BANDUNG – Pernyataan itu disampaikan Ust. Abu Rusydan dalam penyampaian materi bedah buku Potret Ulama, di masjid Al-Ikhsan Darul Hikam, Jl. H. Juanda, Bandung, 6 Mei 2012. “Saya tidak mengatakan di Indonesia tidak ada ulama rabbani. Namun ummat tidak pernah merasakan kehadiran mereka,” papar Ustadz asal Kudus Jawa Tengah tersebut.
Abu Rusydan menambahkan, ketidakhadiran tersebut justru di saat-saat kritis di mana umat membutuhkan mereka. Ia mencontohkan dua hal, yaitu masalah taghut dan jihad fi sabilillah. “Ust Abu Bakar Baasyir dalam kata sambutan buku Ya, Mereka Memang Taghut menganggap penguasa Indonesia sejak zaman Soekarno hingga sekarang adalah taghut.” Sayangnya, lanjut Abu Rusydan, tidak ada ulama Rabbani yang menjelaskan kepada kita apa itu taghut. “Yang ada justru celaan terhadap statemen Ust. Abu Bakar itu.”
Masalah kedua, adalah jihad fi sabilillah. Ketika sekelompok anak muda melakukan aksi yang mereka yakini sebagai jihad fi sabilillah, lagi-lagi yang muncul adalah kecaman. “Tidak ada ulama Rabbani yang mampu menjelaskan apa dan bagaimana jihad fi sabilillah itu,” papar Abu Rusydan. Padahal, dua hal tadi, menurutnya merupakan masa’il ad-diniyyah ats-tsabitah al-maghfulah (masalah agama yang sudah baku namun dilupakan).
“Semua sibuk di masalah-masalah fikih kontemporer, seperti hukum rokok dan sebagainya.” Padahal, menurut Abu Rusydan, pemahaman tentang apa itu taghut sangat penting karena berkaitan dengan tauhid. “Sementara keimanan seseorang tidak akan sempurna tanpa tauhid yang benar.”
Tampil sebagai pembicara ke-2, KH. Athian Ali. Ulama Bandung ini menyentil soal label ulama penjilat, ulama suu’. “Sebut saja penjilat atau orang jahat, jangan pakai embel-embel ulama’,” tegasnya. Tokoh FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia) ini mengaku sering mendapat aduan tentang sosol yang disebut ulama. “Saya katakan, yang keliru itu Anda, mengapa menyebutnya sebagai ulama’.”
Ia juga menceritakan kisah tragis tentang ulama. Tepatnya ketika FUUI menggelar musyawarah Syiah 26 Maret lalu. Saat itu ada dua pejabat daerah yang diundang. “Tiba-tiba, di depan saya ada seorang yang kondang sebagai ulama menghampiri pejabat tadi… ‘Pak, kami proyek begini-begitu… Kapan ditengok?’.” “Sampai sehina itu mengemis kepada pejabat,” tukas KH Atian prihatin.
Acara dihadiri sekitar 600 hadirin. Saat sesi tanya jawab, seorang muslimah melalui tulisan di kertas menanyakan status ulama yang menentukan tarif saat diundang. Dengan tegas, Ust. Abu Rusydan menjawab, “Kalau pasang tarif, jelas mereka menjual agama untuk keperluan dunianya.”
Jelang kumandang azan Zuhur, hujan lebat turun. Acara pun diakhiri dengan pembagian doorprice bagi peserta yang menjawab dengan benar pertanyaan moderator seputar isi kajian tadi.
Jazakumullah khoir
Safril Akrul