 5.50 dolar PPP. Bahkan Malaysia yang bukan anggota G20 menggunakan indikator 5.50 dolar PPP. Sementara Amerika Serikat menggukan indikator 21.7 dolar PPP. Bank Dunia sendiri merekomendasikan standar kemiskinan yang baru.
“Untuk negara berkembang, Bank Dunia merekomendasikan standar kemiskinan 3,20 dolar PPP. Untuk negara berpendapatan menengah 5.50 dolar PPP dan untuk negara berpendapatan tinggi 21.7 dolar PPP,” paparnya.
(ameera/arrahmah.com)