TEPI BARAT (Arrahmah.id) — Tiga kelompok perlawanan Palestina, Hamas, Jihad Islam Palestina (PIJ), dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (FPLP) mengeluarkan pernyataan bersama terkait situasi di Tepi Barat.
Ketiga kelompok itu satu suara dan menyatakan penegasan legitimasi perlawanan bersenjata terhadap Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat.
Pernyataan bersama itu mengindikasikan kalau kampanye operasi keamanan yang diluncurkan Otoritas Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel “hanya menguntungkan musuh Zionis.”
Pernyataan tripartit ini ditandatangani oleh Hamas, Jihad Islam, dan FPLP.
“Pernyataan tersebut menekankan kalau perlawanan bersenjata itu sah dan “tidak diperbolehkan untuk melukainya atau menargetkan pemiliknya (milisi perlawanan Palestina), termasuk para pahlawan dan pejuang perlawanan”,” kata laporan Khaberni (24/12/2024).
Selain itu, ketiga kelompok Palestina meminta dinas keamanan dan pimpinan PA di Ramallah untuk menjauhkan diri dari tindakan apa pun yang mungkin mengancam kesatuan Palestina atau mempengaruhi perdamaian sipil.
Pernyataan Palestina menambahkan kalau senjata milisi perlawanan adalah hanya untuk dan ditujukan menghadapi genosida Israel di Gaza dan untuk menghadapi serangan pendudukan Israel di Tepi Barat yang diduduki.
Ketiga kelompok tersebut menekankan, menjaga darah warga Palestina adalah prioritas utama dan merupakan garis merah, serta memperingatkan agar tidak terlibat dalam perselisihan dan bentrokan.
Pernyataan tersebut berbunyi, “Kami mengikuti dengan rasa sakit dan keprihatinan atas kejadian di Jenin dan kampnya serta meningkatnya kampanye menyedihkan yang dilakukan oleh pihak keamanan Otoritas Palestina.”
Pernyataan Hamas, Jihad Islam, dan Front Populer menambahkan, “Kami ingin menahan peristiwa di Jenin dengan cara yang melestarikan darah Palestina dan melindungi perlawanan.”
Kelompok tersebut mengatakan bahwa mereka mengikuti dengan rasa sakit dan keprihatinan yang besar atas peristiwa yang terjadi di kota Jenin dan kampnya “melalui eskalasi kampanye keamanan yang dilakukan oleh dinas keamanan PA.”
Al Jazeera melaporkan, dari sudut pandang warga Jenin, yang menyebut kendali dan kontrol yang diterapkan pasukan PA mirip cara-cara represif yang dilakukan Israel.
Laporan itu menulis kesaksian Nahida al-Sabbagh yang telah bertahan dalam pertempuran di kamp pengungsi Jenin, tempat tinggalnya, sejak Sabtu, dua pekan lalu.
Pertempuran antara pejuang bersenjata Palestina setempat dari Brigade Jenin dan pasukan keamanan terus berlangsung di dekat rumahnya sepanjang waktu. Namun, identitas pasukan keamanan yang bentrok dengan para pejuang Palestina itulah yang paling mengejutkan Nahida.
Mereka bukan orang Israel. Faktanya, mereka orang Palestina, dan mewakili PA.
“Kami tidak pernah membayangkan pasukan keamanan akan memperlakukan kamp seperti ini,” kata wanita Palestina berusia 52 tahun itu.
Bentrokan di sekitar rumah keluarga al-Sabbagh di lingkungan kamp al-Mahyoub merupakan hasil dari kampanye berkelanjutan yang dilancarkan oleh aparat keamanan PA dengan nama “Melindungi Tanah Air”.
Kampanye tersebut dibenarkan sebagai upaya untuk “mengejar penjahat” dan pelanggar hukum serta mencegah kamp tersebut menjadi medan pertempuran seperti Gaza , menurut Anwar Rajab, juru bicara pasukan keamanan PA.
Rajab juga menggambarkan para pejuang di Jenin sebagai pro-Iran dan “tentara bayaran”, dan membantu upaya sayap kanan Israel untuk melemahkan PA.
Brigade Jenin, target utama PA, memiliki hubungan dengan Jihad Islam Palestina yang didukung Iran, tetapi juga memiliki anggota yang berafiliasi dengan kelompok Palestina lainnya.
“Apa yang mereka lakukan adalah menciptakan wilayah di luar kendali dan kedaulatan Otoritas Palestina,” kata Rajab kepada Al Jazeera, merujuk pada para pejuang milisi Palestina yang menjadi sasaran operasi PA.
“Hal ini terbukti dari penolakan mereka terhadap kehadiran PA dan aparatnya di dalam kamp, [dengan demikian] melayani agenda kekuatan eksternal yang bertanggung jawab atas penghancuran Gaza, Lebanon, dan Suriah,” tambahnya.
Serangan PA di kamp tersebut, yang dimulai pada tanggal 14 Desember, menyusul pengepungan selama 10 hari.(hanoum/arrahmah.id)