NEW YORK (Arrahmah.id) – Karim Khan, Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), adalah orang pertama yang menghadapi sanksi yang disahkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump. Sanksi ini ditujukan kepada pengadilan kejahatan perang atas penyelidikannya terhadap warga negara AS dan sekutunya, termasuk ‘Israel’.
Khan, yang berkebangsaan Inggris, disebutkan pada Senin (10/2/2025) dalam lampiran perintah eksekutif yang ditandatangani Trump Kamis lalu (6/2) yang menjatuhkan sanksi pada ICC karena menargetkan AS dan Israel, Reuters melaporkan.
Perintah Trump
Perintah Trump memberikan sanksi keuangan dan visa kepada individu dan anggota keluarga mereka yang membantu investigasi ICC terhadap warga negara AS atau sekutu AS.
Tindakan yang dapat dilakukan meliputi pemblokiran properti dan aset serta tidak mengizinkan pejabat, karyawan, serta kerabat ICC untuk memasuki AS.
Kasus Genosida
Perintah tersebut menuduh ICC terlibat dalam “tindakan tidak sah dan tidak berdasar yang menargetkan Amerika dan sekutu dekat kami, Israel” dan menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengeluarkan “surat perintah penangkapan tidak berdasar” terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan Yoav Gallant.
Pada November, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant, menuduh mereka melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait dengan serangan Gaza yang diluncurkan pada Oktober 2023, yang berlangsung selama 15 bulan.
Baik AS maupun ‘Israel’ bukanlah anggota dan tidak mengakui pengadilan tersebut.
“ICC tidak memiliki yurisdiksi atas Amerika Serikat atau ‘Israel’,” demikian bunyi perintah tersebut, seraya menambahkan bahwa pengadilan telah menetapkan “preseden berbahaya” dengan tindakannya terhadap kedua negara tersebut.
Perintah itu muncul setelah kunjungan Netanyahu ke Gedung Putih, yang dicari oleh ICC.
Tanggapan ICC
Sebagai tanggapan, ICC mengutuk perintah tersebut sebagai upaya untuk “merugikan pekerjaan peradilannya yang independen dan tidak memihak.”
“Pengadilan berdiri teguh dengan personelnya dan berjanji untuk terus memberikan keadilan dan harapan kepada jutaan korban kekejaman yang tidak bersalah di seluruh dunia, dalam semua Situasi yang dihadapinya,” bunyi pernyataan pengadilan.
Pengadilan Kriminal Internasional, yang dibuka pada 2002, memiliki yurisdiksi internasional untuk mengadili genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang di negara-negara anggota atau jika suatu situasi dirujuk oleh Dewan Keamanan PBB.
Berdasarkan perjanjian antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Washington, Khan seharusnya dapat melakukan perjalanan secara teratur ke New York untuk memberikan penjelasan kepada Dewan Keamanan PBB tentang kasus-kasus yang telah dirujuknya ke pengadilan di Den Haag.
Bukan Sanksi Pertama
Pemerintahan Trump pertama kali menjatuhkan sanksi kepada jaksa ICC Fatou Bensouda dan wakilnya pada 2020 ketika pengadilan tersebut menyelidiki kejahatan perang AS di Afghanistan. Kali ini, sanksi tersebut terkait dengan penyelidikan pengadilan terhadap ‘Israel’.
Sanksi Trump 2020 dibatalkan di bawah kepemimpinan Joe Biden, yang secara bersyarat mendukung penyelidikan ICC terhadap kejahatan perang Rusia di Ukraina.
Pada hari pertamanya kembali ke Ruang Oval bulan lalu, Trump membatalkan keputusan Biden untuk mengakhiri sanksi 2020.
AS bukan merupakan pihak dalam Statuta Roma, perjanjian yang membentuk ICC dan memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan pengadilan tersebut sejak didirikan pada tahun 2002. (zarahamala/arrahmah.id)