(Arrahmah.id) – Thufan Al-Aqsha telah mengungkap banyak hal yang sebelumnya tersembunyi. Bukan hanya menunjukkan kebiadaban penjajah Zionis, tetapi juga membongkar wajah-wajah yang selama ini bersembunyi di balik retorika keagamaan dan seruan moralitas. Tragedi ini membuktikan kebencian mendalam Barat terhadap Islam, keberpihakan total mereka kepada Zionisme, serta pengkhianatan para penguasa Arab yang rela menjadi kaki tangan penjajah.
Lebih dari itu, peristiwa ini menjadi ujian bagi umat Islam di seluruh dunia: siapa yang berdiri bersama kebenaran, dan siapa yang memilih untuk bungkam. Yang menakjubkan, di tengah kobaran jihad dan penderitaan rakyat Gaza, ada sekelompok ulama’ yang memiliki ilmu, pengaruh luas, serta pengikut besar di media sosial, tetapi mereka justru memilih untuk diam.
Mereka yang Tidak Bersikap
Sepanjang Thufan Al-Aqsha, mereka tidak berkata apa pun. Mereka tidak menentang perlawanan seperti para ulama’ penguasa dan kroni-kroninya, tetapi juga tidak mendukung perjuangan rakyat Gaza. Mereka seolah-olah hidup dalam dunia yang berbeda, hanya berbicara tentang fiqh ibadah seperti wudhu, shalat, puasa, dan thaharah, tanpa menyentuh sedikit pun kewajiban menolong sesama Muslim yang tertindas.
Apakah mereka lupa akan firman Allah?
“Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan) agama, maka kamu wajib menolong mereka…” (QS. Al-Anfal: 72)
Mereka menutup mata dan telinga terhadap ayat-ayat Al-Qur’an serta hadits-hadits Nabi ﷺ yang menegaskan pentingnya jihad, persaudaraan Islam, dan bahaya Yahudi serta Nasrani terhadap umat ini. Mereka bersikap seolah-olah peperangan ini hanyalah konflik antara Rusia dan Ukraina, bukan antara mujahidin yang membela kehormatan umat Islam dan musuh yang paling memusuhi orang-orang beriman.
Dalam peribahasa Arab, mereka menjadi seperti “tidak berada di kafilah unta, juga tidak di pasukan perang.”
Mengapa Mereka Memilih Diam?
Lalu, apa alasan mereka? Apakah mereka merasa panji jihad belum jelas? Ataukah mereka menganggap perjuangan ini sebagai jihad yang tidak syar’i? Ataukah mereka diam karena perlawanan ini mendapat dukungan dari Iran, sehingga mereka memilih bersikap pasif?
Ataukah mereka takut kepada penguasa-penguasa zalim yang berpihak kepada Zionis?
Ataukah mereka percaya bahwa agama tidak ada hubungannya dengan peperangan ini?
Ataukah ada dendam lama terhadap perlawanan di Gaza, sehingga mereka lebih memilih untuk membiarkan saudara-saudara mereka dihancurkan tanpa memberikan dukungan sedikit pun?
Apa pun alasan mereka, pilihan diam ini adalah aib besar bagi mereka. Seorang ulama’ yang tidak mampu berjihad dengan pedang, setidaknya harus berjihad dengan ilmu dan kata-kata. Mereka bisa membela Gaza dengan khutbah, ceramah, tulisan, dan doa. Tetapi anehnya, mereka lebih memilih diam.
Mereka lupa bahwa diam dalam keadaan seperti ini bukan hanya tanda kelemahan, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap umat. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan dengan sabdanya:
“Tidaklah seseorang meninggalkan seorang Muslim yang dilecehkan kehormatannya dan direndahkan martabatnya, melainkan Allah akan meninggalkannya di tempat di mana ia ingin mendapatkan pertolongan.”
Diam yang Berbahaya
Hari ini, Gaza hancur lebur, tetapi mereka tetap diam. Anak-anak terbunuh, tetapi mereka tetap diam. Para wanita diperkosa, tetapi mereka tetap diam. Masjid-masjid dihancurkan, tetapi mereka tetap diam.
Kebungkaman mereka lebih mematikan daripada senjata musuh. Sebab, umat ini bukan hanya butuh pejuang di medan perang, tetapi juga butuh suara-suara yang membela kebenaran dan membangkitkan semangat jihad.
Jika mereka tetap diam hari ini, mungkin besok ketika kezaliman menimpa mereka, tidak akan ada satu pun suara yang akan membela mereka.
Maka kepada para ulama’ yang memilih diam, ingatlah bahwa sejarah akan mencatat kalian. Dan lebih dari itu, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kebisuan kalian di hadapan penderitaan umat ini.**
(Samirmusa/arrahmwh.id)