(Arrahmah.id) – Penulis kitab Athfaalul Muslim Kaifa Rabbahum an Nabiyyul Amin adalah Syaikh Jamal Abdurrahman, beliau menegaskan bahwa pendidikan anak dan pengajarannya di lingkungan keluarga Muslim tidak hanya sekedar ungkapan, dan tidak sekedar pernyataan dan tulisan yang indah, akan tetapi merupakan suatu kewajiban yang paling utama dan mendasar bagi kedua orang tua sejak pra kelahiran, sampai dengan pasca kelahiran.
Kali ini, masih membahas perkataan Al Imam Al Ghazali, melanjutkan perkataan beliau sebelumnya, yaitu:
“Dan hendaknya anak dilarang untuk mulai berbicara terlebih dahulu. Dan dibiasakan agar jangan dia berbicara kecuali jawaban. Dan dibiasakan jika menjawab hanya sebatas pertanyaan saja. Dan agar dia menyimak dengan baik, dibiasakan untuk menjadi pendengar yang baik tatkala orang lain berbicara, dari orang-orang yang lebih besar usianya dari dia. Dan hendaknya dia berdiri bagi orang yang lebih tinggi derajatnya dari pada dia. Dan hendaknya meluaskan tempat untuk orang yang datang yang lebih mulia dari dia, dan duduk dengan baik di hadapan orang tersebut.”
Ini semua adalah adab di dalam majelis.
Imam Ghazali mengajarkan kita mendidik anak seperti ini, berarti ini isyarat untuk mengajak anak bertamu atau hadir dalam sebuah majelis.
Mengajarkan anak berdiri saat bertemu yang lebih mulia, kadang disalahpahami, karena hadist yang mengatakan bahwa Nabi pernah datang dan para sahabat berdiri, namun Rasul melarangnya. Ini adalah bentuk ketawadhuan Nabi. Namun kita sebagai penuntut ilmu, harus memiliki adab, menyambut sang guru saat hadir di majelis dengan berdiri. Tapi sebagai guru, jangan berharap untuk mendapat penghormatan.
“Dan anak hendaknya dilarang dari perkataan yang sia-sia apalagi perkataan yang kotor. Dan dilarang dari perkataan yang berupa laknat atau celaan, dan agar jangan sampai bercampur dengan orang-orang yang lisannya terbiasa mengucapkan perkataan demikian. Karena perkataan demikian datangnya pasti dari teman yang buruk. Dan inti dari mendidik anak-anak adalah menjaga mereka dari teman-teman yang buruk. Dan hendaknya anak diajarkan untuk menaati kedua orangtuanya, menaati gurunya, menaati pendidikya, dan semua orang yang lebih besar usianya dari padanya. Baik itu orang dekat mau pun orang asing. Dan tatkala anak sudah mencapai usia tamyiz hendaknya anak tidak diizinkan untuk meninggalkan thaharah dan shalat.”
Selelah-lelahnya, jangan meninggalkan shalat Subuh (bagi anak usia tamyiz), meski bangun terlambat. Dibiasakan untuk shalat, jangan dibiasakan meninggalkan shalat.
“Dan diperintahkan untuk berpuasa di sebagian hari-hari Ramadan. Maka anak-anak di usia awal, adalah usia yang harus mendapatkan perhatian. Karena sesungguhnya anak dengan permatanya itu, dia diciptakan dengan potensi untuk menerima kebaikan, juga punya potensi untuk menerima keburukan. Dan sesungguhnya tugas kedua orangtuanya lah untuk mengarahkan dia ke salah satu sisi dari dua sisi tadi.”
Nabi bersabda: “Setiap bayi yang dilahirkan, dilahirkan di atas fitrah, dan sesungguhnya kedua orang tuanya lah yang berperan untuk menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Fitrah di sini menurut penjelasan para ulama adalah fitrah yang Allah telah bentuk manusia berdasarkan fitrah tersebut. Allah menyiapkan manusia untuk mudah menerima kebenaran.
“Bukankah Aku telah menciptakan kalian?”
Artinya fitrah di sini sebenarnya adalah guratan keimanan (menurut Ustadz Budi Ashari hafidzahullah). Pola keimanan ini jika tidak disuburkan atau malah diberi pengaruh yang buruk maka pola tersebut akan tertutupi. Jangan diartikan fitrah ini adalah bakat bawaan.
Halaman 11
Hiratul Abawain (Kebingungan Kedua Orangtua)
Mengingat bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab bagi kedua orangtua, dan amanah yang ada di lehernya para pendidik, yang mana Allah akan minta pertanggung jawaban dari mereka di hari kiamat dan Allah akan bertanya kepada mereka tentang pertanggung jawaban mereka, yang mana masing-masing dari kita adalah pemimpin dan akan ditanya kepemimpinannya, maka dari itu engkau melihat banyak dari pendidik yang senantiasa dalam kebingungan. Kebingungan bagaimana menyikapi tanggung jawab ini. Bahkan mereka sampai lelah memikirkan tanggung jawab ini. Bagaimana mereka bisa sukses mendidik anak-anak dengan perbedaan kecondongan mereka, perbedaan minat mereka dan dengan banyaknya ujian, banyaknya halang rintang dalam menempuh pendidikan yang benar.
Apa yang harus dilakukan orang tua jika anak tidak menjalani perintah dari orang tua? Apakah memukul merupakan cara yang benar untuk menyikapi anak yang demikian? Jika memukul merupakan cara yang benar maka bagaimana takaran memukulnya? Kapan waktu memukulnya? Apa alat yang bisa digunakan untuk memukul anak?
Dan jika memukul bukan solusi, tidak memberikan faedah, maka apa solusinya? Jikalau kita sepakati anak boleh dipukul karena meninggalkan shalat di usia 10 tahun apakah anak boleh dipukul dengan kesalahan lain sebelum usia 10 tahun?
Dan yang lebih penting dari pertanyaan tadi, bagaimana jika anak sudah melampaui jauh dari usia anak-anaknya? Tapi dia masih jauh dari menjalankan adab yang baik. Dan tidak terbiasa untuk menahan dirinya sampai usia baligh, tapi keadaannya dan perilakunya tidak membuat keluarganya senang. Bagaimana solusinya jika anak yang kita didik keras kepala atau sebaliknya penakut atau pengecut? Sehingga dia banyak berbohong, mudah sekali lisannya untuk berbohong. Apakah sifat keras kita akan menambah kenakalannya atau memberikan manfaat kepadanya?
Dan apa pengaruh dari kelembutan yang berlebihan bagi akhlak anak? Dan inti dari semua ini, “bagaimana engkau bisa memastikan wahai pendidik, bahwasanya engkau berada di jalan yang benar dalam mendidik anak-anakmu? Dari sisi ilmiah, akhlak, sosial, mental atau psikologis, dan fisik, logika, bahkan dari sisi pendidikan seks, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa engkau bisa menjalankan pendidikan dari metode ilmiah yang terperinci, yang tidak ada tempat untuk sekedar uji coba, yang mana pendidikan ini bukan hanya sekedar coba-coba yang bisa sukses bisa gagal, dan bukan hanya sekedar mencari pengalaman, terutama gagal di dalam hal mendidik ini, akan sulit untuk dikoreksi kecuali jika Allah menghendaki.”
Wahai para pendidik, sesungguhnya jawaban dari semua pertanyaan tadi bisa dijawab dari lembaran-lembaran kitab ini, karena dalam kitab ini akan kita lihat bagaimana petunjuk Rabbani, arahan Nabi, bukan hanya dari Qur’an dan hadist, tapi juga kesimpulan ulama. Yang mana dimulai dari anak masih dalam tulang sulbi ayahnya sampai dia dilahirkan dan sampai dia dewasa. Sampai dia baligh dan menjadi laki-laki mukallaf. Agar kita bisa menjalankan pendidikan anak dengan yakin, tidak mudah diguncang, tidak mudah ditakut-takuti.
Pasal pertama:
Anak saat mulai masih di dalam sulbi ayahnya, sampai usia 3 tahun, yang mana ada 42 momen yang akan kita renungi.
- Nabi shalallahu alaihi wasallam mendoakan kebaikan anak-anak dan tatkala mereka masih di tulang sulbi ayah-ayahnya (artinya belum dilahirkan dan belum ada di dalam rahim ibunya). Tatkala orang-orang musyrik menolak dakwahnya nabi Muhammad kepada mereka untuk agama Islam, dan mereka menyakiti nabi Muhammad, dan mereka melempari nabi Muhammad dengan batu-batu, malaikat penjaga gunung menawarkan kepada nabi untuk menimpakan kepada penduduk Thaif, gunung Akhsabain (dua gunung yang ada di Mekkah*), saat itu nabi yang sangat besar kasih sayangnya kepada ummatnya menjawab: “Aku berharap agar Allah keluarkan dari tulang sulbi mereka, anak-anak yang akan menyembah Allah satu-satunya dan tidak menyekutukannya”. Dan Allah telah mewujudkan harapan Nabi dengan masuk Islamnya anak keturunan mereka.
*dua gunung, Jabal Khubais salah satunya.
*ada riwayat menyebutkan nabi Muhammad pernah berjalan tanpa arah saat tersadar nabi berdoa: “Ya Allah aku mengadukan kepadaMu lemahnya kekuatanku dan aku mengadukan kepadaMu sedikitnya akalku, dan hinanya aku dipandangan manusia, wahai Rabb orang-orang yang lemah, Engkau juga rabb ku, kepada siapa Engkau akan titipkan aku? Apakah Engkau akan titipkan aku kepada musuh yang senantiasa memandangku dengan sinis? Apakah Engkau akan memasrahkan aku kepada orang yang Engkau kemudian menyerahkan urusanku kepadanya? Ya Allah mau Engkau serahkan aku kepada siapapun, kepada musuh atau siapapun, selama Engkau tidak marah kepadaku, maka aku tidak peduli tetapi rahmatMu lah yang lebih aku harapkan.” Saat itu Nabi sudah semaksimal mungkin berikhtiar dalam berdakwah, namun masih mendapat penolakan. Beliau hanya mampu mengadu kepada Allah.
—-bersambung—
*Disarikan dari kajian yang diisi oleh Ustadz Reza Adi Nugraha hafidzahullah