Oleh: Ustadz Fuad Al Hazimi
Suatu hari sekitar 12 tahun lalu, saya menghadiri sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Ustadz Bachtiar Nasir di Al-Qur’an Learning Centre, Tebet. Diskusi tersebut membahas tentang kepemimpinan nasional dan bentuk perjuangan ideal di Indonesia. Saat itu, revolusi Suriah baru saja berkecamuk, dan saya berkesempatan bertemu dengan Syaikh Ghiyats yang sering melakukan penggalangan dana sebagai perwakilan lembaga kemanusiaan untuk rakyat Suriah.
Beberapa tokoh yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Ustadz Zaitun Rasmin (Wahdah Islamiyyah), Ustadz Dr. Tiar Anwar Bahtiar (MIUMI), KH. Rohmat S. Labib (HTI), KH. Muhammad Al Khattath (FUI), dan beberapa lainnya. Saya sendiri mewakili Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Dalam pertemuan tersebut, saya duduk berdampingan dengan KH. Rohmat S. Labib, salah satu pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya memanfaatkan waktu luang untuk berdiskusi dengannya, terutama terkait metode perjuangan Hizbut Tahrir, yaitu Tholabun Nushroh.
Diskusi Tentang Tholabun Nushroh dan Jihad Difa’i
Saya memulai diskusi dengan bertanya:
“Apakah sama umat yang pernah memiliki khilafah selama 1300 tahun tetapi diruntuhkan dengan umat yang belum pernah memiliki khilafah? Jika tidak sama, apa yang paling pas dilakukan umat Islam: merebut kembali khilafah yang direbut secara paksa (daf’us sho’il), atau tetap menggunakan metode tholabun nushroh?”
Beliau menjawab bahwa metode penegakan khilafah tetap melalui tholabun nushroh, yakni meminta bantuan kepada pihak yang memiliki kekuatan, sebagaimana Nabi Muhammad SAW meminta bantuan penduduk Yatsrib (Madinah).
Saya menanggapi:
“Bukankah saat Nabi berhijrah, beliau belum memiliki kekuasaan, tamkin, atau khilafah? Sedangkan hari ini, umat Islam pernah memiliki khilafah selama ratusan tahun sebelum diruntuhkan. Kondisi ini lebih mirip dengan daf’us sho’il atau jihad defensif, yang menurut para ulama adalah fardhu ‘ain.”
Namun, KH. Rohmat S. Labib tetap pada pendiriannya. Saya menghormati pandangan beliau, meskipun saya pribadi melihat konteks umat Islam saat ini lebih relevan dengan jihad difa’i.
Pertanyaan tentang Suriah dan Mujahidin
Dalam diskusi tersebut, saya juga bertanya:
“Jika Hizbut Tahrir tetap menggunakan tholabun nushroh, kepada siapa nushroh akan diminta apabila Mujahidin di Suriah berhasil memperoleh kemenangan?”
Beliau menjawab, “Kepada Mujahidin.”
Jawaban ini membuat saya berpikir: “Kalau tidak ikut berjihad, tapi saat menang meminta tholabun nushroh, apakah Mujahidin akan menerimanya?”
Pelajaran dari Konflik Hizbut Tahrir dan Mujahidin
Hari ini, apa yang dahulu hanya menjadi pertanyaan di benak saya telah menjadi kenyataan. Konflik terjadi antara Hizbut Tahrir dan Mujahidin, khususnya Hai’ah Tahrir Syam (HTS). Alih-alih bersinergi, keduanya justru berseteru.
Sebagai seorang sahabat Hizbut Tahrir, saya merasa perlu menyampaikan nasihat ini:
“Jika dengan Mujahidin saja Anda tidak mampu mengedepankan husnuzhon (prasangka baik) dan akhlakul karimah, lalu dengan siapa lagi Anda akan meminta tholabun nushroh? Meminta itu berarti menunjukkan sikap rendah hati, bukan justru berseteru.”
Penutup
Saya menyampaikan nasihat ini bukan untuk menyerang, melainkan sebagai bentuk kasih sayang kepada sahabat-sahabat Hizbut Tahrir. Saya memiliki hubungan baik dengan banyak tokoh HTI, termasuk Syaikh Abu Anas (Ismail Al Wahwah), Prof. Fahmi Amhar, dan KH. Yasin Muthohhar. Bahkan, saya pernah membela HTI ketika dibubarkan oleh rezim Jokowi.
Semoga nasihat ini diterima dengan lapang dada. Mari kita bersama-sama mengevaluasi dan memperbaiki langkah perjuangan, agar cita-cita menegakkan syariat Islam dapat terwujud dengan cara yang diridhai Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*Tulisan ini dikutip dari Facebook pribadi Ustadz Fuad Al Hazimi.
(*/arrahmah.id)