Di tengah reruntuhan Gaza, di sebuah pusat pengungsian di timur kota, keluarga Mohammed Al-Daif—Kepala Staf Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer Hamas—berbagi kisah tentang pria yang namanya menjadi legenda. Pada Kamis lalu, Al-Daif gugur sebagai syahid, bersama sejumlah pemimpin perlawanan lainnya, seperti yang diumumkan oleh juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaida.
Seperti ribuan warga Palestina lainnya, keluarga Al-Daif kini menjalani hari-hari dalam pengungsian, menghadapi kelaparan, dan hidup dalam bayang-bayang serangan udara. Namun, lebih dari sekadar kehilangan, mereka menyimpan warisan perjuangan yang akan terus hidup.
“Abu Khalid Hidup untuk Palestina”
Um Khalid, istri sang syahid, mengenang suaminya dengan penuh kebanggaan. “Selama lebih dari tiga dekade, Abu Khalid bukan hanya seorang pejuang, tapi juga simbol keteguhan rakyat Palestina,” katanya.
Ia mengenang bagaimana 5 Oktober 2023 menjadi titik puncak perjuangan suaminya. “Hari itu, Abu Khalid memimpin dan mengeksekusi Operasi Thufan Al-Aqsa—momen yang ia anggap sebagai mahkota dari perjalanan jihadnya.”
Ketika ditanya tentang kehidupan mereka di pusat pengungsian, Um Khalid tersenyum getir. “Beginilah kami sejak dulu. Kami tidak hidup dalam kemewahan. Abu Khalid selalu memilih hidup seperti prajuritnya—sederhana, tanpa keistimewaan.”
Pesan Seorang Ayah
Bagi anak-anaknya, Al-Daif bukan sekadar pemimpin perlawanan, tetapi juga seorang ayah yang penuh kasih.
Putranya, Khalid, mengingat pesan terakhir sang ayah sebelum meluncurkan serangan pada 6 Oktober 2023:
“Jaga Al-Qur’an dalam hatimu, ajarkan kepada orang lain, dan teruskan perjuangan ini. Jika bukan kita, maka anak-anak kita yang akan melanjutkannya.”
Ia menegaskan, bagi ayahnya, syahadah bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru.
Putrinya, Halima, tak kuasa menahan tangis saat berbicara tentang ayahnya.
“Meskipun sering jauh, ayah selalu ada dalam setiap momen hidup kami. Saat aku sakit, dia lebih dulu merasakan penderitaanku. Kami adalah jiwanya, dan dia adalah cahaya bagi kami.”
Ia menggambarkan ayahnya sebagai pria yang menyatukan kelembutan seorang ayah dengan keberanian seorang pejuang.
“Abu Khalid Hidup di Hati Rakyatnya”
Um Ibrahim Asfoura, ibu mertua Al-Daif, mengenang menantunya dengan penuh kebanggaan:
“Dia adalah pria sejati—jujur, berani, dan tidak gentar menghadapi bahaya. Tubuhnya telah pergi, tapi namanya akan selalu hidup di hati rakyat Palestina.”
Saat ditanya mengapa mereka tetap tinggal di pusat pengungsian meskipun memiliki status istimewa, Um Khalid menjawab dengan tegas:
“Inilah jalan hidup kami. Kami tidak pernah mencari kemewahan, karena Abu Khalid telah mengajarkan bahwa perjuangan ini lebih besar dari sekadar kenyamanan dunia.”
Ia menegaskan, tantangan terbesar mereka kini adalah membesarkan anak-anak dalam semangat perjuangan Abu Khalid—berjihad demi Allah dan membebaskan Al-Quds.
Perjalanan Hidup Sang Legenda

Mohammed Diab Ibrahim Al-Masri, yang lebih dikenal sebagai Mohammed Al-Daif, lahir pada tahun 1965 di keluarga pengungsi Palestina yang terusir dari desa Al-Qubayba setelah pendudukan Israel pada 1948.
Pada 7 Oktober 2023, ia memimpin serangan besar ke wilayah pendudukan dengan nama “Operasi Thufan Al-Aqsa”, meluncurkan ribuan roket dan mengguncang Israel.
Kini, Abu Khalid telah pergi, tetapi kisahnya akan terus diceritakan—bukan sebagai kenangan, tetapi sebagai api yang menyala di hati rakyat Palestina, menerangi jalan menuju pembebasan.
Kisah di atas adalah hasil wawancara exclusive Al Jazeera dengan keluarga Mohammed Al-Daif.
(Samirmusa/arrahmah.id)