Belanda, negeri kincir angin, salah satu negeri yang menganut liberalism kini mengalami krisis identitas setelah menerapkan kebijakan-kebijakan yang menghantam masyarakatnya sendiri
“Bangsa yang ideal diuji oleh kenyataan yang mereka hadirkan,” ujar Dick Houtman, seorang Profesor Sosiologi di Universitas Erasmus, Rotterdam.
Houtman mencatat bahwa kebijakan-kebijakan yang telah diberlakukan dalam waktu yang lama, seperti isu prostitusi dan penggunaan drug, kini menjadi perdebatan yang panas.
“Negeri Belanda membiarkan segala jenis kebebasan melebihi Negara-negara liberal lainnya.”
Selama berabad-abad negeri Belanda telah mengadopsi kebijakan-kebijakan liberal yang membebaskan individu melakukan sebuah pilihan.
Di wilayah yang dekat dengan Laut Utara, pemilikan dan penggunaan narkotika diperbolehkan. Prostitusi, aborsi, perkawinan sesame jenis, dilegalkan di Belanda.
Houtman berkata banyak dari masyarakat Belanda kini mempertanyakan jalan hidup liberal yang mereka adaptasi.
“Ada yang mengatakan liberalisme adalah biang keladi dari banyak permasalahan yang dialami Belanda saat ini.”
Pengkajian di tahun 2007 oleh Pengadilan menyoroti dampak negatif dari kebijakan liberal menjadikan Belanda berada di urutan kedua setelah Inggris yang tingkat kriminalitasnya tinggi di Eropa.
“Perdebatan mulai membicarakan berakhirnya kebijakan liberal,” ujar Houtman.
Perdebatan yang kini terjadi di Belanda mendorong negeri tersebut melakukan perubahan bentuk.
Di Amsterdam, anggota dewan kota merencanakan untuk menutup jendela-jendela prostitusi dan warung-warung kopi yang dijadikan ajang pelacuran.
Di seluruh kota, anggota dewan telah melakukan operasi penutupan toko-toko yang menjual mariyuana dan rumah-rumah pelacuran. (Hanin Mazaya/arrahmah.com)