Oleh: Ummu Nasywa
Member AMK dan Pegiat Dakwah
Diketahui Polresta Bandung sedang menyelidiki dugaan kasus tindak pidana korupsi yang telah menyeret mantan Kepala Desa Malasari pada masa jabatan periode 2017-2023. Kasus ini berkaitan erat dengan pengelolaan anggaran Alokasi Dana Perimbangan Desa (Raksa Desa) dan Bantuan Provinsi Jawa Barat untuk tahun anggaran 2021 dan 2022. Kompol Oliestha Ageng Wicaksana sebagai Kasat Reskrim Polresta Bandung mengemukakan bahwa pihaknya telah menemukan indikasi kuat terkait sebagaian besarnya anggaran yang dikelola langsung, tanpa melibatkan pihak terkait yakni Pejabat Penyelesaian Kerugian Daerah (PPKD) dan Tim Penyelesaian Kerugian Daerah (TPKD) untuk alokasi pengelolaan dananya.
Kompol Oliestha Ageng Wicaksana beserta timnya menemukan petunjuk yang kuat bahwa sebagian besar anggaran-anggaran tersebut telah dikelola langsung oleh terlapor, tanpa melibatkan PPKD/TPKD yang mana telah dibentuk oleh kepala desa. Oliestha pun menambahkan, terdapat beberapa kegiatan yang seharusnya dibiayai oleh anggaran desa, namun tidak terealisasi. Dicurigai, anggaran tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi. Perhitungan hasil audit memperkirakan kerugian keuangan negara dari Inspektorat Kabupaten Bandung atas kasus ini bisa berpotensi tembus angka Rp 454.465.145. (jabar.tribunnews.com, 1/1/2025)
Korupsi merupakan suatu bentuk ketidakjujuran yang melanggar hukum, dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi yang bertujuan untuk memperkaya diri pribadi ataupun golongannya. Pelaku korupsi melakukannya dengan memanfaatkan kewenangan, kesempatan dan sarana yang tersedia. Tindakan ini dapat merugikan negara, perekonomian, kesejahteraan, dan kepentingan masyarakat.
Contoh kasus viral yang menimpa suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), bersama eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan. Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp300 triliun dan pelaku hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara serta denda satu miliar.
Praktik korupsi kian subur dikarenakan tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat dalam sistem kapitalisme yang nyata membutuhkan penerapan politik demokrasi beranggaran sangat besar. Penguasa atau para pejabat terpilih adalah mereka yang bermodal kuat, baik modal sendiri atau “sponsor” dari para tuan pemilik modal besar. Tingginya biaya politik pasti ada konsekuensi. Konsekuensi paling nyata adalah korupsi dalam berbagai rupa. Ada korupsi langsung dalam bentuk uang. Ada pula korupsi kebijakan atau penyalahgunaan wewenang dalam bentuk proyek-proyek besar, perumusan UU yang berpihak kepada para pemilik modal, dan sebagainya.
Sistem kapitalisme menyuburkan pelaku korupsi karena akidah dari kapitalisme itu sendiri adalah pemisahan agama dari kehidupan. Agama hanya dipahami diranah ibadah mahdah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Sementara ranah muamalah seperti berdagang, menjadi pegawai, pejabat atau penguasa aturan agama disingkirkan. Akibatnya, manusia tidak merasa diawasi oleh Allah dan tidak memiliki tolok ukur halal-haram dalam setiap tindakannya, sehingga melakukan korupsi pun menjadi hal biasa. Ditambah gaya hidup hedonisme yang semua diukur dengan materi, membuat banyak orang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya.
Faktor lainnya adalah lemahnya iman individu, masyarakat dan negara. Gaya hedon membuat individu mudah tergoda untuk meraup kekayaan sebesarnya. Masyarakat juga memberikan celah dan turut serta menyuburkan korupsi dengan pemberian hadiah dan gratifikasi sehingga para koruptor merasa nyaman.
Dari sisi negara, penegakan sanksi terlalu ringan. Bahkan kabarnya tersedia lapas khusus bagi pejabat yang terjerat pidana layaknya hotel bintang lima. Maka bagaimana mungkin praktik korupsi bisa dibasmi jika hukum saja masih tebang pilih dan tidak menjerakan.
Meskipun ada upaya yang ditempuh pemerintah untuk menangani dan meminimalisasi korupsi seperti membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); reformasi birokrasi; perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa; peningkatan pengawasan internal dan eksternal; peningkatan transparasi dan akses informasi; atau pendidikan dan kampanye anti-korupsi, semuanya tidak berpengaruh besar memutus mata rantai korupsi. Tak heran, Indonesia dikenal dengan surganya para koruptor karena hukum yang belaku tidak mampu membuat para pelaku jera.
Berbeda dengan sistem Islam. Aturan yang dimiliki Islam mampu mencegah terjadinya korupsi seperti proses seleksi kepada para calon pejabat sebelum mereka diangkat. Mereka ini adalah orang-orang bertakwa dan perwakilan rakyat yang terpilih yang dianggap mampu mengemban amanah.
Jika ada pertambahan harta pejabat yang tidak wajar, maka negara akan menerapkan sistem pembuktian terbalik. Para pejabat harus bisa membuktikan sumber hartanya, apakah dari jalan benar atau tidak. Jika tidak mampu membuktikan, atau terbukti adanya harta ghulul, mereka akan mendapatkan hukuman yang tegas.
Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa serta para pejabat sangat penting. Tetapi jauh lebih penting lagi yakni penerapan sistem Islam untuk menjaga rakyat agar tidak melakukan kemaksiatan atau dosa. Tugas negara lah yang menjadi pelaksana inti di jalankannya hukum syariat di tengah-tengah masyarakat.
Tindakan korupsi masuk dalam kategori takzir, yaitu uqubat (sanksi-sanksi) yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarat di dalamnya. Kadar sanksi takzir berada di tangan negara (khalifah) tetapi boleh diserahkan kepada ijtihad hakim. Adapun jenis-jenis sanksi takzir adalah: pembunuhan, cambuk, penjara, pengusiran, memboikot, membayar denda (al-gharamah), melenyapkan harta (itlaf al-mal), ancaman yang sesungguhnya (at tahdid ush shadiq), memutuskan nafkah/gaji, dan mencela.
Dengan itu, sanksi takzir bagi koruptor bisa sampai berupa hukuman mati, jika ijtihad Khalifah telah menentukannya. Koruptor juga mendapatkan sanksi sosial berupa pengumuman (tasyhir) dan sanksi ekonomi berupa pemiskinan.
Penerapan hukuman ini sangat tegas, tidak ada privilege bagi para pejabat tinggi maupun orang dekat penguasa. Dalam kitab Al-Amwal, karya Abu ‘Ubaid, disebutkan bahwa jika adanya fenomena harta para pejabat bertambah, Umar bin Khaththab akan mengirimkan utusan untuk menemui para pejabat tersebut. Umar kemudian membagi harta mereka menjadi dua, sebagian diserahkan kepada negara dan lainnya diserahkan kepada mereka.
Tindakan tegas negara dalam Islam telah dicontohkan Rasulullah saw. Beliau saw. pernah bersabda:
“Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Inilah realitas hukum Islam, tidak ada toleransi sedikit pun terhadap tindakan korupsi. Kasusnya diperiksa secara seksama dan pejabat yang terbukti korup mendapatkan hukuman yang tegas. Keadilan pun akan terwujud sampai akhirnya rakyat merasa aman dan tenteram. Hanya sistem Islam yang akan mencegah pejabat negara melakukan korupsi. Sebab kepemimpinannya dibangun berdasarkan ketakwaan. Sungguh sebuah sistem yang kita semua dambakan.
Wallahu a’lam bi ash shawab.