Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Kisruh terkait kenaikan PPN terus terjadi. Sebagian besar masyarakat keberatan dengan kebijakan pemerintah meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan hanya berlaku untuk barang mewah dan jasa mewah. Lebih lanjut Sri mengungkapkan, adanya paket insentif dan stimulus yang diberikan antara lain pajak penjualan rumah seharga Rp2 miliar akan ditanggung 100 persen oleh negara, begitu juga untuk kendaraan hybrid dan kendaraan listrik.
Para pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak perlu membayar PPh. Insentif lainnya yang diberikan berupa diskon listrik 50 persen untuk pelanggan di bawah 2.200 VA. Menurutnya, hampir 94 persen seluruh pelanggan di Indonesia mendapatkan potongan, termasuk untuk para pekerja dengan gaji Rp10 juta pertama dibayar pemerintah pajaknya dalam jangka tertentu. Kesemuanya ini bertujuan agar masyarakat, para pekerja, kelompok miskin yang diberikan bantuan beras 10 kg per bulan 16 juta kelompok keluarga mendapatkan stimulus ini. (2 Januari 2025)
Meskipun pernyataan yang diungkap Menkeu terkait batalnya kenaikan PPN 12 persen, masyarakat kelas menengah dan bawah tetap terkena dampaknya. Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohamad Faisal mengatakan adanya kesimpangsiuran mengenai barang-barang yang dikenai tarif PPN 12 persen. Sebelum diumumkan resmi, banyak pelaku usaha yang sudah lebih dulu mengantisipasi kenaikan PPN dengan menaikkan harga barang dan jasa.
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat berpendapat, ketentuan kenaikan tarif PPN untuk barang mewah dapat memberikan beban tambahan bagi kelas menengah. Meski barang mewah tidak dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat, pengumuman tarif tersebut dapat menimbulkan efek psikologi. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah lebih berhati-hati dalam menyusun kebijakan pajak dengan mempertimbangkan akibat terhadap konsumsi, industri, dan daya saing produk lokal. (kompas.id, 1 Januari 2025)
Dampak dari Sistem Kapitalisme
Meskipun kenaikan PPN 12 persen yang sudah terlanjur disosialisasikan pemerintah telah diralat hanya untuk barang-barang mewah saja, telah menimbulkan kisruh di tengah-tengah masyarakat. Karena fakta di lapangan harga-harga barang tetap naik. Misalnya PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lainnya. Hal ini bisa terjadi lantaran pemerintah tidak secara gamblang menjelaskan barang dan jasa mewah seperti apa yang tarif PPN-nya mengalami kenaikan. Sehingga penjual memasukan PPN 12 persen pada semua jenis barang. Ketika harga-harga di lapangan telah mengalami lonjakan, negara tak segera mengoreksi dan memberi solusi atas kegaduhan yang ditimbulkan.
Hingga saat ini, pemerintah tak kunjung membereskan efek misinformasi yang terlanjur beredar. Negara nampak berupaya cuci tangan dengan didukung media partisipan. Hal tersebut terlihat dari berbagai kebijakan dan insentif stimulus yang diklaim pemerintah sebagai kebijakan yang dapat membantu untuk meringankan hidup rakyat.
Tampak sekali negara memaksakan kebijakan dan membuat cerita seolah berpihak kepada rakyat. Pada kenyataannya justru abai terhadap penderitaan rakyat. Sudah menjadi rahasia umum jika kenaikan pajak pasti akan berimbas pada ekonomi rakyat. Berbagai bantuan pemerintah hanya bersifat sementara yang sama sekali tidak menghilangkan beban masyarakat tanpa mampu menyelesaikan masalah secara mendalam. Kebijakan ini semakin meguatkan gambaran penguasa yang populis otoriter.
Seperti inilah profil pemimpin dalam sistem kapitalisme yang membuat negara tidak menjalankan fungsinya sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat. Justru mereka berperan menjadi pebisnis untuk rakyat. Konsep kepemimpinan ini menghasilkan penguasa yang minim rasa peduli dan kasih sayang kepada rakyat. Dengan tanpa belas kasihan mengeluarkan kebijakan yang terus-menerus membuat rakyat lelah dan menderita. Sistem rusak ini telah nyata membuat masyarakat hidup dalam kesengsaraan dan jauh dari sejahtera.
Profil Pemimpin dalam Islam
Islam adalah ideologi, bukan hanya perkara keyakinan tetapi juga mengatur seluruh urusan kehidupan. Syariat Islam akan sempurna dan menjadi solusi ketika diterapkan oleh negara. Islam memiliki konsep kepemimpinan yang luar biasa serta berbeda.
Gambaran pemimpin yang salih akan mampu mengemban amanah sebagai pengurus (raa’in) bagi rakyat sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah saw.: Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Dalam kitab Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah Jilid II karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menggambarkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin Islam, di antaranya adalah kuat, bertakwa, dan tidak memicu kebencian. Dalam hadis Rasulullah mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus diemban oleh orang-orang yang kuat sehingga akan mampu menunaikan seluruh amanahnya dengan baik.
Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan kepribadian Islam yakni pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang dipengaruhi Islam. Tentu saja kekuatan ini akan menciptakan seorang pemimpin yang memiliki kapasitas akal yang handal juga sikap kejiwaan yang tinggi seperti sabar, tenang atau tidak tergesa-gesa dalam membuat regulasi. Dengan begitu, ketika seorang pemimpin mengambil keputusan akan fokus pada kepentingan umum yang mampu menyejahterakan rakyat.
Islam memosisikan rakyat sebagai tanggung jawab negara, oleh karena itu tidak akan membuat kebijakan yang menyusahkan rakyat seperti halnya pajak. Karena imam (khalifah) dalam sistem Islam wajib memenuhi kebutuhan seluruh kebutuhan individu per individu rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan kesehatan, dan keamanan. Pemenuhan semua kebutuhan rakyat tersebut bersumber dari Baitu Mal yang dikelola negara secara baik dan mandiri berdasarkan aturan syariat.
Sehingga negara tidak akan membebani rakyat dengan beraneka macam pungutan pajak sebab negara yang menerapkan aturan Islam mempunyai APBN yang bersumber dari harta kepemilikan umum seperti sumber daya alam antara lain tambang, minyak bumi, gas, hutan, dan lainnya yang langsung dikendalikan oleh negara. Kemudian kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, harta warisan tak bertuan, sumbangan dan hibah, semua pemasukan tersebut digunakan untuk kepentingan umat, membangun infrastruktur, menjamin kesejahteraan sosial, dan menjaga stabilitas negara sesuai prinsip keadilan Islam. Ketika kas negara mengalami kekurangan, maka pajak akan diberlakukan oleh negara dengan sifat darurat dan temporer. Itu pun hanya diambil dari kaum laki-laki dan orang kaya saja. Jika kebutuhan sudah terpenuhi, maka pajak dihentikan.
Dengan demikianlah negara dalam sistem Islam yang berlandasrkan pada syariat akan melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab dan amanah. Keimanan dan ketakwaan yang tertanam dalam diri seorang pemimpin akan mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan bahagia bagi semua rakyat. Sehingga tidak akan kita jumpai pemimpin dalam sistem Islam yang gegabah dalam mengambil kebijakan apalagi menyusahkan rakyat.
Wallahua’lam bish shawab