Oleh Henri Shalahuddin, MA
Di penghujung tahun lalu, perhatian masyarakat terfokus pada dua isu heboh yang sejatinya saling berlawanan; yaitu video mesum duet YZ-ME dan poligami Aa Gym. Berlawanan baik dalam sisi etika, moral maupun agama. Dari ketiga sisi ini, jelas semua orang akan mengatakan bahwa adegan video mesum tersebut mutlak salah dan amoral. Sedangkan tentang isu poligami, semua orang tidak akan pernah sepakat mengatakan bahwa poligami Aa Gym itu mutlak salah. Karena dalam agama, memang poligami diperkenankan dengan beberapa cacatan. Namun anehnya, justru pemerintahan SBY lebih “mengurusi” isu poligami dengan meninjau kembali undang-undang (baca: mempersulit) poligami.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah kenapa pemerintah lebih mengkonsumsi isu poligami yang telah lama eksis di masyarakat? Apa dan siapa di balik niat pemerintah mengkaji ulang undang-undang poligami?
Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan di atas secara cepat dan tepat. Sebab diperlukan riset yang tidak sederhana. Tapi bagaimanapun, bila ditinjau dari bingkai feminisme, penolakan poligami adalah bagian dari isu ini. Paham feminisme adalah setali tiga uang dengan paham-paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama. Feminisme dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai advocacy of women’s right and sexual equality (pembelaan terhadap hak perempuan dan kesetaraan pria-wanita). Namun dalam perkembangannya, paham feminisme menuntut penggunaan bahasa gender-inclusive, seperti kata chairwoman untuk menggeser chairman, dsb.
Dalam strata sosial, feminisme menuntut hal-hal seperti: legalisasi undang-undang pro-aborsi, hak wanita untuk memilih sebagai ibu rumah tangga atau meninggalkannya, hak mensterilkan kandungan (female genital cutting), dsb. Sedangkan dalam agama, feminisme menuntut penafsiran bercorak feminis terhadap kitab suci, kesamaan waris, hak talak bagi wanita, tidak wajib berjilbab karena jilbab adalah simbol pengekangan berekspresi dan pelecehan eksistensi sosial wanita, pengharaman poligami, menuntut pemberlakuan masa iddah bagi laki-laki, dsb.
Tafsir feminis terhadap Kitab Suci
Dalam buku Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan yang edisi aslinya berjudul The Interpretation of the Bible in the Church, the Pontifical Biblical Commision (Kanisius:2003), dijelaskan bahwa asal-usul sejarah penafsiran kitab suci ala feminis dapat dijumpai di Amerika Serikat di akhir abad 19. Dalam konteks perjuangan sosio-budaya bagi hak-hak perempuan, dewan editor komisi yang bertanggung jawab atas revisi (tahrif) Alkitab menghasilkan The Woman’s Bible dalam dua jilid. Gerakan feminisme di lingkungan Kristen ini kemudian berkembang pesat, khususnya di Amerika Utara.
Dalam perkembangannya, gerakan feminis ini memiliki 3 bentuk pendangan terhadap Alkitab, Pertama; yaitu bentuk radikal yang menolak seluruh wibawa Alkitab, karena Alkitab dihasilkan oleh kaum laki-laki untuk meneguhkan dominasinya terhadap kaum wanita.
Kedua, berbentuk neo-ortodoks yang menerima Alkitab sebatas sebagai wahyu (profetis) dan fungsinya sebagai pelayanan, paling tidak, sejauh Alkitab berpihak pada kaum tertindas dan wanita.
Ketiga, berbentuk kritis yang berusaha mengungkap kesetaraan posisi dan peran murid-murid perempuan dalam kehidupan Yesus dan jemaat-jemaat Paulinis. Kesetaraan status wanita banyak tersembunyi dalam teks Perjanjian Baru dan semakin kabur dengan budaya patriarki.
Lebih lanjut, Letty M. Russel dalam bukunya Feminist Interpretation of The Bible yang telah diindonesiakan dengan tema Perempuan & Tafsir Kitab Suci, menjelaskan lebih rinci 3 metode tafsir feminis terhadap Alkitab. Ketiga metode ini adalah: a) Mencari teks yang memihak perempuan untuk menentang teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas perempuan. b) Menyelidiki Kitab Suci secara umum untuk menemukan perspektif teologis yang mengkritik patriarki. c) Menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan kisah perempuan kuno dan modern yang hidup dalam kebudayaan patriarkal.
Maka berbekal ketiga pendekatan ini, mereka kemudian menafsirkan beberapa ayat Bibel yang dipandang menindas wanita. Di antara ayat-ayat Bibel yang ditafsirkan secara feminis adalah sebagai berikut:
1. Perempuan diciptakan sesudah laki-laki, dari tulang rusuknya (Kejadian 2:21 -23). Ayat ini kemudian ditafsirkan dengan kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan.
2. Perempuan lebih dahulu berdosa, karena perempuanlah yg terbujuk oleh ular untuk makan buah terlarang (kejadian 3:1-6 dan 1Timotius 2:13 -14) bahkan dilarang memerintah dan mengajar laki-laki (1Timotius 2:12 ). Ayat ini ditafsirkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bertanggung jawab atas ketidakpatuhan mereka kepada Tuhan dan sama-sama tertipu oleh bujukan ular.
3. Perempuan tidak mempunyai hak bicara dan harus tutup mulut di gereja (1Korintus 14:34 -35). Ayat ini ditafsirkan sebagai nasehat “khusus” untuk mengatasi kekacauan dalam jemaat Korintus dan tidak berlaku secara umum (di luar jemaat Korintus).
4. Derajat perempuan di bawah laki-laki dan dia harus tunduk kepada suaminya seperti kepada Tuhan (Efesus 5:22 -23). Ayat ini ditafsirkan bahwa dalam berumah tangga, perempuan dan laki-laki harus saling merendahkan diri.
Metode tafsir feminis mungkin tepat untuk diterapkan pada Alkitab sebagai bentuk solusi terhadap Sabda Allah dalam bahasa manusia, yang dikarang oleh banyak manusia dalam semua bagiannya melalui sejarah yang panjang dengan sekitar 5000 ragam manuskrip Bibel yang tidak mudah didamaikan antara satu dan lainnya.
Namun corak penafsiran feminis jelas tidak tepat bila diterapkan pada Al-Qur’an yang mempunyai karakter yang berbeda dengan Alkitab. Anehnya, bagi kalangan liberal Islam, metode ini dipaksakan terhadap studi Al-Qur’an.
Sebagai contoh, Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir liberal Mesir yang dimurtadkan oleh 2000 ulama negerinya dan saat ini banyak dianut di kebanyakan IAIN, secara tegas meniru tradisi umat Kristen ini. Dalam memandang ayat-ayat Al-Qur’an tentang wanita, Abu Zayd selalu menafsirkan ala feminis yang berawal dari sikap curiga dan dalih sistem patriarkis yang melatarbelakangi masyarakat Arab abad 7M. Kemudian membenturkannya dengan ayat-ayat yang dapat mengkritik dominasi laki-laki. Sehingga ayat-ayat yang terkesan ‘menindas wanita’ ditafsirkan dalam bentuk kesetaraan hak, kesamaan bagian, kedudukan dan tanggung jawab.
Abu Zayd, dalam bukunya Voice of an Exile (2004:174-175), memandang Al-Quran layaknya seperti umat Kristen terhadap Bibel. Dalam isu gender, dia mempertanyakan: Apakah setiap yang termaktub dalam Al-Quran adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Dia berpendapat bahwa Al-Quran mempunyai dua dimensi; dimensi historis dan dimensi mutlak. Lalu menganalogikannya dengan Bibel dalam pandangan Kristen: “According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man”.
Kesimpulan
Legalisasi pengetatan undang-undang poligami cenderung berkiblat pada paham feminisme. Feminisme adalah bagian yang tak terpisahkan dari paham-paham liberalisme, sekularisme dan pluralisme agama yang berakar tunjang pada tradisi Kristen. Feminisme sebagaimana paham Sipilis bukan lagi sekedar wacana, tapi telah menjadi gerakan nyata yang dikampanyekan di kebanyakan perguruan tinggi dan media massa.
*) Penulis adalah Sekretaris Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)