BEIJING (Arrahmah.id) — Menurut beberapa pengguna, platform TikTok menandai unggahan yang berisi frasa “Free Palestine” sebagai ujaran kebencian atau perilaku kebencian.
Dilansir The Latin Times (22/1/2025), laporan pengguna tersebut menyusul larangan singkat dan pemulihan aplikasi milik Cina pada hari Ahad (19/1).
Penutupan tersebut dilakukan setelah undang-undang Amerika Serikat (AS) menuntut perusahaan induk TikTok, ByteDance, untuk melepaskan sebagian kepemilikan kepada pembeli AS atau berhenti beroperasi di AS sebelum batas waktu 19 Januari 2025.
Presiden Donald Trump dipuji karena menyelamatkan aplikasi tersebut beberapa jam setelah penutupan dengan janji untuk memperpanjang batas waktu penjualan.
Di media sosial, spekulasi beredar bahwa janji Trump untuk menyelamatkan aplikasi tersebut harus dibayar dengan harga: penyensoran.
Di X, yang dulunya Twitter, @alexnaivety mengunggah rekaman layar saat ia menulis “Free Palestina” di bawah video TikTok milik pengguna lain, lalu menerima pemberitahuan sistem bahwa sebuah komentar telah dihapus. Pemberitahuan tersebut merujuk pada komentar, waktu saat diunggah, dan menyebut pelanggaran tersebut sebagai “ujaran kebencian dan perilaku penuh kebencian.”
Dalam waktu 24 jam, unggahan tersebut telah ditonton lebih dari enam juta kali, yang mendorong pengguna untuk berbagi pengalaman serupa dan mengutuk penyensoran TikTok.
Klaim penyensoran tersebut telah memicu perbincangan yang lebih luas tentang kebijakan moderasi konten platform tersebut dan bias yang dirasakan terkait dengan pengaruh Trump. Laporan lain telah muncul yang mengklaim pencarian anti-Trump telah disembunyikan di aplikasi tersebut sejak aplikasi tersebut diaktifkan kembali, sementara di META, pengguna dilaporkan menemukan akun mereka secara otomatis mengikuti Trump dan Wakil Presiden JD Vance.
“Aplikasi media sosial bertekuk lutut pada oligarki fasis yang baru,” tulis seorang pengguna di atas tangkapan layar pelanggaran pedoman komunitas TikTok.
Beberapa pengguna telah membandingkan situasi tersebut dengan pembatasan dalam rezim otoriter. “Negeri yang ‘bebas’ tetapi tidak bisa mengunggah Palestina yang ‘bebas’,” tulis yang lain.
“TikTok sudah mati. Hidup RedNote,” adalah salah satu dari banyak komentar yang mendorong pengguna TikTok untuk pindah ke aplikasi video sosial milik Tiongkok lainnya.
TikTok belum menanggapi tuduhan tersebut secara terbuka, sehingga banyak yang mempertanyakan sejauh mana komitmen platform tersebut terhadap kebebasan berbicara dan moderasi yang tidak bias. (hanoum/arrahmah.id)