Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung baru-baru ini cukup mencuri perhatian. Pasalnya perguruan tinggi ini melakukan pembatalan kelulusan dan penarikan kembali ijazah 233 mahasiswa pada periode 2018-2023. Keputusan itu dilakukan setelah Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) menyebut ada sejumlah kejanggalan dalam proses kelulusan di Stikom Bandung. Di antaranya, perbedaan nilai akademik dan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) dengan data di Pangkalan Data Dikti. Tak hanya itu, ijazah mahasiswa periode 2018-2023 juga tidak mencantumkan Penomoran Ijazah Nasional (PIN) dan belum dilakukan uji plagiasi terhadap karya mahasiswanya. (Tirto.id, 16/1/2025)
Sementara dari pihak kampus, Dedy Jamaludin Malik, selaku Ketua Stikom menanggapi tudingan adanya maladministrasi atau potensi oknum yang terlibat dalam penyelewengan akademik. Menurut Dedy selama ini pihaknya memang bergantung pada satu operator yang dipercaya, akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata ada kekurangan. Ada oknum operator kampus yang diduga melakukan praktik jual beli ijazah tanpa sepengetahuannya. Oleh karenanya hal itu menjadi bahan evaluasi dengan terus melakukan reformasi untuk memperbaiki sistem administrasi dan akademik. Pembatalan ijazah ini juga merupakan bagian dari upaya untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan Stikom. (Tribunnews.com, 21/1/2025)
Kebijakan penarikan ijazah tersebut juga mengundang reaksi keras dari para alumni Stikom Bandung, terutama mempertanyakan terkait tes plagiasi dan PIN yang baru diterapkan setelah mereka lulus. Para alumni berharap pihak kampus lebih transparan dalam menangani masalah ini, apalagi terkait administrasi yang sebenarnya bukan urusan mahasiswa tetapi urusan dan tanggung jawab pihak kampus.
Sungguh kebijakan kampus Stikom ini patut menjadi perhatian yang serius dunia pendidikan. Jangan sampai hal ini terulang kembali yang akhirnya membuat citra kampus menjadi buruk serta kerugian yang harus ditanggung mahasiswa jika sampai harus mengulang kuliah lagi. Jika perlu pihak kampus harus mendapatkan sanksi, sebagaimana yang diungkapkan kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah IV Jawa Barat, M Samsuri bahwa kampus akan diberikan sanksi administrasi berupa syarat kampus tersebut harus memperbaiki mutu internal, salah satunya adalah perbaikan data-data mahasiswa.
Pendidikan Sekuler Rentan Dikapitalisasi
Kasus penarikan ijazah mahasiswa di atas semakin menambah panjang daftar problematika dunia pendidikan hari ini. Sebelumnya, dunia pendidikan kerap menuai masalah, dari mulai mahalnya biaya, rendahnya kualitas guru, kurangnya sarana dan prasarana, praktik korupsi, dan yang terbaru, masalah pembatalan ijazah. Tentu menjadi tanda tanya besar ada apa dengan dunia pendidikan hari ini?
Sebagaimana kita ketahui, ijazah merupakan pengakuan resmi bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu. Sehingga, mendapatkan ijazah menjadi tujuan saat menempuh pendidikan. Karena dengan ijazah, setiap orang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau untuk mencari pekerjaan. Sayangnya, karena regulasi yang tidak diimbangi paradigma yang benar, maka muncullah praktik lancung (memalsukan atau meniru dengan maksud menipu) di dunia akademik, seperti penggunaan joki karya ilmiah atau penyedia jasa yang memfasilitasi adanya jurnal atau skripsi secara instan. Alhasil, ijazah yang diterima tidak sesuai dengan nilai yang seharusnya serta banyak kejanggalan, yang pada akhirnya harus ditarik dari tangan para alumni.
Penyelenggara pendidikan, baik negara sebagai institusi tertinggi, departemen pendidikan, atau civitas akademika seharusnya bertanggung jawab terhadap semua aktivitas kampus baik dalam pembelajaran maupun aktivitas di lingkungan kampus serta akhlak para peserta didik. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pihak kampus seolah abai terhadap praktik-praktik penyelewengan bahkan seperti sudah menjadi rahasia umum apa yang terjadi di dunia pendidikan hari ini. Sehingga output yang dihasilkan jauh dari harapan, yakni generasi yang cerdas, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, pendidikan juga sangat rentan dikapitalisasi. Pendidikan hanya dijadikan komoditas bisnis yang berorientasi pada keuntungan materi semata, sehingga biaya pendidikan mahal. Ditambah lagi asasnya yang sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan mengakibatkan nilai-nilai yang mendasari kehidupan tidak berstandar pada benar atau salah, halal ataukah haram. Apalagi dalam sistem kapitalisme, standar kebahagiaan dan kesuksesan diukur dari nilai materi dan pencapaian yang bersifat duniawi.
Pada akhirnya, di bawah sistem ini, pendidikan hanya berkutat pada persoalan kelulusan dan terserapnya mereka di dunia kerja, bukan pada kualitas dan kepribadian yang mulia. Para mahasiswa hanya berfokus pada kuliah, mendapatkan ijazah, dan bisa bekerja.
Di sisi lain, negara dalam kapitalisme tidak memosisikan dirinya sebagai pengurus rakyat. Tetapi lebih kepada sebagai regulator dan fasilitator yang mengatur rakyatnya berdasarkan kemaslahatan subyektif, yakni pada kebermanfaatan atau kebaikan yang dapat dirasakan secara individu. Dampaknya muncul peluang adanya penyelewengan di semua lini, baik dari sisi kebijakan negara, penyelenggara pendidikan (kampus dan lembaga pendidikan), pelaku pendidikan, (akademisi, dosen, guru), dan objek pendidikan (siswa dan mahasiswa). Seperti munculnya penyedia jasa untuk pembuatan jurnal atau skripsi, atau praktik jual beli nilai dari operator kampus sebagaimana yang terjadi di Stikom Bandung tersebut.
Semua itu adalah buah dari diterapkannya sistem pendidikan sekuler yang meminggirkan peran negara dalam menjamin kebutuhan rakyatnya. Peran negara sebagai pihak yang bertanggung jawab memenuhi hak pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan untuk biaya pendidikan saja negara tidak mampu, karena sumber-sumber pendapatan yang ada di negeri ini diserahkan kepada pengusaha swasta. Alhasil, praktik-praktik penyelewengan dan berbagai masalah di perguruan tinggi akan terus ada selama negeri ini masih mengadopsi sistem kapitalisme sekuler.
Sistem Pendidikan Islam
Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki pandangan tersendiri terkait pendidikan. Islam menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok atau mendasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu siapapun sebagai warga negara dapat mengakses pendidikan secara gratis. Hal ini juga karena pemimpin dalam negara Islam memosisikan dirinya sebagai pengurus rakyat, sehingga segala urusan akan menjadi tanggung jawabnya termasuk urusan pendidikan. Sebagaimana sabda Rasul saw. yang artinya: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun biaya yang digunakan untuk dana pendidikan, Islam memiliki lembaga keuangan baitulmal yang sangat mampu menjamin terselenggaranya proses pendidikan di seluruh wilayah bahkan sampai ke pelosok. Karena, sumber pendapatan baitulmal sangat sehat dengan pemasukan dari berbagai pos. Di antaranya, pos fa’i dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Kemudian pos kepemilikan umum seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaanya sudah dikhususkan). Selain itu, biaya pendidikan juga bisa dari wakaf. Meskipun biaya pendidikan adalah tanggung jawab negara, akan tetapi Islam tidak melarang rakyatnya yang berinisiatif untuk berperan serta dalam pembiayaan pendidikan.
Sementara terkait sistem pendidikan, Islam menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Sehingga kurikulum, materi pengajaran serta metodenya disusun berlandaskan akidah tersebut. Setiap ilmu yang disampaikan harus senantiasa dikaitkan dengan akidah Islam yang akan membuat peserta didik semakin taat kepada Allah Swt., memiliki kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikap sesuai Islam. Begitu pula dengan para pelaksana pendidikan yang juga akan semakin meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt, termasuk dalam menjaga kualitas dan kredibilitas institusi pendidikan.
Sistem pendidikan Islam juga memiliki instrumen penilaian hasil belajar untuk mengukur kemampuan para peserta didik, yakni melalui penilaian formatif (untuk memantau sejauh mana suatu proses pendidikan telah berjalan sebagaimana mestinya) dan sumatif (untuk memantau sejauh mana para siswa berpindah dari proses ke proses berikutnya. Instrumen evaluasi yang digunakan dalam penilaian hasil belajar dapat berupa instrumen tes (pretest, posttest serta tertulis, lisan atau perbuatan) maupun notes seperti observasi atau skala rating.
Tak hanya itu, negara juga menciptakan suasana lingkungan yang kondusif, yang senantiasa masyarakatnya amar makruf nahi mungkar, artinya masyarakat yang mencintai dakwah. Juga tidak akan menoleransi segala bentuk pemikiran dan tsaqafah asing yang dapat merusak. Untuk itu, Islam akan memberlakukan sanksi tegas kepada setiap pelaku kejahatan dan kecurangan sehingga proses pendidikan akan berjalan sebagaimana mestinya. Sanksi dalam Islam cukup tegas, karena berfungsi sebagai pencegah (zawajir) yang akan membuat jera pelakunya, dan juga sebagai penebus dosa bagi pelakunya di akhirat kelak (jawabir).
Demikianlah sistem pendidikan dalam Islam, di mana memiliki peran vital sehingga negara harus memastikan seluruh rakyatnya terpenuhi akan hak pendidikannya. Masyarakat dalam negara Islam juga akan terbangun susana keimanan yang kondusif, individu yang bertakwa, masyarakat yang yang saling kontrol serta negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah (menyeluruh), menjaga dan mengawasi setiap aturan yang diberlakukan, sehingga tidak akan ada lagi masalah-masalah yang muncul akibat penyelewengan oknum maupun pejabat pemerintahan yang akan merugikan rakyat.
Wallahu a’lam bi ash-shawab