(Arrahmah.id) – Pada Agustus 2021 Kabul berhasil bebas dari penjajahan Amerika dan Sekutu yang berlangsung selama 20 tahun. Jamaah Taliban menjadi “partai” tunggal yang mengendalikan Afghanistan. Tak ada kekuatan minor atau kelompok oposisi yang menjadi pengganggu. Taliban telah berhasil memanfaatkan masa perang selama 20 tahun untuk mengkonsolidasikan persatuan, sehingga ketika Amerika hengkang transisi kekuasaan berjalan mulus.
Untungnya Taliban memegang kuat nilai Islam. Saat Amerika kabur, bisa saja kesempatan itu digunakan untuk melampiaskan balas dendam kepada para boneka AS yang selama ini menyakiti mereka dan rakyat Afghan. Tapi mereka justru memberikan pengampunan umum kepada seluruh rakyat termasuk kepada tentara boneka yang dulu memerangi mereka. Mereka tahu dan taat bahwa Islam melarang keras kekuasaan dijadikan alat untuk membalas dendam, tapi hanya sebagai alat menegakkan keadilan dan menebar kasih sayang. Mereka meniru kebijakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam saat menaklukkan kota Makkah sehingga transisi berlangsung mulus tak terjadi drama yang mencekam.
Sebaliknya pada tataran hukum dan kekuasaan, mereka sangat ketat, tak mau kompromi. Ini juga cerminan jiwa taat yang amat kuat pada diri mereka – terutama para tokohnya – terhadap Islam. Mereka tahu kekuasaan itu milik Allah, harus digunakan untuk mewakili Allah, bukan mewakili diri sendiri atau kelompok. Atau mewakili kekuatan yang lebih besar seperti Rusia, Inggris, China, dan AS.
Karena itu, Taliban menamai kekuasaannya dengan Imarah Islam Afghanistan. Maknanya, sistem politik, hukum, ekonomi dan semua sendi kekuasaan menggunakan aturan Islam secara penuh. Mereka tidak mau memberi nama Republik Islam Afghanistan, sebab dari namanya saja sudah diketahui pesan yang terkandung, yaitu sistem yang gado-gado mewadahi seluruh aspirasi rakyat, bukan hanya Islam. Diksi Islam setelah kata Republik hanya menekankan dominasi mayoritas namun tetap menerima aspirasi non Islam.
Tentu saja pilihan yang diambil Afghanistan sangat beresiko. Dunia sedang berada dalam genggaman kekuatan kufur, mereka tak rela ada sebidang tanah yang menolak tunduk kepada mereka. Ibarat preman penguasa Tanah Abang, tak boleh ada satu jengkal pun kawasan Tanah Abang yang melawan. Siapapun yang berani melawan akan disikat. AS dan Sekutu adalah preman penguasa bumi, tak akan membiarkan satu bidang tanahpun lepas dari kontrol mereka.
Masalahnya, sudah 20 tahun mereka mencoba menjinakkan Afghanistan. Nyatanya gagal, bahkan rugi besar. Mau mengulangi lagi pasti akan tambah boncos. Akhirnya mereka hanya mampu mengorkestrasi seluruh negara di dunia untuk tidak mengakui legalitas politik Imarah Islam Afghanistan. Hal yang bisa mereka lakukan hanya sekedar menjegalnya sana sini. Atau memburukkan citranya agar dibenci dunia.
Afghanistan menjadi negara paling unik di dunia. Satu-satunya negara yang batas teritorialnya jelas, aman damai, ekonomi mulai bangkit, rakyatnya bahagia, dan tidak pernah bikin ulah kepada negara tetangga tapi tidak diakui kemerdekaannya secara diplomatik oleh siapapun. Sudah resmi merdeka sejak Agustus 2021 tapi hingga kini (akhir 2024) masih juga jomblo.
“Israel” kebalikannya. Satu-satunya negara yang tidak jelas batas teritorialnya, penjajah kejam, dan selalu bikin ulah yang menjengkelkan, tapi malah diakui dan dibela oleh AS dan Sekutu. Semoga dunia segera berubah menjadi waras, yang jahat disingkirkan dan yang baik dilegalkan.
Afghanistan: Teguh dan Bijaksana
Keberanian Afghanistan untuk mewakili Allah dalam menyelenggarakan kekuasaan dengan mengabaikan AS dan Sekutu merupakan kebijakan yang tepat. Sebab ketika AS sebagai negara terkuat saja putus asa menjinakkan Afghan secara militer, lalu negara mana lagi yang akan berani mencoba menjajahnya? Ketika monster terkuat saja angkat tangan, maka tidak ada lagi alasan untuk menyisakan rasa takut kepada manusia, rasa takut sudah waktunya diserahkan bulat untuk Allah. Inilah makna yang tersirat dari salah satu ayat penutup dari risalah kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam setelah berhasil menjinakkan seluruh kekuatan jahat di Jazirah Arab:
اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
Pada hari ini orang-orang kafir putus asa dari mengganggu agamamu (ketundukanmu kepada Allah) maka jangan lagi kamu takut kepada mereka tapi takutlah hanya kepada-Ku. Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu (Islam) dan Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah: 3)
Orang-orang kafir yang dimaksud pada ayat ini adalah kaum Quraisy bersama suku-suku Arab yang menjadi sekutunya dan kaum Yahudi yang berdomisili di sekitar Madinah. Ketika ayat ini turun yaitu pada tahun 10 H, dua kekuatan itu telah dikalahkan. Karena itu, tak ada lagi alasan bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam untuk menyisakan rasa takut dalam mengamalkan ketundukan sempurna kepada Allah. Dengan kata lain, tegakkan hukum Allah, pastikan sistem politik dan ekonomi sepenuhnya mengikuti aturan Allah, jangan ada yang dikurang-kurangi karena pertimbangan ancaman kaum kafir.
Jika dalam kondisi kaum kafir sudah dikalahkan (berarti sudah putus asa mengganggu mekanisme ketundukan kepada Allah) tapi masih juga Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam khawatir akan gangguan mereka, sehingga aturan Allah tak berani ditegakkan dengan sempurna, itu berarti tidak bijaksana dan tidak loyal kepada Allah. Jika itu terjadi, kesetiaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam kepada Allah patut dipertanyakan. Kebijaksanaan dan kedewasaannya juga layak diragukan. Ibarat orang yang masih takut melintas padahal ular pengganggu di jalan sudah dibunuh. Tubuh ular masih ada tapi sudah tak bisa mengancam, jika masih ditakuti juga, berarti sama dengan anak-anak atau wanita yang bersikap mengikuti rasa semata, bukan pemimpin umat yang pemberani dan bijaksana.
Kondisi masa itu kurang lebih sama dengan kondisi saat ini yang dialami Afghanistan. Kekuatan terbesar dunia telah dipukul keluar dari tanah Afghan, meski masih kuat di wilayahnya sendiri di benua Amerika sana, tapi sudah bermakna AS putus asa mengganggu pelaksanaan Islam di tanah Afghan. Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali menempatkan diri sebagai perwakilan Allah dalam menyelenggarakan kekuasaan, dengan mengabaikan AS dan komentar nyinyir manusia sedunia.
Mujahidin Afghanistan paham betul apa itu izzah – harga diri Islam dan umat Islam. Afghanistan dengan kepala tegak memegang erat kesetiaan kepada Allah, terserah apa penilaian dunia. Toh Allah bekali Afghanistan dengan berbagai kekayaan alam yang melimpah, baik di perut bumi maupun di atasnya. Tidak perlu mengemis bantuan dari negara lain.
Jika kekayaan alam itu dikelola dengan benar, akan menghasilkan kemandirian ekonomi. Dunia justru akan datang mendekat dengan sendirinya. Dan mereka yang dengan suka hati akan memberikan pengakuan diplomatik ketika mereka tergiur keuntungan ekonominya. Afghan tidak perlu mengemis pengakuan diplomatik tapi pada akhirnya dunia akan datang sendiri mengakui, dengan izin Allah. Itu hanya soal waktu. Kekayaan Afghan terlalu seksi untuk diabaikan oleh para pemburu cuan.
Apalagi jika posisi Afghan bisa dijadikan mitra ekonomi maupun politik. Seperti yang terjadi dengan Rusia, ia ingin mencari mitra sebanyak-banyaknya demi menggembosi kemitraan yang dibangun AS sebagai musuh bebuyutannya. Rusia pasti berpikir untuk memberikan pengakuan diplomatik demi menguatkan posisinya di hadapan AS. Demikian pula China. Jika dua negara ini sudah memulai, pasti disusul banyak negara lain.
Afghanistan: Tayangan Live Islam yang Sempurna dan Indah
Dengan kawalan syariat Islam yang ketat, Afghanistan berpotensi menjadi negara terbaik di dunia. Secara keamanan stabil, ekonomi tumbuh bagus, kemiskinan berkurang, keadilan tegak, kezaliman tidak diberi tempat, opium diberantas, dan para pejabat bersih tidak korupsi. Jika ini tercapai, semua tuduhan miring dan gambar hantu yang disematkan terhadap Afghanistan akan terkikis dengan sendirinya. Bahkan akan banyak rakyat di dunia yang berharap diatur dengan syariat Islam, karena melihat keberhasilan yang dicontohkan Afghanistan.
Dahulu Taliban meluaskan wilayah dengan cara menegakkan syariat Islam. Rakyat merasakan manfaatnya. Satu kampung diikuti kampung berikutnya, menular dengan cepat, atas permintaan masyarakat sendiri. Jika pada masa itu terjadi dalam level Afghanistan, tak tertutup kemungkinan fenomena ini akan terjadi pada level global. Pihak yang minta bukan lagi masyarakat di satu kampung, tapi rakyat di satu negara, minta ditegakkan syariat Islam seperti di Afghanistan agar bisa hidup aman, damai, makmur dan bahagia seperti yang dirasakan rakyat Afghanistan.
Afghanistan ibarat laboratorium modern untuk pelaksanaan Islam utuh yang dilindungi kekuasaan berdaulat. Manusia modern – baik muslim maupun non muslim – perlu melihat praktek langsung Islam yang penuh rahmat di alam nyata, bukan sajian sejarah yang hanya bisa dibaca. Seperti sejarah keadilan zaman Umar bin Khatab, atau sejarah kemakmuran dan pemerataan ekonomi pada zaman Umar bin Abdul Aziz dan sebagainya.
Menangkap Pesan Keunikan Afghanistan
Bangsa Afghan (diwakili para pemimpin Taliban) menangkap dengan cerdas isyarat taqdir Allah. Afghanistan Allah taqdirkan secara geografis bergunung-gunung yang menjadi benteng alam kokoh sehingga sulit ditaklukkan oleh siapapun. Juga didukung dengan penduduknya yang sangat tangguh dalam peperangan, serta loyalitas yang amat kuat terhadap Islam.
Sepanjang sejarahnya, semua bentuk upaya penaklukan terhadap Afghanistan pasti akan berakhir dengan kekalahan, sehingga orang menyebutnya sebagai kuburan imperium. Pada era kekinian, masih hangat dalam ingatan imperium Uni Soviet yang membawa ratusan ribu tentara dan senjata, hanya mampu bertahan sekitar 10 tahun. Setelah itu imperium Amerika bersama Sekutu, hanya bisa bertahan 20 tahun untuk kemudian pulang pada 2021 dengan kepala tertunduk.
Karakteristik Afghanistan yang unik ini seolah terkandung pesan tersirat dari Allah, “Kalian didukung dengan alam yang keras, bangsa yang tangguh, dan komitmen memegang Islam yang kuat, maka kalian harus menjadikan Afghanistan sebagai benteng Islam yang kokoh, jangan takut dengan bangsa-bangsa lain, yang punya kekuatan super saja menyerah apalagi yang lebih lemah”.
Kepekaan para pemimpin Taliban untuk “mendengar” pesan ini dan mewujudkannya secara nyata di lapangan sungguh sebuah puncak hikmah. Pilihan tepat saat umat Islam sedang kalah dan terzalimi di mana-mana dan kekuatan kufur merajalela sejadinya. Mereka seperti batu karang yang kokoh di tengah ombak dahsyat di samudera.
Kini waktunya untuk membuktikan, siapa yang akan bertahan dengan prinsipnya. Apakah Afghan yang akan melunak dengan menurunkan kadar keislaman demi mengemis pengakuan diplomatik dunia internasional, ataukah negara-negara dunia yang melunak karena ada kepentingan sehingga mengakui secara diplomatik meski Afghanistan tetap teguh dengan prinsipnya? Waktu yang akan menjawab.
Belajar Memahami Suriah Baru
Tiba-tiba rezim Assad di Suriah tumbang dalam waktu singkat. Dunia terkejut dan tidak siap dengan perkembangan cepat ini. Para mujahidin Suriah juga terkejut, tiba-tiba mendapat amanat keukuasaan yang begitu kompleks dan rasanya belum siap. Masih seperti mimpi, seolah belum yakin mendapat hadiah besar secara mendadak.
Sebagian orang langsung mematok hasil maksimal untuk Suriah. Mereka segera membayangkan khilafah akan kembali tegak mengulang zaman Bani Umayah yang menjadikan Damaskus sebagai ibukota. Lalu segera membayangkan pasukan besar dari tanah Suriah menyerbu masuk ke Palestina dan bebaslah Baitul Maqdis.
Mereka yang sedang bermimpi terlalu indah itu harus dicubit keras agar segera bangun dan melihat lagi dunia dengan mata biasa. Memang hadits tentang penaklukan Baitul Maqdis itu pasti akan terjadi, tapi Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam tidak menjelaskan kapan waktunya. Karenanya tidak bisa dipaksakan bahwa itu akan terjadi pada periode tahun-tahun ini. Bisa ya bisa tidak. Hal yang perlu dipersiapkan, jangan kecewa jika belum sekarang. Biarlah Allah yang atur timing-nya.
Fase-fase bangkitnya peradaban tak berbeda dengan fase-fase pertumbuhan manusia. Jika masih balita tapi sudah menantang gulat lawan orang dewasa, pasti akan kalah. Kita harus paham kita berada di fase mana, untuk menentukan dengan bijak apakah kita sudah waktunya meladeni tantangan preman ataukah masih perlu mengabaikannya karena masih fokus menambah porsi latihan biar lebih siap.
Perbedaan lokasi juga mempengaruhi. Pilihan sikap di Afghanistan berbeda dengan pilihan sikap di Suriah atau di tempat lain. Tidak bisa standar yang dipakai di satu tempat harus dipakai juga di tempat lain. Hal ini mirip dengan fatwa, bisa berbeda isinya karena perbedaan tempat. Masing-masing lokasi punya keunikan situasi dan kondisi. Semakin kita paham persamaan dan perbedaannya, semakin bijak dalam melihat masalah.
Fase-fase Kebangkitan
Fase ujung dan paling tinggi dari kebangkitan Islam adalah jika Islam dipraktekkan secara sempurna dari A sampai Z tak ada kekuatan eksternal yang berani mengganggunya. Pencapaian diukur berdasarkan amal, bukan ilmu. Sebagaimana surga diberikan atas amal bukan ilmu yang ada di kepala.
Jika Allah punya wakil (baca: khalifah) di dunia yang loyal penuh kepada Allah, berarti kekuasaan-Nya berlaku efektif di bumi sebagaimana berlaku efektif di langit. Kekuasaan ditandai dengan kendali, dan kendali ditandai dengan berlakunya hukum.
Sebaliknya, pencapaian tertinggi Iblis adalah jika ia bisa memasang wakilnya untuk menyelenggarakan kekuasaan kebatilan di bumi dan tak ada yang berani mengganggunya. Seperti pencapaiannya saat ini, ketika dunia digenggam oleh AS dan antek-anteknya. Dalam sejarah, Iblis belum pernah punya perwakilan sekuat AS yang cengeramannya menjangkau seluruh jengkal bumi.
Namun sebelum tercapai fase puncak ini, kita mesti paham bahwa ada fase-fase yang perlu dilalui. Tidak bisa lompat atau potong kompas.
Fase pertama: melatih otot. Misalnya, saat umat Islam buta sama sekali dengan syariat jihad, Allah bukakan tempat untuk belajar. Afghanistan dijajah Uni Soviet pada 1979. Inilah momen pertama jihad dipelajari umat dengan utuh pasca runtuhnya khilafah Turki Usmani. AS “dihadirkan” oleh Allah untuk membantu persenjataan mujahidin.
Fase kedua: menghentikan kezaliman. Apa yang terjadi di Suriah rasanya pas dimasukkan dalam fase ini. Fokusnya menghentikan kezaliman yang dialami umat Islam. Tercapainya agenda ini saja sudah menjadi kemajuan penting bagi umat, meski terbatas di tanah Suriah. Sementara kezaliman di Gaza dan Palestina secara umum belum bisa dihentikan.
Fase ketiga: melemahkan musuh. Sebetulnya musuh dalam proses pelemahan dirinya sendiri dengan terjadinya konflik sesama kafir. AS berseteru keras melawan Rusia, juga lawan Cina. Bagaimanapun hal ini akan memberi dampak pelemahan terhadap AS, sang penyokong setia “Israel”. Apalagi jika Timur Tengah juga memainkan peran dalam pelemahan ini, “Israel” akan makin kehilangan kekuatan.
Fase keempat: membebaskan Baitul Maqdis. Pembebasan Baitul Maqdis menjadi simbol kekalahan Yahudi dan Nasrani yang saat ini mencengkeram dunia. Baitul Maqdis ibarat panji perang, jika telah jatuh tak ada tangan yang bisa mengangkatnya, peperangan berakhir. Meski masih banyak tentara yang hidup.
Fase kelima: menegakkan hukum Allah dengan sempurna. Ujung dari seluruh fase ini adalah tegaknya kerajaan Allah di bumi sebagaimana tegak dengan sempurna di langit. Seorang khalifah tak lebih sebagai perdana menteri dan rajanya adalah Allah. Kekuasaan manusia tidak boleh menjadi oposisi terhadap kerajaan Allah. Fungsi inilah yang Allah inginkan dari bani Adam semenjak Allah menciptakan Adam dan mengumumkannya di hadapan malaikat. Karenanya disebut dengan istilah khalifah.
Suriah dan Agenda Penghentian Kezaliman
Afghanistan bisa dimaklumi jika langsung lompat ke fase terakhir, karena punya track record menyingkirkan dua raksasa terkuat dunia yaitu Uni Soviet dan Amerika. Penegakan syariat berbanding lurus dengan tingkat gangguan dari luar. Jika gangguan dari luar sudah bisa diatasi, tak ada alasan untuk menunda.
Suriah sama sekali berbeda dengan Afghanistan, sehingga akan menjadi bunuh diri jika meniru Afghanistan. Terdapat banyak sekali perbedaan karakter antara Afghanistan dengan Suriah. Perbedaan ini akan berimbas pada pilihan corak ideologis dalam menyelenggarakan kekuasaan kelak. Maksudnya, kadar Islam yang akan diterapkan kemungkinan besar tak akan sama dengan Afghanistan.
Kita sebagai penonton wajib tahu perbedaan ini, agar kita punya bekal permakluman jika nantinya setelah masa transisi selesai yaitu pada 1 Maret 2025 ternyata Suriah berbeda dengan Afghanistan.
Beberapa perbedaan itu misalnya:
Pertama, secara geografis Suriah berada di tengah-tengah wilayah yang paling panas di bumi. Punya irisan wilayah dengan “Israel”, Turki, Irak, Lebanon dan Yordania. Suriah menjadi wilayah penyangga bagi “Israel”, karenanya “Israel” sangat berkepentingan untuk menjinakkannya berapapun harga yang harus dibayar. Maknanya, jika Suriah memaksakan diri meniru Afghanistan, “Israel” dan sekutu loyalnya seperti AS dan Eropa pasti akan bertindak keras. Agenda penghentian kezaliman buyar, kembali ke fase terzalimi.
Kedua, kontur wilayahnya tidak seekstrim Afghan, dan tidak punya sejarah sebagai penakluk imperium. Sebaliknya Suriah menjadi wilayah strategis bagi banyak peradaban dunia yang menguasainya. Pernah menjadi wilayah penting bagi Romawi Timur. Pernah diikuasai Persia. Pernah ditaklukkan Mongol. Pernah menjadi ibukota Khilafah Bani Umayah. Dan khusus dalam konteks persaingan tiga agama yaitu Yahudi, Nsrani dan Islam, penguasaan Suriah selalu menjadi satu rangkaian dengan penguasaan Baitul Maqdis. Karenanya Suriah menjadi perebutan paling sengit sebelum menaklukkan Baitul Maqdis. Pilihan corak politik yang diambil harus mempertimbangkan ini semua.
Ketiga, musuh yang ditaklukkan mujahidin Suriah bukan negara adidaya, tapi hanya rezim Assad yang lebih merepresentasikan kekuatan lokal atau regional. Beda dengan Afghanistan, musuh yang disingkirkan adalah negara superpower, negara terkuat di bumi. Maknanya, jika Suriah ngotot dengan warna Islam yang pekat seperti Afghanistan, besar kemungkinan kekuatan adidaya akan hadir menghajarnya. Akhirnya hanya pindah dari pendudukan oleh rezim Assad menjadi pendudukan oleh negara yang lebih kuat. Kezaliman terhadap penduduk Suriah tak berhenti, hanya berganti wajah.
Keempat, agenda menegakkan hukum Allah secara penuh masih terlalu berat bagi Suriah untuk saat ini. Agenda ini akan menciptakan badai dahsyat yang menerpa dari luar. Beda dengan agenda menghilangkan kezaliman (seperti nama operasi yang dilancarkan HTS yang kemudian berbuah kemenangan ini, yaitu ردع العدوان yang bermakna menghentikan kezaliman). Agenda menghentikan kezaliman Bashar Assad terhadap rakyatnya sendiri justru melahirkan dukungan dari luar. Poin inilah yang agaknya menjadi titik pijakan posisi para pejuang Suriah. Bagian dari sikap dewasa dan bijak, tidak terburu-buru karena semua perlu proses dan tahapan.
Kelima, jika Suriah ngotot dengan agenda menegakkan kekuasaan Islam seperti Afghanistan, sementara sekelilingnya masih berada pada fase terjajah dan terzalimi, seperti Gaza dan Palestina, justru akan mengembalikan Suriah pada tahap yang sama. Sebab dunia luar pasti akan memanfaatkan sentimen anti Islam untuk menghajar Suriah dengan keras, dan itu artinya Suriah akan kembali ke fase terzalimi seperti Gaza, tak bisa beranjak ke fase berikutnya untuk menata diri lebih baik.
Keenam, fase penegakan kekuasaan Islam itu akan tiba pada waktunya, menunggu perubahan di sekelilingnya, seperti Mesir, Lebanon, Yordania dan lain-lain. Suriah tak akan mempu sendirian menahan badai yang datang jika belum ditemani Mesir, Lebanon dan negara-negara muslim tetangganya. Jika sekelilingnya masih seperti sekarang, yang dicengkeram rezim pro “Israel”, Suriah tak akan aman sendirian.
Ketujuh, di tengah perebutan keras terhadap Suriah dari negara-negara tetangga maupun dari negara-negara kuat yang jauh, Suriah lebih baik memainkan politik dan me-manage persaingan itu menjadi hal yang menguntungkan buat Suriah. Dibanding Suriah memaksakan diri berwarna Islam terlalu pekat, sehingga semuanya mengambil posisi memusuhi. Hal ini berbeda dengan Afghanistan, yang lebih pas menempatkan diri laksana batu karang karena memang faktanya kokoh bak batu karang.
Kedelapan, lokasi Afghanistan terpencil jauh dari panggung utama konflik (Baitul Maqdis) sehingga dianggap tidak memiliki pengaruh signifikan. Afghanistan seperti “anak nakal” tapi ada di luar rumah, tidak mengapa dibiarkan saja. Beda halnya dengan Suriah. Jika ia “nakal” pasti akan diborgol dan dipenjara karena pengaruhnya sangat kuat di dalam rumah.
Pelaksanaan Syariat Mengikuti Qudrah
Pelaksanaan syariat, baik individu maupun negara, mengikuti qudrah atau kemampuan. Seperti shalat, jika tak mampu berdiri, dilaksanakan dengan duduk. Jika tak mampu duduk, dilaksanakan dengan berbaring. Allah menilai kesungguhan niat dan kesetian hatinya, bukan gambar pelaksanaannya.
Demikian pula pelaksanaan syariat dalam konteks negara. Jika tekanan atau ancaman dari luar terlalu kuat dan secara kalkulasi tak mampu dihadapi oleh negara, pelaksanaan syariat disesuaikan dengan tingkat ancaman tersebut. Sholat yang tidak dipersoalkan oleh kekuatan luar, wajib dilaksanakan. Demikian pula dengan ibadah yang lain. Tapi hukum pidana yang menjadi sorotan dan akan menyebabkan perang, boleh ditunda atau diganti dengan yang lebih ringan asal tujuan di balik syariat itu tetap terlaksana. Misalnya, jika tujuannya adalah membuat orang takut dan jera, bisa dipilih bentuk lain yang tidak memicu perang dari luar.
Suriah baru agaknya akan menggunakan pendekatan seperti ini. Nama negaranya mungkin masih jumhuriyah bukan imarah islamiyah. Pemimpinnya bukan amir atau sultan atau khalifah tapi presiden. Hukum pidana yang berlaku disesuaikan dengan tujuan membuat jera. Ini semua demi melanggengkan agenda menghentikan kezaliman. Jangan sampai agenda ini gagal dipertahankan karena berkobar perang baru.
Tata Diri, Tunggu Momentum
Jika Suriah stabil dan keadilan bisa ditegakkan, bukankah ini menjadi waktu yang baik untuk menata diri? Pelajaran dari Shulhul Hudaibiyah adalah kondisi damai dan stabil karena gencatan senjata 10 tahun dengan Quraisy digunakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam untuk menyebarkan dakwah, membina ekonomi dan mendidik umat menjadi lebih baik. Hanya berselang tiga tahun kemudian Makkah berhasil dibebaskan.
Hal serupa semoga terjadi pada kasus Gaza, Palestina dan Baitul Maqdis. Ketika Suriah memilih kompromi sehingga bisa tercipta kondisi stabil dan damai, waktu yang tersedia bisa digunakan untuk memaksimalkan pengajaran Islam kepada masyarakat, menyebarkan dakwah, memajukan pendidikan, meningkatkan ekonomi, membangun kembali gedung-gedung yang runtuh.
Kelak ketika momentum pembebasan Baitul Maqdis tiba, umat Islam di Suriah sudah lebih siap. Selama periode menunggu ini, semoga Mesir juga berubah. Lebanon juga berubah. Saudi juga berubah. Sebaliknya “Israel” sudah makin lemah, Amerika jatuh dalam konflik internal, dan dunia kekafiran sedang saling terkam. Semua ini Allah yang atur, tugas kita hanya berusaha dan meniti jalan-Nya dengan sebaik mungkin. Hindari ghuluw, tergesa-gesa dan buruk sangka terhadap saudara seiman. Kita doakan saja semoga Allah memberi bimbingan kebijaksanaan, hikmah dan rahmat kepada para pemimpin Suriah baru dan kepada seluruh umat Islam.
Kabul dan Damaskus memang penampakan wajahnya tidak sama. Tapi keduanya merupakan cermin kedewasaan para pemimpinnya hasil asuhan Ilahi yang panjang. Kelak keduanya akan bersatu insyaallah ketika panggilan Ilahi sudah tiba; pembebasan Baitul Maqdis.