PARIS (Arrahmah.id) — Sumber di bidang hukum Prancis pada Selasa (21/1/2025) malam mengungkap hakim investigasi di negara itu telah menerbitkan surat penahanan terhadap mantan Presiden Suriah Bashar al Assad atas tuduhan kejahatan perang, khususnya terkait penyerangan terhadap warga sipil.
Dilansir Reuters (22/1), surat penahanan itu dikeluarkan pada 20 Januari 2025, sebagai bagian dari investigasi kasus Salah Abou Nabour, seorang warga negara Prancis keturunan Suriah, yang tewas pada 7 Juni 2027 dalam sebuah pengeboman di Suriah.
Ini adalah surat penahanan kedua yang diterbitkan oleh tim hakim terhadap Assad, yang digulingkan pada awal Desember 2024 oleh kelompok perlawanan Suriah.
Surat penahanan terhadap Assad yang pertama diterbitkan pada November 2023 atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan terlibat dalam kejahatan perang.
Terbitnya surat penahanan itu, buntut dari investigasi yang dilakukan Prancis terhadap serangkaian serangan dengan senjata kimia di Kota Douma dan distrik di timur Ghouta pada Agustus 2013.
Serangan itu menewaskan lebih dari seribu orang. Pemerintahan Assad di masa lalu membantah telah menggunakan senjata kimia dalam perang saudara di negara itu. Perang saudara di Suriah pecah pada Maret 2011.
Kekuasaan Assad digulingkan kelompok perlawanan Suriah setelah memasuki Damaskus pada 8 Desember 2024. Setelah lima dekade pemerintahan dinasti, rakyat Suriah merayakan jatuhnya Assad.
Assad memerintah Suriah dengan tangan besi selama hampir 25 tahun. Dia melarikan diri ke Rusia persis pada 8 Desember 2025, setelah kelompok anti-rezim menguasai Damaskus.
Buntut dari kejatuhan rezim Assad ini, Jerman, Prancis, Austria dan beberapa negara Nordik Eropa menjelaskan akan membekukan semua permintaan suaka yang tertunda dari warga Suriah.
Dikutip dari Al Arabiya, Berlin dan negara-negara lain mengatakan mereka memperhatikan perkembangan pesat di negara yang dilanda perang tersebut. Sedangkan Wina mengisyaratkan akan segera mendeportasi pengungsi Suriah. (hanoum/arrahmah.id)