(Arrahmah.id) – Banyak orang salah paham terhadap sosok Ahmad Asy-Syaraa atau dulu dikenal sebagai Abu Mohammad Al-Jaulani.
Kesalahpahaman ini tak terlepas dari opini media-media Barat yang memang sengaja mengaitkan Al-Jaulani dengan “ISIS”. Media-media di Indonesia pun, tanpa cek dan recek (tabayyun), mengutip dan menelan mentah-mentah framing jahat media-media Barat tersebut.
Di salah satu konten channel YouTubenya, Mardigu dengan entengnya menyebut Al-Jaulani (Ahmad Hussain Asy-Syaraa) sebagai pendiri “ISIS” bersama Abubakar Al-Baghdadi—yang bagi warga dan para pejuang Islam Suriah adalah sosok yang dimunculkan CIA dan Mossad. Beberapa tahun lalu, Hillary Clinton, Menlu di era Presiden Barack Obama, mengakui bahwa Amerikalah di balik pembentukan “ISIS” itu.
Tapi parahnya, media-media di Indonesia seperti Detik, CNN, dan lainnya, juga Mardigu, menyebut Jabhah Nushrah (JN) yang dipimpin Al-Jaulani saat itu adalah bentukan ISIS. Sebuah informasi yang sangat fatal kelirunya. Lalu, katanya, Al-Jaulani bersama Abubakar Al-Baghdadi juga mendirikan ISIS. Dari mana mereka sumbernya? Itu seperti karangan bebas.
Bagaimana tidak kacaunya informasi itu? Pertama, Jabhah Nushrah didirikan langsung oleh Al-Jaulani sendiri pada Januari 2012. Sementara “ISIS” baru berdiri pada April 2013. Bagaimana bisa yang didirikan lahir lebih dulu dari yang mendirikan? Kedua, saat pembentukan “ISIS” April 2013, Al-Qaeda dan Al-Jaulani sendiri juga menyatakan penolakannya terhadap “ISIS”.
Pada pertengahan April 2013, saat “ISIS” baru masuk Suriah, para petinggi “ISIS” di markasnya di Aleppo kala itu membohongi para jurnalis yang ingin tahu apa dan bagaimana itu “ISIS” dengan mengklaim bahwa mereka sudah mendapat restu dari Al-Qaeda untuk bersinergi dengan Jabhah Nushrah yang didirikan dan dipimpin oleh Al-Jaulani. Padahal itu dusta belaka.
Selanjutnya yang terjadi tiga bulan kemudian, bukannya bersinergi, “ISIS” malah meminta Jabhah Nushrah dan kelompok-kelompok lainnya untuk “berbai’at” kepada Al-Baghdadi. Sebuah permintaan yang ditolak keras oleh Al-Jaulani dan kelompok lainnya. Reaksi “ISIS” terhadap yang menolak adalah diperangi.
Dengan demikian, tulisan ini, sekali lagi, ingin menegaskan bahwa “ISIS” tidak ada hubungannya dengan Jabhah Nushrah (JN). Al-Jaulani juga bukan pendiri ISIS. Dulu, Al-Jaulani saat ke Irak (2003) memang bergabung dengan Al-Qaeda Irak (AQI) dan juga Islamic State of Iraq (ISI) atau Daulah Islam Irak bentukan AQI di bawah pimpinan Abu Mush’ab Al-Zarqawi yang juga membawahi Dewan Syura Mujahidin Irak.
Pada 2006, Al-Jaulani ditangkap Amerika. Lima tahun kemudian (2011) dibebaskan. Sementara pada Maret 2011, Suriah mulai bergolak. Pada Januari 2012, Al-Jaulani membentuk Jabhah Nushrah (JN). Pembentukan JN murni dari Al-Jaulani. Kemudian mendapat restu dari Al-Qaeda. Sekali lagi, tidak ada hubungannya dengan Abubakar Al-Baghdadi dan “ISIS”-nya.
Al-Jaulani sendiri menilai kebijakan Abu Bakar Al-Baghdadi di Suriah tidak tepat. Maka ketika Baghdadi meminta agar Jabhah Nushrah dilebur ke dalam Daulah Islam Iraq dan Syam (yang dikenal sebagai “ISIS”), Al-Jaulani menolaknya. Menurutnya, gerakan “ISIS” bertentangan dengan pola perjuangan yang dilakukan rakyat Suriah melawan rezim tiran Bashar Assad.
Opini dan framing jahat media Barat yang dikutip mentah-mentah oleh sejumlah media di Indonesia menyebabkan kemunculan Al-Jaulani sebagai pemimpin revolusi Suriah disalahpahami.
Di bawah bendera Hai’ah Tahrir Al-Syam (HTS), yang sebelumnya bernama Jabhah Fath Asy-Syam (JFS) dan Jabhah Nushrah (JN) saat masih berafiliasi ke Al-Qaeda, Al-Jaulani, bersama kelompok pejuang Islam Suriah lainnya, membebaskan Suriah dari rezim Assad.
Target semula yang hanya untuk menguasai Aleppo, ternyata Allah beri lebih dari itu: Suriah baru, yang bebas dari rezim tiran Assad.
Tapi sayangnya, ada informasi hoaks yang sengaja diembuskan dengan tujuan membentuk opini buruk terhadap Suriah yang baru, dengan cara mengaitkan Al-Jaulani dengan “ISIS”.
Jangankan dengan “ISIS”, dengan Al-Qaeda pun sejak dibubarkannya Jabhah Nushrah, Al-Jaulani sudah “selesai”. Saat berbendera Jabhah Nushrah, memang berafiliasi ke Al-Qaeda. Tetapi kemudian, setelah mengevaluasi pola perjuangannya selama ini, yang diperlukan Suriah adalah persatuan.
Jauh beberapa tahun sebelumnya, setelah Jabhah Nushrah bubar, Al-Jaulani sudah meninggalkan pola dan gaya lama. Mulai fleksibel dan berorientasi kepada gerakan Islam yang lebih inklusif.
Hai’ah Tahrir Al-Syam (HTS), yang didirikan pada 2017, merupakan gabungan antara organisasi sebelumnya dengan beberapa kelompok lainnya. Perubahan ini adalah tuntutan situasi dan kondisi. Supaya kelompok-kelompok yang memperjuangkan revolusi/perubahan benar-benar lokal Suriah. Tidak ada kaitannya dengan kelompok jihad luar (asing).
Perubahan pola dengan mempersatukan gerakan revolusi ini bertujuan untuk memudahkan jalannya komunikasi dan koordinasi dengan kelompok lainnya, termasuk dengan dua negara pendukung: Turki dan Qatar.
Turki terutama, yang menjadi ujung tombak mediasi dan diplomasi kepentingan bebasnya Suriah dari rezim tiran Assad, ingin menghindari “cap” bekerja sama dengan kelompok yang oleh Barat diframing jahat sebagai “teroris”.
Tapi label “teroris” dan “ISIS” itu masih dilekatkan ke HTS dan Al-Jaulani. Orang-orang (Muslim) di Indonesia, sejumlah ormas Islam dan parpol Islamnya pun, juga pemerintahnya, masih wait and see terhadap Suriah baru ini.
Inilah pengaruh informasi jahat, opini, dan stigma kacau media-media Barat yang dikutip media-media Indonesia. Parahnya lagi, selain menelan begitu saja informasi-informasi palsu itu, ada sosok-sosok dari kelompok-kelompok tertentu yang menambah bias perjuangan umat Islam di Suriah. Opini-opini racun tentang Suriah itu sengaja dikembangkan karena hasad dan ego kelompok. Ditambah lagi, disebarnya “fitnah” dan isu-isu liar terhadap Al-Jaulani dengan HTS-nya—yang memimpin revolusi dan pembebasan Suriah.
Sementara negara-negara Arab, Eropa, dan Amerika bergiliran menyambangi Damaskus, Suriah, untuk memberikan pengakuan dan dukungan, termasuk ratusan jurnalis dari berbagai negara yang meliput, Indonesia masih berlindung dari kalimat “wait and see”. Sampai kapan?
Ketika Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sudah menghapus kata “teroris” untuk kelompok pejuang Suriah, rada aneh juga jika ada negara-negara yang selama ini mengacu dan “berguru” pada Amerika Serikat (yang sudah mengakui pemerintahan baru Suriah), namun “sang murid” masih juga belum beranjak dari romantisme “terorisme”-nya. Yang selama ini jadi jualan dan bualan Barat untuk ditujukan kepada Islam dan kaum Muslimin.
Satu hari, dua hari, dan beberapa hari kemudian setelah bebasnya Suriah dari rezim Assad, PBB mengirim utusannya. Negara-negara Arab mengirim delegasinya. Negara-negara Eropa tak ketinggalan. Amerika Serikat yang saat itu masih dipimpin Joe Biden pun mengirim utusan khususnya ke Suriah. Menemui Ahmad Hussain Asy-Syaraa, pemimpin revolusi Suriah yang saat ini menjadi Presiden Transisi. Semua negara itu memberikan pengakuan, dukungan, dan mengajak kerja sama kepada Suriah yang baru.
Berikutnya, sejumlah pejabat tinggi dan para menteri luar negeri negara-negara asing itu pun menindaklanjuti kunjungan para delegasi sebelumnya.
“Di sini dan di sana” masih wait and see. Bahkan menurut informasi yang diperoleh dari seorang sahabat: “Jalur ke Suriah masih dalam pemantauan.”
Duh, selalu ketinggalan…!
(*/arrahmah.id)