JAKARTA (Arrahmah.com) – Lorong di depan sel Rutan Narkoba Mapolda Jaya itu disulap menjadi ruang tamu dadakan. Karpet digelar melingkupi lebar lorong. Sebuah kotak kipas angin agak lusuh meraung-raung berusaha mengimbangi cuaca Jakarta siang itu yang cukup panas. Secangkir teh panas dan snack seadanya dihidangkan oleh “tuan rumah” Ali Imran, terpidana seumur hidup kasus Bom Bali I. Sepertinya ia sudah siap-siap kedatangan tamu.
Penghuni lantai 2 rutan ini tak hanya kedatangan Kiblat.net. Beberapa saat kemudian datanglah Abdurrahman Ayyub, mantan petinggi JI yang kini menjadi dai Salafi. Ditemani seorang pria muda berbadan tegap, tatap mata mantan komandan JI Australia—demikian sebuah koran nasional menyebutnya—itu agak tajam ketika Kiblat.net memperkenalkan diri. Maklum, ia punya hubungan pahit dengan beberapa media Islam online.
Beberapa media Islam online itu menyebut dirinya bersama Nasir Abas sebagai kacung-kacung BNPT. Dengan tegas Ayyub pun menolak tudingan tersebut. “Silakan cari di (struktur) BNPT… ada gak nama saya di situ,” tegasnya dengan nada agak meninggi di sela-sela obrolan. Alasan media menyebut kacung BNPT itu karena saat bertandang ke LP Pasir Putih menjenguk Ustadz Abu Bakar Baasyir, dalam buku tamu keduanya menulis berasal dari BNPT.
Ada atau tidak namanya dalam struktur, yang jelas BNPT harus berterimakasih kepada Abdurrahman Ayyub. Kehadiran tiga ulama Timteng dalam misi deradikalisasi oleh BNPT beberapa waktu lalu tak bisa dilepaskan dari peran alumnus Afghanistan angkatan Nasir Abas ini. Menurutnya, gagasan mendatangkan ulama Timteng itu muncul dalam sebuah diskusi bersama Ust. Abu Bakar Baasyir. Saat itu, ia sedang mengkritisi pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam buku Tadzkirah tulisan Amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) itu.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga kali tersebut, Ustadz Abu juga siap berdebat dengan tokoh-tokoh Salafi yang menurutnya berpemahaman Murjiah. “Bukan hanya debat, bahkan mubahalah pun beliau siap,” kenang Ayub. “Tetapi kenapa sesama orang Islam harus bermubahalah kalau bisa berdialog?” Akhirnya, Ayub pun menawarkan kepada Ust. Abu untuk mendatangkan guru-gurunya yang Salafi dari Timteng. “Baik, silakan saja,” jawab Ust. Abu.
Tiga orang masyayikh sudah siap meladeni Ust. Abu Bakar Baasyir. Mereka adalah Ali Hasan Ali Al-Halabi, Abdul Aziz Al-Rayyisy dan Sa’d Abdurrahman As-Sathri. Bersama Nasir Abas, usulan mendatangkan ketiganya disampaikan ke BNPT. Lembaga pimpinan Asyaad Mbai itu pun menyetujui mengundang mereka sebagai tamu negara. Karena beberapa kendala teknis, acara baru terselenggara 9 Desember lalu. Namun, kali ini Al-Halabi ditemani oleh Dr. Najih Ibrahim dan Hisyam Najjar—keduanya dari Mesir.
Selama ketiganya berada di Indonesia, Ayub sulit dihubungi. Padahal, saat itu Kiblat.net sedang mempersiapkan dialog ilmiah dengan tema “Siapakah yang Pantas disebut Ulil Amri.” Agus Abdullah, Redpel Kiblat.net sekaligus penanggungjawab acara sempat resah karena Ayub didapuk menjadi pembicara utama dalam acara itu. (Lihat penjelasan kronologinya di kiblat.net di sini).
Hubungan Ayub dan Ansyaad Mbai dalam kegiatan deradikalisasi bukan hanya sekali. Sebelumnya ia pun menerima ajakan untuk tampil bersama dalam acara dialog di sebuah TV. Saat disinggung Kiblat.net tentang perasaan sebagai mantan tokoh sebuah gerakan jihad yang kini bergandengan dengan dalang deradikalisasi itu, Ayub menjawab enteng, “Bagi saya, seperti juga pemahaman Salafi, hal itu bukan masalah. Dia itu Ulil Amri… perpanjangan dari Ulil Amri kita.” “Bahkan meski berhati iblis pun, SBY adalah Ulil Amri yang wajib kita taati,” imbuhnya.
Hubungan Emosional dengan Ust. ABB
Menjadi fasilitator kedatangan tokoh untuk mendebat pemikiran Ustadz Abu Bakar Baasyir tak membuat hati Ayub berjarak dengan sosok Amir JAT tersebut. “Beliau itu sudah saya anggap sebagai ayah angkat saya. Bahkan saya tak hanya berbaiat dengan beliau. Bukti kecintaan Ustadz kepada saya, saya juga dinikahkan sendiri dengan anak angkatnya warga negara Australia,” kenangnya kepada Kiblat.net. Sayang, pernyataan ini ditampik oleh keluarga Ustadz Abu Bakar Baasyir. “Ustadz Abu tidak pernah punya anak angkat. Saya juga tidak tahu siapa yang dia maksud dengan anak angkat itu,” ujar Abdurrahim, putra Ustadz Abu Bakar Baasyir.
Yang jelas, Ayyub mengaku bolak-balik menjenguk Ustadz Abu itu demi kecintaannya kepada sang Ustadz. “Ustadz Abu sampai sekarang masih orang-tua angkat yang saya cintai. Itu hak saya. Hanya Allah yang tahu. Antum percaya atau tidak, nggak ada urusan. Saya berkepentingan agar Ustadz Abu jangan sampai terkena doktrinnya Aman Abdurraman.” Tentang perjalanan Jakarta-Nusakambangan, Ayyub menjelaskan, “Ngapain saya capek-capek ke Nusakambangan… Antum pikir enak perjalanannya… Emang dana selalu ada?” Entah apa maksudnya, tiba-tiba seorang mantan napi terorisme yang juga hadir di situ berseloroh, “Ah… dana itu selalu ada,” katanya sambil tersenyum. Ayyub pun menanggapinya dengan senyum pula, “Ini orang mau tahuaja jumlahnya.”
Batal Berdiskusi
Dalam rimba gerakan Islam, Abdurrahman Ayub adalah sosok yang unik sekaligus kontroversial. Menjadi petinggi sebuah gerakan jihad yang dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh PBB, namun kemudian berbalik arah dan menentang pemikiran kelompok asalnya. Ayyub berubah pikiran dari jihadis menjadi “salafis.” Kedua kubu pemikiran yang berbeda pandangan ini sering terjebak dalam komunikasi yang kurang sehat. Saling hujat dan serang, terutama di dunia maya.
Itulah yang menginisiasi Kiblat.net untuk mempertemukan dua pemikiran dalam sebuah diskusi ilmiah. “Ustadz Abdurrahman Ayub menyatakan bersedia dipanel dengan Ust. Anung Al-Hamat,” kata Agus, penanggungjawab acara, saat menjelaskan mengapa perlu mengundang Ayub dalam diskusi tersebut. “Bahkan, jangankan Anung… dengan gurunya seperti Farid Okbah pun saya siap,” ucap Agus menirukan Ayub saat itu.
Namun di kemudian hari tiba-tiba Ayub ragu. Ia mengaku khawatir dalam forum tersebut akan dicaci dan dihina. “Saya tidak bisa menahan diri bila dihina,” katanya kepada Agus. Padahal, “Sudah kita jelaskan bahwa yang datang undangan terbatas. Dari kalangan Salafi juga diundang.” Untuk lebih meyakinkan, Ayyub meminta panitia membuat perjanjian tertulis untuk menjamin apa yang dikhawatirkan tidak akan terjadi. Permintaan itu pun dipenuhi. Sayang, “Saat kami hendak mengantarkan surat perjanjian itu, teleponnya tidak diangkat. Tahu-tahu kirim SMS yang intinya membatalkan kesediaan secara sepihak.”
(kiblat.net/arrahmah.com)