Sebuah meja bertutup merah yang membentang beberapa ratus meter mengukir jalan di antara gundukan reruntuhan di Gaza selatan pada Sabtu, ketika keluarga-keluarga berkumpul untuk berbuka puasa di hari pertama bulan suci Ramadhan.
Saat matahari terbenam di atas sebuah lingkungan di Rafah, di mana pertempuran antara “Israel” dan pejuang Palestina hanya menyisakan segelintir bangunan yang masih berdiri, ratusan warga Gaza dari berbagai usia menyantap hidangan berbuka puasa yang menandai berakhirnya puasa hari itu.
“Orang-orang sangat sedih, dan semua yang ada di sekitar kita terasa memilukan,” kata Malak Fadda, yang menyelenggarakan acara buka puasa bersama tersebut, mengatakan kepada AFP.
“Jadi, kami memutuskan untuk membawa kegembiraan kembali ke jalan ini, seperti sebelum perang.”
Ketika kerumunan orang duduk untuk makan, ketidakpastian membayangi tahap selanjutnya dari gencatan senjata Gaza, tahap pertama akan segera berakhir pada Sabtu setelah sebagian besar mengakhiri pertempuran selama lebih dari 15 bulan.
Tahap kedua seharusnya membuka jalan untuk mengakhiri perang yang lebih permanen, tetapi negosiasi sejauh ini tidak meyakinkan.
Musik mengalun dari pengeras suara di tengah kerumunan massa di Rafah, yang duduk di deretan kursi plastik, bendera Palestina, dan lampu-lampu yang dirangkai di antara beton-beton yang rusak.
Pengeboman dan pertempuran “Israel” telah membuat hampir seluruh penduduk mengungsi dan memicu kelaparan yang meluas, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari telah memungkinkan aliran bantuan yang lebih besar ke wilayah Palestina yang hancur, tetapi ratusan ribu orang masih tinggal di tenda-tenda, dan banyak di antaranya berkemah di reruntuhan rumah mereka.
“Pada hari pertama Ramadhan, kami berharap dapat kembali ke rumah untuk berbuka puasa bersama keluarga dan berkumpul bersama di rumah,” ujar warga Rafah, Umm al-Baraa Habib, kepada AFP.
“Namun ini adalah kehendak Allah, dan kami tetap tabah,” tambahnya.
‘Duduk di antara kehancuran’
Di kota utara Beit Lahia, puluhan orang dengan penuh semangat bergabung bersama di bawah sinar senja yang mulai memudar untuk berbuka puasa di antara sisa-sisa bangunan yang setengah runtuh.
“Kami berada di sini di tengah-tengah kehancuran dan reruntuhan dan kami tetap tabah meskipun ada rasa sakit dan luka,” kata Mohammed Abu al-Jidyan.
“Di sini kami makan Iftar di tanah kami dan kami tidak akan meninggalkan tempat ini,” tambahnya.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah melontarkan gagasan untuk pengambilalihan Gaza oleh AS di mana penduduk Palestina akan direlokasi -sebuah proposal yang mendapat kecaman global.
Sebelum fajar menyingsing di kota selatan Khan Younis, lampu neon berwarna merah muda, kuning dan biru menerangi lingkungan yang sebagian besar hancur akibat perang, tempat kerumunan kecil berkumpul untuk makan sahur, yang dilakukan menjelang waktu berbuka.
Sebuah mural bertuliskan “Ramadhan menyatukan kita” dengan gambar bulan sabit dilukis di salah satu dinding yang masih berdiri.
Sehari sebelumnya, anak-anak muda menggantungkan lentera, bendera, dan dekorasi Ramadhan yang berwarna-warni di antara reruntuhan bangunan, sementara para pedagang memajang balon dan mainan untuk anak-anak.
Namun, kegembiraan bulan suci umat Muslim ini hanya memberikan sedikit harapan bagi para pengungsi perang Gaza.
“Anak-anak saya terkadang meminta pakaian dan makanan, tetapi saya tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka karena saya sudah tidak bekerja selama satu setengah tahun,” kata Omar al-Madhoun, seorang penduduk kamp Jabalia yang terpukul di utara Gaza.
“Kami duduk di antara kehancuran, tidak tahu bagaimana mengatur hidup kami. Kami juga takut perang akan kembali, membawa lebih banyak kehancuran,” katanya kepada AFP pada Jumat.
Serangan Hamas ke “Israel” yang memulai perang Gaza mengakibatkan kematian 1.218 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan resmi AFP.
Pembalasan “Israel” telah menewaskan 48.388 orang di Gaza, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas, yang angka-angkanya dianggap dapat diandalkan oleh PBB.
Tahap pertama gencatan senjata telah berhasil membebaskan 25 sandera yang masih hidup dan mengembalikan jenazah delapan orang lainnya ke “Israel” dengan imbalan lebih dari 1.700 tahanan Palestina. (haninmazaya/arrahmah.id)