JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur Habib Rizieq Shihab Center (HRS Center) Abdul Chair Ramadhan mengatakan, penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq terlalu dipaksakan. Ia menilai, sejak awal memang telah ada skenario untuk menyeret Habib Rizieq ke pengadilan.
“Banyak keganjilan dalam proses pengusutan kasus Habib Rizieq ini, kata Abdul Chair dalam keterangan pers, Kamis (10/12/2020).
Misalnya saja, lanjut Abdul, dalam kasus ini polisi menggunakan Pasal 160 KUHP untuk menjerat Habib Rizieq. Penggunaan pasal tersebut terkesan dipaksakan oleh kepolisian.
“Ya, memang sudah diskenariokan seperti itu. Dengan masuknya Pasal 160 KUHP pada penyidikan sudah terkesan dipaksakan, padahal dalam tahap penyelidikan Pasal 160 KUHP tidak ada,” kata Abdul, sebagaimana dilansir JPNN, Kamis (10/12).
Berkaitan dengan Pasal 160 KUHP, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam aturan itu dari delik formil menjadi materiil.
“Artinya, pelaku penghasutan baru bisa dipidana bila timbulnya akibat yang dilarang seperti kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya atau akibat terlarang lainnya. Terkait dengan protokol kesehatan, dipertanyakan apa akibat yang terjadi?” ujarnya.
Selain itu, Abdul pun mengungkap keganjilan lainnya, yakni status hukum pelanggaran protokol kesehatan terhadap Habib Rizieq didasarkan pada Laporan Polisi (LP) tertanggal 25 November 2020 dan Surat Perintah Penyidikan tertanggal 26 November 2020.
Laporan polisi tersebut, ujar Abdul, sebelumnya tidak pernah ada dalam tahap penyelidikan. Dari situ memperkuat dugaan Habib Rizieq memang sudah diskenariokan untuk dijerat hukum.
“Penyelidikan didasarkan atas Laporan Informasi tertanggal 15 November 2020. Pada tahap penyidikan ini masuk pula delik penghasutan, Pasal 160 KUHP, yang sebelumnya juga tidak ada dalam penyelidikan,” ujar dia.
“Di sini dipertanyakan, apa sebenarnya hasil penyelidikan itu, menunjuk pada peristiwa hukum apa? Mengapa sekarang baru ada Laporan Polisi dengan Imam Besar HRS (Habib Rizieq Shihab) sebagai terlapor dan masuknya Pasal 160 KUHP?” tanyanya.
Keganjilan berikutnya, ungkap Abdul, tidak dilakukan pemeriksaan atau permintaan keterangan dari calon tersangka dalam kasus yang menyerat Habib Rizieq.
Tindakan tersebut tentu bertentangan dengan putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 bahwa penetapan tersangka harus didahului dengan adanya pemeriksaan calon tersangka.
“Di sini IB HRS (Imam Besar Habib Rizieq Shihab,red) belum pernah diminta untuk memberikan keterangan sebagai Calon Tersangka sebagaimana yang dimaksudkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ini menunjukkan bahwa penerapan hukum terhadap IB HRS dan lainnya cenderung dipaksakan dan mengandung motivasi tertentu,” jelasnya.
(ameera/arrahmah.com)