Oleh Sri Utami
Praktisi Pendidik
Pajak kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang dipungut dari rakyat setiap tahunnya. Pemerintah beralasan bahwa pajak ini digunakan untuk kepentingan pembangunan, termasuk perbaikan infrastruktur jalan.
Namun, di tengah kondisi ekonomi yang sulit, banyak masyarakat merasa terbebani dengan kewajiban pajak ini, terutama ketika mereka juga harus menghadapi biaya bahan bakar, perawatan kendaraan, dan harga suku cadang yang semakin mahal.
Dialansir dari media Jabar Ekspres, pada 10 Februari 2025, Jumlah penunggak pajak kendaraan bermotor di Kabupaten Bandung terus meningkat setiap tahun. Dalam operasi pemeriksaan oleh Bapenda, kepolisian, dan Jasa Raharja, ditemukan banyak Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU), mencakup roda dua dan roda empat dengan plat merah, kuning, dan hitam.
Menurut Kepala P3D Wilayah Kabupaten Bandung II Soreang, Doni Firyanto, terdapat 1,1 juta kendaraan berpotensi menunggak pajak, dengan sekitar 300 ribu kendaraan telah dikonfirmasi menunggak pajak kendaraan bermotor.
Beban Pemilik Kendaraan Kian Berat, Negara Jangan Hanya Menuntut Tanpa Memberi Solusi
Memiliki kendaraan bermotor di Indonesia kini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga menjadi beban yang semakin berat bagi masyarakat. Kesulitan ekonomi, meningkatnya angka pengangguran, dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri sepanjang 2024 semakin memperburuk kondisi.
Selain itu, lonjakan harga kebutuhan pokok membuat banyak masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga membayar pajak kendaraan menjadi beban tambahan yang sulit dipenuhi.
Selain harus membayar pajak tahunan, pemilik kendaraan juga dipusingkan dengan biaya servis dan pemeliharaan yang semakin mahal. Harga suku cadang yang terus naik semakin menekan kondisi ekonomi masyarakat, terlebih bagi mereka yang menggantungkan kendaraan sebagai sumber penghasilan.
Ironisnya, meskipun masyarakat dibebani dengan berbagai kewajiban, fasilitas yang diberikan negara masih jauh dari memadai. Kondisi jalan di berbagai daerah banyak yang berlubang, minim perawatan, dan tidak layak dilalui, sehingga kendaraan lebih cepat mengalami kerusakan. Saat musim hujan tiba, ancaman banjir semakin memperparah situasi, merusak mesin kendaraan dan menambah biaya perbaikan yang tidak sedikit.
Negara seharusnya tidak hanya menuntut rakyat untuk taat pajak tanpa memberikan timbal balik yang setimpal. Pajak yang dibayarkan oleh masyarakat seharusnya digunakan untuk meningkatkan infrastruktur jalan, menyediakan fasilitas transportasi publik yang layak, serta mengurangi beban masyarakat dalam kepemilikan kendaraan pribadi. Namun kenyataannya, rakyat justru harus berjuang sendiri menghadapi kesulitan ekonomi, sementara beban finansial terus bertambah.
Beginilah realita kehidupan dalam sistem kapitalisme, di mana rakyat kecil selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Negara lebih sibuk mencari pemasukan daripada benar-benar melayani dan membantu masyarakat, khususnya mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan dan tempat tinggal.
Negara seharusnya hadir sebagai pelayan rakyat, bukan hanya sebagai pemungut pajak. Jika kebijakan terus dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi nyata masyarakat, jangan heran jika semakin banyak yang kesulitan membayar pajak kendaraan, bukan karena tidak mau, tetapi karena mereka harus memilih antara membayar pajak atau sekadar bertahan hidup.
Perbedaan Konsep Pajak dalam Islam dan Kapitalisme
Sistem kapitalisme menempatkan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara, di mana rakyat dipaksa membayar pajak dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari penghasilan, properti, hingga kendaraan bermotor.
Beban pajak yang terus meningkat sering kali menjadi masalah, terutama bagi masyarakat kecil yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Berbeda dengan Islam, dimana Islam memiliki konsep perpajakan yang jauh lebih adil dan tidak memberatkan rakyat.
Dalam Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah, yang hanya dipungut dalam keadaan darurat ketika kas negara (Baitul Mal) mengalami kekosongan dan kebutuhan negara tidak dapat dipenuhi melalui sumber pendapatan utama, seperti zakat, fai’, kharaj, dan ghanimah.
Lebih dari itu, pajak dalam Islam bersifat sementara dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya, bukan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan, di mana yang memiliki kelebihan harta turut membantu kebutuhan negara, sementara rakyat kecil tidak terbebani kewajiban pajak.
Negara dalam Islam juga memiliki peran utama sebagai pengurus dan pelindung rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Pemimpin (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari)
Dalam sistem Islam, negara wajib mengelola sumber daya alam dan kekayaan publik dengan baik, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, termasuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Kekayaan negara yang berasal dari sumber daya alam seperti minyak, gas, tambang, dan aset publik lainnya harus dikelola untuk kepentingan rakyat secara langsung, bukan diserahkan kepada pihak swasta yang kemudian menjualnya kembali dengan harga tinggi kepada rakyat sendiri.
Selain itu, dalam Islam, pembangunan infrastruktur, jalan raya, dan fasilitas publik lainnya tidak bergantung pada pajak rakyat, melainkan dibiayai dari pengelolaan kekayaan negara yang diperuntukkan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, rakyat dapat menikmati layanan publik yang layak tanpa harus terus-menerus dipungut pajak untuk membiayainya.
Sistem Islam menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, sementara sistem kapitalisme justru menjadikan pajak sebagai alat eksploitasi ekonomi.
Sudah saatnya kita memahami bahwa ada sistem Islam yang merupakan alternatif yang mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan segelintir elite ekonomi. Islam menawarkan solusi yang lebih manusiawi dan berkeadilan dalam pengelolaan pajak dan kekayaan negara.
Wallahua’lam bis shawab