NAYPYIDAW (Arrahmah.id) – Militer Myanmar telah memperpanjang keadaan daruratnya selama enam bulan lagi saat mereka berjuang untuk mempertahankan cengkeraman kekuasaannya yang semakin rapuh, dengan pertempuran berkobar di berbagai front di seluruh negeri.
Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional yang dikendalikan oleh militer memperbaharui peraturan darurat dalam sebuah pertemuan di ibu kota Naypyidaw pada Jumat (31/1/2025), sehari sebelum peringatan empat tahun kudeta yang menjerumuskan negara tersebut ke dalam kekacauan setelah satu dekade demokrasi sementara.
“Semua anggota Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional termasuk panglima tertinggi dan juga penjabat presiden memutuskan secara serempak untuk perpanjangan keadaan darurat selama enam bulan ke depan sesuai dengan pasal 425 konstitusi 2008,” kata pernyataan itu, lansir Al Jazeera.
“Masih banyak tugas yang harus dilakukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dengan sukses. Khususnya untuk pemilihan umum yang bebas dan adil, stabilitas dan perdamaian masih dibutuhkan,” kata MRTV yang dikelola pemerintah melalui saluran Telegram saat mengumumkan perpanjangan pemerintahan darurat.
Myanmar telah mengalami kekacauan sejak 1 Februari 2021, ketika militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang terpilih secara demokratis dan menangkap pemimpinnya yang sangat populer, Aung San Suu Kyi.
Membenarkan kudeta tersebut, militer mengklaim, tanpa bukti, bahwa NLD telah melakukan kecurangan pemilih yang meluas dalam pemilihan umum tahun 2020 yang dimenangkannya dengan telak tiga bulan sebelumnya.
Militer memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun setelah merebut kekuasaan, dan memperpanjangnya beberapa kali selama enam bulan ketika mereka secara brutal menumpas protes pro-demokrasi yang damai dan memerangi kelompok-kelompok etnis bersenjata serta pejuang antimiliter yang muncul sebagai tanggapan atas kudeta tersebut.
Panglima Tertinggi militer Min Aung Hlaing -yang juga menjabat sebagai perdana menteri dan presiden yang ditunjuk sendiri oleh negara itu – telah berjanji untuk mengadakan pemilihan umum pada Agustus 2023. Namun, ia telah berulang kali menunda pelaksanaannya karena pemberontakan bersenjata yang semakin intens yang terjadi di seluruh negeri.
Militer Myanmar telah mengalami serangkaian kekalahan yang merusak di bagian utara dan barat negara itu sejak akhir 2023, dalam apa yang digambarkan oleh Institut Perdamaian Amerika Serikat (AS) sebagai krisis dengan “skala yang belum pernah terjadi sebelumnya” bagi militer -yang telah mendominasi politik negara itu sejak tahun 1960-an.
Terlepas dari gejolak ini, tekanan internal dan eksternal yang terus meningkat berarti militer secara luas diperkirakan akan menyelenggarakan pemilihan umum nasional yang telah lama tertunda pada akhir tahun 2025.
Kelompok-kelompok oposisi telah berjanji untuk mengacaukan jajak pendapat dengan kekerasan, yang mereka anggap sebagai upaya untuk melegitimasi rezim militer yang merebut kekuasaan empat tahun lalu.
Di bawah konstitusi 2008 yang disusun oleh militer, pihak berwenang diwajibkan untuk mengadakan pemilihan umum dalam waktu enam bulan setelah keadaan darurat dicabut, yang dijadwalkan pada 31 Juli.
Richard Horsey, penasihat Myanmar untuk Crisis Group, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sebagian besar indikasi menunjukkan bahwa pemilu akan dilaksanakan pada akhir tahun ini, dengan November sebagai bulan yang biasa digunakan untuk melakukan pemungutan suara di Myanmar.
“Pertemuan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional dijadwalkan pada 31 Juli, atau mungkin akan ada pertemuan ad hoc yang diadakan sebelum itu, untuk kemungkinan mengumumkan berakhirnya keadaan darurat,” kata Horsey kepada Al Jazeera. “Kemudian mereka memiliki waktu enam bulan untuk menyelenggarakan jajak pendapat.”
Horsey menambahkan bahwa berakhirnya keadaan darurat dan pemilihan umum berikutnya menyiratkan “kembalinya pemerintahan berdasarkan konstitusi yang disusun oleh militer tahun 2008”, sebuah langkah yang akan disambut baik oleh para anggota militer Myanmar dan pendukung utama mereka, Tiongkok.
“Kembalinya ke konstitusi 2008 diharapkan dapat menghasilkan sedikit lebih banyak prediktabilitas dan lebih sedikit keputusan yang acak [oleh Ming Aung Hlaing],” katanya. (haninmazaya/arrahmah.id)