DAMASKUS (Arrahmah.id) – Pemimpin de facto Suriah menegaskan kembali janjinya untuk mewujudkan transisi politik yang demokratis seiring dengan dibukanya pembicaraan mengenai masa depan negara tersebut.
Ahmad Asy Syaraa pada Selasa (25/2/2025) mendesak warga negaranya untuk bersatu dan berjanji untuk membentuk sebuah badan peradilan transisi, ketika ia menyambut para peserta dialog nasional yang bertujuan untuk memandu transisi politik negara tersebut setelah perang selama bertahun-tahun dan jatuhnya mantan Presiden Bashar al-Assad.
Ia juga mengatakan bahwa negara akan memegang monopoli atas senjata, sebuah isu kunci di negara yang telah mengalami pertempuran dengan berbagai kelompok bersenjata dalam beberapa tahun terakhir, lansir Al Jazeera.
Pertemuan di ibu kota Damaskus itu disebut oleh Asy Syaraa dan Hai’ah Tahrir Syam (HTS) yang berkuasa sebagai tonggak utama menuju transisi yang demokratis dan inklusif serta rekonstruksi negara. Namun, ada kekhawatiran bahwa prosesnya sedang terburu-buru.
“Saya mendesak semua warga Suriah untuk bersatu dan bergandengan tangan untuk menyembuhkan luka dan menghilangkan rasa sakit setelah beberapa dekade kediktatoran,” kata Sharaa dalam pidato pembukaannya, di mana ia mengumumkan pembentukan komite keadilan transisi.
“Selama dua bulan terakhir, kami telah bekerja untuk mengejar mereka yang melakukan kejahatan terhadap warga Suriah,” tambah Asy Syaraa.
“Disatukannya senjata dan monopoli mereka oleh negara bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah tugas dan kewajiban,” lanjutnya.
Asy Syaraa sebelumnya mengatakan bahwa pasukan yang dipimpin Kurdi yang juga berperang melawan rezim al-Assad selama bertahun-tahun harus diintegrasikan ke dalam tentara nasional.
Rencana untuk konferensi ini telah berubah-ubah hingga menit-menit terakhir, dan pengumuman mendadak pada Ahad bahwa konferensi ini akan tetap berlangsung mengejutkan banyak pengamat, yang memperkirakan bahwa konferensi ini akan memakan waktu satu atau dua bulan lagi untuk mempersiapkannya.
Dengan undangan yang dikirim ketika panitia penyelenggara masih berkeliling Suriah untuk bertemu dengan para pemimpin masyarakat, beberapa kebingungan dan kritik ditujukan kepada para penyelenggara.
Politisi oposisi George Sabra memposting di X bahwa ia telah menerima undangan pada 23 Februari untuk hadir di Damaskus. Namun, ia harus menolak karena ia tinggal di pengasingan di Perancis dan tidak dapat datang ke Suriah tepat waktu.
Menurut media lokal, sekitar 600 kandidat menghadiri pembicaraan tersebut dan akan berpartisipasi dalam agenda yang padat selama satu hari sesi kerja.
Para peserta akan mengadakan sesi kerja tentang keadilan transisi, struktur konstitusi baru, reformasi dan pembangunan institusi, kebebasan pribadi, peran masyarakat sipil dan ekonomi negara.
Meskipun rekomendasi konferensi ini tidak mengikat, hasilnya diawasi secara ketat karena komunitas internasional mempertimbangkan apakah akan mencabut sanksi-sanksi yang dijatuhkan pada Suriah selama pemerintahan al-Assad.
Salah satu hasil terpenting yang diharapkan adalah sebuah konstitusi baru, meskipun apakah hal itu dapat dicapai dalam satu hari masih harus dilihat. (haninmazaya/arrahmah.id)