JAKARTA (Arrahmah.id) – Pemerintah resmi melarang pengecer untuk menjual Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg) bersubsidi mulai 1 Februari 2025.
Kebijakan ini mewajibkan masyarakat membeli LPG 3 kg hanya di pangkalan resmi yang terdaftar. Langkah ini diambil untuk memastikan distribusi tepat sasaran dan mengurangi potensi penyelewengan di lapangan.
Pengamat Sosial Ekonomi dan Keagamaan yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, mendukung langkah pemerintah dalam penataan distribusi LPG 3 kg. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan ini harus disertai dengan pengawasan ketat untuk mencegah praktik curang.
“Langkah pemerintah perlu diapresiasi karena selama ini banyak pihak yang diuntungkan dari distribusi LPG bersubsidi yang tidak terkendali. Namun, penataan ini harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat agar LPG 3 kg benar-benar sampai ke rumah tangga, usaha mikro, nelayan, dan petani yang berhak,” ujar Anwar, lansir inilah.com, Selasa (4/2/2024).
Ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi penyalahgunaan LPG 3 kg, seperti praktik pengoplosan gas ke tabung 12 kg untuk meraup keuntungan besar.
“Selisih harga yang signifikan membuka celah bagi pelaku usaha nakal. Misalnya, harga LPG 3 kg sekitar Rp6.000 per kg, sedangkan LPG 12 kg mencapai Rp16.000 per kg. Ini memungkinkan keuntungan ilegal hingga Rp120.000 per tabung hasil oplosan,” jelasnya.
Selain itu, Anwar mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan jarak distribusi agar masyarakat tidak kesulitan mengakses LPG 3 kg.
“Pemerintah perlu memastikan jarak antara pangkalan resmi dan rumah warga tidak terlalu jauh. Jangan sampai ongkos transportasi lebih mahal dari harga gas itu sendiri,” tambahnya.
MUI juga mendorong pemerintah membuka saluran pengaduan atau hotline untuk menerima laporan masyarakat terkait dugaan penyelewengan distribusi.
“Penegakan hukum yang tegas harus diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran,” pungkasnya.
Kebijakan pelarangan penjualan LPG 3 kg di pengecer memicu pro dan kontra. Sejumlah pengecer mengeluhkan potensi penurunan pendapatan, sementara sebagian masyarakat khawatir akan kesulitan mendapatkan LPG karena terbatasnya pangkalan resmi.
(ameera/arrahmah.id)