SUMSEL (Arrahmah.com) – Sudah sejak bertahun silam, aturan dan kebijakan baru dibuat oleh Pemerintah Cina untuk wilayah otonomi Xinjiang. Peraturan tersebut melarang warga Uighur menggunakan burka, memiliki jenggot panjang, menggunakan nama-nama tertentu (yang di dalamnya termasuk nama Muhammad), dan bahkan berpuasa saat Ramadhan.
Walau selalu dalam penyangkalan Pemerintah Cina, semua aturan di Xinjiang itu membuat mayoritas Muslim Uighur terdiskriminasi, mereka tak bebas berislam. Pertengahan 2017 lalu, sejumlah media internasional sempat menyoroti regulasi Pemerintah Cina yang mengatur nama-nama warga Xinjiang. Dalam aturan tersebut, setiap orang tua di Xinjiang tak boleh memberi anaknya beberapa nama, termasuk di dalamnya nama Muhammad, Jihad, Islam dan beberapa nama identitas keislaman lainnya. Jika orang tua di Xinjiang melanggar, maka si anak akan hilang semua haknya atas layanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan Pemerintah Cina.
Sebelum aturan pembatasan nama, kebijakan diskriminasi serupa pernah mengatur tentang pakaian etnis Uighur. Tahun 2015 silam, Pemerintah Cina mengeluarkan aturan perempuan Muslim di Urumqi – ibu kota Xinjiang – untuk tidak menggunakan burqa. Alasannya, burqa bukanlah pakaian tradisional perempuan Uighur, jadi tak boleh ada burqa digunakan di tempat umum.
Setahun setelah larangan penggunaan burqa keluar, Muslim Uighur kembali dibatasi untuk berislam. Kali ini larangan itu datang di kala Ramadhan di Xinjiang. Pemerintah Cina menyatakan, tak boleh ada guru dan siswa di seluruh sekolah di Xinjiang yang berpuasa selama Ramadhan.
Lebih lanjut, aturan itu makin meluas berlaku bagi anggota Partai Komunis, kader partai, Pegawai Negeri Sipil, guru dan siswa yang dilarang berpuasa selama Ramadhan. Imbasnya, seluruh bisnis makanan dan minuman di Xinjiang tak boleh ada yang tutup selama siang hari di bulan Ramadhan 2016 silam.
Berbarengan dengan aturan larangan nama-nama identitas Muslim bagi etnis Uighur, aturan lain yang melarang berjanggut panjang dan berjilbab di tempat umum juga diberlakukan. Kali ini, aturan ini keluar dengan alasan melawan radikalisme dan ekstremis. Menurut Pemerintah Cina, Etnis Uighur di Xinjiang punya potensi besar menjadi pemicu teror. Dari aturan ini, makin nampak nyata, identitas Muslim Uighur perlahan ingin dilunturkan.
Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sumsel sejak tadi malam berkonsolidasi mempersiapkan segala sesuatunya untuk membantu Uighur. Bahkan pagi ini (18/12/2018), para relawan langsung melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor ACT Sumsel. Ardiansyah, Manajer ACT Cabang Sumsel mengatakan bahwa pihaknya akan segera melakukan pengiriman tim untuk melakukan investigasi ke Uighur dalam beberapa hari ini.
“Sebab yang terjadi hari-hari ini terhadap etnis Uighur adalah pelanggaran HAM, dan ini kejahatan internasional. Kita akan terus berupaya yang terbaik untuk saudara-saudara di Uighur agar mereka dapat dengan bebas menjalankan agama mereka,” ujar Ardiansyah, dalam sebuah pernyataan yang dirilis ACT Sumsel.
Dirinya juga mengajak seluruh elemen ummat Islam melakukan konsolidasi dalam upaya memberikan dukungan kepada etnis Uighur. Bahkan Ardi mendorong para ulama dan elemen ummat untuk bersuara mendesak bahkan memprotes pemerintah Cina menghentikan pelanggaran HAM.
Dalam aksi ini juga para massa aksi menyatakan sikap dengan mengusung tagar dukungan #BebaskanUyghurBerislam dan mendesak Pemerintah RI mengambil sikap tegas dan melayangkan protes besar-besaran sebab amanah dari Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, apapun dalihnya.
*Sumber: ACT
(haninmazaya/arrahmah.com)