(Arrahmah.id) – Hakikat ikhlas itu adalah lillahi ta’ala, jika kita mengamalkan amal-amal kebaikan, jika tidak dilakukan karena Allah, maka tidak ada ikhlas di dalamnya. Apa yang keluar dari lisan kita, apa yang bergerak dari tangan kita, sejatinya adalah apa yang ada di dalam hati kita. Jika ingin dzahir kita baik, maka hati kita harus baik.
Syukur bil arkan (wujud syukur dengan perbuatan) adalah yang paling berat. Dan bentuk syukur tersebut adalah mengamalkan semua syariah Allah.
Tahun keempat kenabian dakwah terang-terangan telah dimulai dan di tahun lima kenabian kaum Muslim melakukan hijrah ke Habasyah, apa yang terjadi selama satu tahun itu, adalah wujud syukur bil arkan dari kaum Muslimin saat itu.
Di tahun tersebut sahabat Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahuanhu lahir. Ketika Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam meninggal dunia, usia Abdullah bin Amr bin Ash baru 17 tahun.
Abdullah bin Amr bin Ash dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang wanita shalihah, namun ia tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Hari-harinya dihabiskan untuk ibadah, mendekatkan diri kepada Allah. Siang-siangnya dihabiskan untuk shaum, dan malam-malamnya dihabiskan untuk qiyamul lail, mengkhatamkan 30 juz Quran.
Amr bin Ash mendatangi Rasulullah dan menyampaikan semua yang dilakuan oleh anaknya. Saat itu Amr bin Ash tidak ingin memberikan nasihat langsung kepada anaknya karena ia khawatir apa yang diucapkannya salah dan ia takut ditegur langsung oleh Allah. Ia memutuskan biar gurunya saja (Rasulullah) yang menegurnya.
Rasulullah memanggil Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah segera mendatangi gurunya tersebut.
Rasulullah bertanya: Benar kamu tidak menyentuh istrimu? Dia membenarkan dan mengungkapkan alasannya. Lalu Rasulullah memintanya untuk mengkhatamkan Quran selama satu bulan. Namun Abdullah menjawab:
“Rasulullah saya masih sanggup, biarkan saya memanfaatkan masa muda untuk terus beribadah kepada Allah karena tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah adalah salah satunya anak muda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah SWT.”
Dan Rasulullah menjawab Abdullah: Kalau begitu selesaikan Quran mu selama 20 hari.
Dijawab lagi: “Ya Rasulullah biarkan aku menikmati masa mudaku, aku masih kuat.”
“Kalau begitu selesaikan Quran mu selama sepekan.”
“Ya Rasulullah, aku masih kuat.”
“Kalau begitu selesaikan Quranmu selama tiga hari.”
“Wahai Rasulullah, saya masih bisa, masih kuat.”
Maka Rasulullah diam, tidak menambah lagi.
Rasulullah meluruskan Abdullah dengan mengatakan:
“Sesungguhnya keluargamu itu memiliki hak yang harus kamu tunaikan, dan sesungguhnya hamba sahayamu memiliki hak yang harus kamu tunaikan.”
“Sebaik-baik amal yang dicintai adalah istiqomah meskipun hanya sedikit.”
Di hari tuanya, Abdullah mengeluh dan menyesal, “jika dahulu aku menerima nasihat Rasulullah, mengambil keringanan mengkhatamkan Quran 30 hari sekali, maka aku bisa istiqomah mengkhatamkan Quran sampai akhir hayat.”
Tentang harta, Abdullah bin Amr bin Ash mendapatkan warisan yang sangat banyak, berkarung-karung emas. Ia dibesarkan dari keluarga yang kaya raya dan terpandang. Ayahnya, Amr bin Ash, merupakan bangsawan di Kota Mekkah. Kendati demikian, Abdullah bin Amr tidak pernah silau dengan kekayaan keluarganya. Ia menginfakkan hampir seluruh hartanya, karena ia tidak ingin terperdaya dengan dunia.
Abdullah bin Amr bin Ash memiliki banyak murid, hampir mencapai ratusan, salah satunya adalah Hasan Al Basri. (haninmazaya/arrahmah.id)
*Disarikan dari kajian yang diisi oleh: Ustadz Ardhan Tonadisiki