MATARAM (Arrahmah.com) – Alih alih menindak pelaku teror terhadap umat Islam saat Idul Fitri 1436 H yang membubarkan shalat Id, membakar masjid dan puluhan kios kaum Muslimin, Densus 88 justru mengkondisikan Bima setelah Poso sebagai proyek terorisme.
Bertempat di lapangan tenis Kompleks Yonif 742, Mataram, NTB, Satgas BNPT AKBP Didik Novi yang juga tergabung dalam tim Densus 88 memaparkan peta kondisi terakhir perkembangan terorisme, khususnya di NTB. Di Bima, sebutnya, masuk dalam dua kelompok besar yaitu NII di bawah pimpinan Daeng Koro, yang masih melakukan gerakan senyap meski pernah dibubarkan. Kelompok kedua adalah Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) Pimpinan Santoso.
“Ini berdasarkan data penangkapan kami beberapa bulan terakhir,” kata Didik dikutip dari suarantb, Kamis (30/7/2015).
Pada even yang dihadiri Kapolda NTB Brigjen Pol. Umar Septono, SH, MH, Danrem 162/WB Kolonel CZI. Lalu Rudy Irham Srigede. Hadir juga Sekda NTB, H.Muhammad Nur. Didik memaparkan dua kelompok besar ini sebarannya selain di Bima, juga di hampir seluruh daerah di Pulau Jawa termasuk Jakarta,Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Pulau Sulawesi di Makassar dan Poso.
”Serta di Ambon Maluku. Untuk daerah ini Ambom sebagai hotspot gerakan “teroris”,” klaim Didik.
Kata dia, secara global, dua kelompok ini menjadikan ISIS dan Al Qaida sebagai patronnya.
Membahas soal JAT, imbuh Didik, diketahuinya sudah terpecah menjadi kelompok baru yakni Jamaah Ansoorut Syariah atau disingkat JAS. Kelompok ini dijelaskannya masih terus melakukan propaganda, teror, perekrutan di wilayah – wilayah.
”Mereka kembangkan organsiasi ke Bima, Dompu dan Lombok, untuk menamankan dulu fondasi – fondasi pemikiran,” terangnya.
Sedangkan JAT membuat strategi dengan menciptakan sel- sel berupa kelompok kecil, dan seolah olah tidak berhubungan satu sama lainnya. Namun sebenarnya tetap menjadi satu jaringan.
Terkait aksi lapangan teroris, dia juga menjelaskan soal targetnya. Bahwa kaum barat bukan menjadi target utama, tapi juga aparat dan pemerintah.
Siapapun yang tidak mendukung daulah mereka, maka harus diperangi,” ucap dia.
Hal lain yang perlu diwaspadai, klaim Didik, kelompok ini masuk pada daerah konflik. Dia mengungkap saat insiden di Pelabuhan Sape, Bima. Kelompok Abu Uswah saat itu mengirim sampai 30 pasukannya masuk ke Bima, untuk bisa membakar situasi disana konfliknya semakin memanas.
“Mengapa dia butuh konflik? Sebab dengan mudah mendatangkan orang (kelompoknya), kemudian membangun landasan organisasi,” ucapnya. (azm/arrahmah.com)