Hasil temuan Tim Pengacara Muslim (TPM) dalam penyelidikan kasus baku tembak pada 22 Januari 2007 di Poso menunjukkan bahwa aparat kepolisian khususnya tim Detasemen Khusus 88 salah tangkap dan salah tembak.
“Kita berkeyakinan bahwa aparat salah sasaran, salah tangkap, salah tembak, dan telah melakukan penyiksaan,” kata Ketua TPM Mahendradatta dalam acara diskusi Poso Kembali Membara, Intervensi Asing yang diselenggarakan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) di Masjid Al-Azhar Jakarta, Senin kemarin.
Mahendradatta menyebutkan ada 20 warga biasa atau sipil yang diambil dan dimasukkan ke kendaraan taktis (rantis). Mereka diinjak-injak dan dipaksa mengaku sebagai pelaku kerusuhan, teman pelaku, atau “dipas-paskan” mendukung orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
“Mereka telah mengadukan masalah itu ke Komnas HAM,” ujarnya. Menurut Mahendradatta menghadapi DPO seharusnya hati-hati.
“Jangan lupa sebelum operasi ini, ada lima orang DPO yang menyerahkan diri. Itu berarti sudah mulai menunjukkan hasil dengan dilakukan pendekatan tanpa kekerasan,” katanya.
Namun, setelah kejadian 22 Januari 2007, Mahendradatta mencurigai ada intruksi khusus untuk mempercepat keamanan, sehingga aparat menjadi tertekan, panik, dan represif.
“Akibatnya hasil operasi hanya dua orang yang masuk DPO, sedangkan yang lainnya adalah warga biasa,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Forum Silaturahmi Umat Islam Poso Ahmad Suhardi mengatakan, sebenarnya akar permasalahan atas kasus Poso adalah belum ditegakkannya Deklarasi Malino.
“Masyarakat Poso menginginkan kedamaian dan keamanan serta adanya penegakan hukum,” katanya.
Suhardi juga membantah adanya anggapan pihaknya melindungi DPO.
“Jika ingin menegakkan hukum silakan, kita tidak pernah menentang. Jika DPO terbukti melanggar hukum, aparat boleh menangkapnya. Tapi jangan arogan dan berlebih sehingga ada korban, penangkapan salah, hingga penyiksaan yang melanggar HAM,” ujarnya.
Suhardi berharap dengan adanya aparat, dapat memberikan ketenangan di Poso bukan justru membuat ketakutan dan trauma sehingga menyebabkan warga mengungsi.
Ganti Rugi
Selain itu, Pengacara Muslim (TPM) akan mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Detasemen Khusus 88 atas kasus salah tangkap dan salah tembak yang mengorbankan warga Poso dan Palu, beberapa waktu silam.
Menurut Mehendra, ganti rugi yang dimaksud adalah diakuinya alat kontrol eksternal bagi masyarakat, manakala menghadapi tindakan yang berlebihan dari aparat.
Mahendra menegaskan, tuntutan ini bukan berkonotasi materi. Sebelum mengajukan tuntutannya, TPM untuk Kasus Poso dan Palu terlebih dahulu akan mengajukan pra-peradilan ke Mahkamah Agung agar dapat menghapus penjelasan Ayat 1 Pasal 95 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Untuk ini, TPM Poso dan Palu juga berencana melakukan clasaction untuk mendesak pemerintah membubarkan Densus 88 dan menariknya dari tanah Poso. [ant/sm/mtv/cha]