Faten al-Shaer, seorang ibu berusia 31 tahun, tinggal di rumah yang berjarak 150 meter dari selatan Gaza yang berbatasan dengan Mesir. Wilayah ini, yang dikenal sebagai ‘Philadelphi Route’, telah beberapa kali menjadi target penyerangan dan saat ini yang bersisa hanyalah puing-puing bangunan, pasir, dan lubang-lubang bekas ledakan bom.
Rumahnya merupakan salah satu dari sekian rumah yang masih tegak di sana, dikelilingi oleh sisa-sisa bangunan rumah yang mengabu dan sobekan kain terpal yang menutupi terowongan penyelundupan.
“Saya sedang membuat roti ketika pengemboman di area perbatasan mulai dilancarkan 28 Desember lalu,” ungkap Faten. “Ratusan orang berhamburan ke jalan-jalan untuk melarikan diri. Semua orang bergerak. Ibu saya, puteri saya yang berusia lima tahun, dan saya lari ke rumah paman saya yang agak jauh dari perbatasan. Anggota keluarga lainnya berpencar di beberapa rumah.
“Selama perang, hampir tiap hari ada pengeboman di sini, kadang pagi, kadang juga malam,” lanjut Faten. “Hal ini berlangsung selama 22 hari. Saat gencatan senjata diumumkan, kami kembali ke rumah, namun kembali mengungsi karena besoknya, mereka kembali melancarkan pengeboman.”
Faten dan 35 anggota keluarga jauhnya masih tak bisa menghabiskan malam-malam mereka di rumahnya. Mereka kembali ke rumahnya, dan kembali meninggalkan rumah tersebut sebelum gelap beranjak.
“Anak-anak benar-benar mengalami trauma,” Faten menambahkan. Mata hijau putrinya, Nagham, mengerling ke arahnya. “Beberapa dari mereka bisa tiba-tiba bangun malam hari dan mulai menangis. Putri saya Nagham tidak pernah mau lepas dari saya. Mereka mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah perang.”
Pengaruh dari penyerangan dan penyerbuan udara oleh Israel terhadap anak-anak Jalur Gaza sudah akut. Sepupu Faten yang berusia tujuh tahun, Dia, sedang berada di sekolah beberapa hari lalu, ketika ia mendengar pesawat tempur Israel bergemuruh di angkasa. Ia langsung mengambil tas dan berlari ke rumah, sambil menangis. “Saya masih mendengar gemuruh itu berputar-putar di kepala saya. Saya tidak mau.”
1,5 juta warga Gaza masih menolak hak mereka untuk mendapatkan kondisi tempat tinggal yang tepat dan bantuan kemanusiaan belum mengatasi kebutuhan banyak orang. Keluarga seperti keluarga Faten yang tidak terdaftar sebagai pengungsi belum sama sekali menerima bantuan apapun.
Salah satu sumber pendapatan mereka, sebidang tanah tempat saudara-saudara Faten menanam sayuran, telah diratakan oleh militer Israel beberapa hari lalu. Sejak itu, mereka mengandalkan pertolongan dan bantuan-bantuan yang datang dari komunitas yang sempat terkepung. Perbatasan yang ditutup oleh Israel sejak Juni 2007, telah diperketat dan menjadi bencana bagi perekonomian.
“Komunitas internasional harus turun tangan,” kata Faten. “Saya hanya berharap mereka dapat memperoleh beberapa solusi . Jika saja perbatasan dibuka untuk makanan dan bahan bakar, kami tidak butuh terowongan itu. Kebijakan Israellah yang telah menciptakan kebutuhan kami pada terowongan.”
Penyerangan Israel juga telah menghasilkan penurunan kondisi kesehatan di Gaza. Gaza mengalami kekurangan obat-obatan dan fasilitas rumah sakit yang sangat tergantung pada keberadaan listrik telah dipengaruhi oleh kekurangan bahan bakan untuk menyalakan generator.
Biaya yang harus dibayar untuk kerugian psikologis pun tak bisa diperkirakan. Bom-bom yang dijatuhkan pesawat tempur Israel di Rafah dan beberapa tempat lain di Gaza menyebabkan ledakan dan getaran yang sangat besar juga memunculkan perasaan panik dan ketakutan bagi warga, terutama orang-orang tua dan anak-anak. Warga sipil yang menerima telepon sebelum penyerangan, mendesak mereka untuk mengungsi dari rumah mereka di dekat perbatasan. Namun Gaza yang sesak oleh penduduk dan infrastruktur seperti sekolah dan rumah sakit tempat sementara menampung warga, tak luput dari penyerangan. Warga merasa tidak pernah ada tempat yang nyaman untuk tinggal.
Pusat Hak Asasi Manusia Palestina meminta pihak-pihak terkait yang mengadakan perjanjian pada Konvensi Genewa ke-4 untuk mengambil langkah efektif guna mendesak perhatian Israel terhadap konvensi mengenai pendudukan wilayah Palestina dan segera menyediakan perlindungan bagi warga sipil seperti Faten dan keluarganya.
“Kami tidak pernah merasa aman,” tambah Faten. “Kami tahu Israel akan kembali melancarkan pengeboman. Kami hanya berharap akan benar-benar ada gencatan senjata lagi sehingga kami bisa kembali ke rumah dan mulai membangun kembali yang tersisa.” (althaf/arrahmah.com)