(Arrahmah.id) – Tentara pendudukan “Israel” mengalami krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah Operasi Badai Al-Aqsa, yang menekan sumber daya dan kemampuannya untuk bergerak di tengah meluasnya medan pertempuran serta perang berkepanjangan yang tidak pernah mereka latih. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan Staf Umum Tentara Pendudukan, terutama bagi Kepala Staf baru, Eyal Zamir.
Direktorat Operasi Tentara Pendudukan memperkirakan bahwa “Israel” kini mengalami kekurangan personel militer yang belum pernah terjadi sejak perang di Lebanon Selatan pada 1980-an. Pada akhir tahun 2024, tentara “Israel” mengakui bahwa infanteri dari unit teknik mereka banyak terbunuh dan terluka dalam pertempuran yang berlangsung lama, menegaskan bahwa unit-unit ini bukan lagi sumber daya yang tak terbatas.

Kontraktor untuk Merobohkan Rumah
Tentara “Israel” mengungkapkan bahwa mereka mengandalkan kontraktor swasta untuk merobohkan rumah-rumah di utara, selatan, dan tengah Jalur Gaza, selain menghancurkan desa-desa di Lebanon Selatan dan membangun penghalang serta barikade di zona penyangga di Suriah.
Tentara cadangan serta tentara aktif, yang sudah mengalami krisis serius bahkan sebelum perang, mengalami kelelahan luar biasa tanpa dukungan yang memadai. Menurut analis militer Yoav Zitun, kekhawatiran utama Staf Umum adalah kekurangan tenaga kerja yang sangat parah, sementara para pemimpin politik tampaknya tidak peduli dengan masalah ini.
Menurut data tentara, lebih dari 10.000 tentara meninggalkan dinas militer setelah perang, sementara sekitar 12.000 tentara tewas atau terluka sejak 7 Oktober 2023. Selain itu, peningkatan jumlah pasukan yang diperlukan untuk memperkuat perlindungan perbatasan dan meningkatnya jumlah brigade serta batalyon lapis baja dan teknik dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan defisit personel yang semakin memburuk.
Zitun menegaskan bahwa dampaknya akan dirasakan oleh tentara yang sedang bertugas serta mereka yang akan direkrut di masa depan, yang harus menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi dalam dua dekade terakhir.
Unit Baru
Salah satu alasan utama kekurangan tenaga tempur adalah keputusan pertama Zamir sebagai Kepala Staf, yaitu membentuk satu brigade infanteri tambahan yang lebih besar dibandingkan brigade lapis baja dalam jumlah personel. Selain itu, satu batalyon teknik baru akan didirikan, serta mengaktifkan kembali kompi pengintaian yang sebelumnya dibubarkan.
Akibatnya, tentara “Israel” harus mencari ribuan tentara baru. Untuk memenuhi rencana Zamir, tentara memerlukan 7.500 tentara baru, ditambah ribuan personel pendukung di garis depan. Menurut analis militer Yossi Yehoshua, pemerintah tidak menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan nyata tentara.
Merekrut Relawan
Krisis tenaga kerja semakin memburuk, karena tentara “Israel” tidak mampu mengisi kekurangan personel yang sangat besar. Menurut laporan Haaretz, tentara bahkan terpaksa memasang iklan untuk menarik relawan cadangan.
Tentara secara resmi mengakui kekurangan pasukan cadangan yang parah, bahkan mereka membuat sistem perekrutan daring. Namun, sebagian besar unit lebih memilih merekrut melalui grup rahasia di media sosial, meskipun ada risiko keamanan informasi.
Tentara juga berusaha merekrut kembali tentara cadangan yang telah pensiun tetapi masih layak secara fisik dan usia. Diperkirakan 15.000 tentara akan direkrut dalam tiga gelombang, semuanya berusia di bawah 35 tahun.
Selain itu, tentara mulai merekrut mantan tentara berusia 40 hingga 60 tahun untuk membentuk brigade cadangan baru, meskipun hasilnya masih belum optimal. Mereka juga mengarahkan orang dengan kondisi medis tertentu (file 64) ke unit lapis baja dan infanteri perbatasan.
Menurut Yedioth Ahronoth, tentara berencana membentuk batalyon tempur jangka pendek, serta meningkatkan jumlah perempuan dalam unit tempur, yang saat ini mencapai 7.600 tentara wanita.
Krisis Tentara Cadangan
Bulan lalu, pemerintah “Israel” menyetujui perekrutan kembali 400.000 tentara cadangan. Namun, menurut Yedioth Ahronoth, 50-70% dari mereka yang dipanggil menolak karena kelelahan berkepanjangan yang mengganggu karier, keluarga, pendidikan, dan bisnis mereka.
Menurut laporan Yaniv Kubovich dan Tom Levinson di Haaretz, kekurangan pasukan cadangan akan semakin memburuk pada tahun depan karena meningkatnya tekanan operasional. Pemerintah juga bersiap melanjutkan perang di Gaza dan memperkuat perbatasan untuk mencegah serangan lain seperti 7 Oktober.
Dalam wawancara radio, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menyatakan bahwa perekrutan tambahan tentara cadangan tidak dapat dihindari dan perang di Gaza akan berlanjut.

Hambatan Hukum dan Upaya Merekrut Druze
Salah satu tantangan besar dalam perekrutan tentara adalah hukum pembebasan kaum Haredi dari wajib militer. Meskipun tentara “Israel” berencana merekrut 6.000 tentara Haredi dalam dua tahun, hanya 177 orang yang mendaftar.
Menurut analis militer Amos Harel, pemerintah tidak berniat mengubah kesepakatan dengan partai-partai Haredi untuk menghindari wajib militer.
Sementara itu, tentara juga mencoba merekrut Druze di Suriah dengan menawarkan pekerjaan dan infrastruktur di daerah pendudukan. Menteri Pertahanan Yoav Gallant secara terbuka menyatakan niatnya untuk menarik Druze guna mengisi kekurangan personel militer.

Meluasnya Medan Pertempuran
Krisis tenaga kerja semakin diperburuk oleh meningkatnya skala pertempuran. Menurut laporan Channel 12 “Israel”, tentara telah membagi wilayah selatan Suriah menjadi tiga zona:
- Zona penyangga: 1-5 km dari perbatasan, berisi pos pengawasan strategis.
- Zona keamanan: Hingga 15 km dari perbatasan.
- Zona pengaruh: Hingga 65 km ke arah Damaskus.
Di Tepi Barat, Operasi Tembok Besi masih berlangsung dengan pengerahan pasukan besar dari Gaza. Tentara juga memperkuat perbatasan dengan Yordania dan membangun tembok pertahanan baru di sepanjang perbatasan.
Ketegangan juga meningkat di perbatasan Mesir, terutama setelah Kepala Staf yang akan pensiun, Herzi Halevi, memperingatkan tentang ancaman keamanan dari Mesir.
Beban Tambahan
Menurut Wall Street Journal, rencana militer baru tentara “Israel” mencakup pendudukan dan pengendalian distribusi bantuan di Gaza, yang membutuhkan ribuan tentara tambahan.
Analis Yoav Zitun menekankan bahwa rencana ini akan semakin membebani tentara, yang sudah mengalami kelelahan.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan sekutunya dari kelompok ekstrem kanan adalah kekurangan personel militer, di mana banyak yang menolak menjadi bahan bakar perang Zionis, menurut pernyataan komunitas Haredi.
Artikel ini diterjemahkan dari artikel berjudul Aswa’ Kawaabis Iyal Zamir (أسوأ كوابيس إيال زامير) yang dipublikasikan di Al Jazeera. Artikel ini mengupas salah satu tantangan terbesar yang dihadapi militer “Israel” di bawah kepemimpinan Kepala Staf Eyal Zamir.
(Samirmusa/arrahmah.id)