Oleh: Uqie Nai
Member Menulis Kreatif
Pemerintahan baru Prabowo Subianto mulai menunjukkan program-program kerjanya. Salah satunya adalah program pembangunan 3 juta rumah dengan target dua juta rumah di pedesaan dan satu juta sisanya di wilayah perkotaan. Sejumlah aset negara pun siap dimanfaatkan untuk pembangunan tersebut dibantu instansi dan kementerian terkait yakni Perum Perumnas dan Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP).
Direktur Utama Perum Perumnas, Budi Saddewa Soediro menyebut bahwa sebagai pengembang milik pemerintah, Perumnas siap mendukung dan membantu mengelola aset pemerintah secara optimal demi terwujudnya pembangunan 3 juta rumah yang diplorkan Presiden Prabowo.
Rencananya, pembangunan tersebut mencakup dua jenis hunian, yakni rumah tapak yang direncanakan untuk wilayah dengan ketersediaan lahan luas dan rumah vertikal, seperti apartemen serta rumah susun untuk wilayah perkotaan, seperti Kota Bekala di Medan, Talang Keramat di Palembang, dan Bontoa di Makassar. Di Kota Bekala, Perumnas akan bekerja sama dengan PTPN untuk memanfaatkan lahan seluas 241 hektare dari total 800 hektare tanah yang tersedia. Di Talang Keramat, area pengembangan mencakup sekitar 100 hektare, sementara di Bontoa sekitar 90 hektare. (Tempo.co, Ahad, 1/12/2024)
Kapitalisme Masih menjadi Asas Pilihan
Ketersediaan tempat tinggal atau rumah layak huni memang masih menjadi problematika masyarakat di samping masalah harga bahan pokok yang terus melambung dan tingginya pengangguran akibat PHK oleh sejumlah perusahaan. Wacana pembangunan rumah oleh Prabowo tentu saja akan menjadi angin segar bagi sebagian masyarakat dan apatisme dari sebagian yang lain dengan progran apapun dari pemerintah. Terlebih kabar pembangunan rumah yang dimaksud berupa rumah susun (rusun) dan apartemen.
Rumah susun dan apartemen kerap dijadikan solusi oleh pemerintah ketika lahan untuk tempat tinggal terbatas, sementara kebutuhan akan rumah ini cukup tinggi. Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo angkat suara soal program penyediaan rumah oleh Presiden Prabowo. Menurutnya ada sekitar 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak huni dan ada 27 juta keluarga yang tinggal di rumah tidak layak huni. Padahal, rumah yang tidak layak huni rentan menimbulkan persoalan stunting karena dianggap Hashim memiliki tingkat kesehatan yang rendah. Untuk itulah program pembangunan 3 juta rumah bukan semata menyediakan rumah layak huni bagi masyarakat tapi juga upaya mengatasi stunting. (Finance.detik.com, Rabu, 4/12/2024)
Negara adalah lembaga yang paling bertanggung jawab terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan serta keamanan. Meski realitasnya tanggung jawab ini belum sepenuhnya bisa diberikan oleh negara. Masyarakat “dipaksa” mencari jalan keluar sendiri untuk bertahan hidup dan menafkahi anggota keluarganya.
Mengingat bahwa kebutuhan asasi publik bukan hanya papan (rumah), maka program penyediaan 3 juta rumah oleh pemerintah bukan solusi final mewujudkan kesejahteraan masyarakat jika kebutuhan lainnya diabaikan. Jika pun tempat tinggal teratasi, maka tidak dengan masalah lainnya seperti uang sewa, pajak, biaya pendidikan, atau biaya kesehatan yang cukup mahal. Belum lagi dengan masalah dana pembangunan, dari mana negara memperolehnya kalau bukan dari utang? Maka sudah dipastikan beban utang itu kembali ditimpakan kepada rakyat, sedangkan keuntungan akan berkelindan di antara pejabat dan para kapitalis.
Oleh karena itu, suatu keniscayaan program-program yang dibuat pemerintah tak akan memperbaiki taraf hidup masyarakat apalagi menyejahterakan mereka. Selain landasannya kapitalisme, pemerintah tak ubahnya rezim populis otoritarian. Mengeklaim pro kepada rakyat tapi realitanya tidaklah demikian.
Jaminan Islam Terhadap Tempat Tinggal
Islam sebagai agama yang sempurna memilikimu solusi untuk setiap permasalahan kehidupan manusia berupa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Syariat Islam memiliki konsep yang berkaitan dengan jaminan tersedianya rumah (hunian yang layak) untuk masyarakat yang berlaku di setiap keadaan, baik dalam kondisi normal ataupun ketika terjadi wabah. Karena negara adalah pihak yang bertanggung jawab langsung dan menjamin pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi.
Negara akan menjamin ketersediaan rumah layak huni artinya pantas dihuni oleh manusia, nyaman, harganya terjangkau bahkan gratis, dan yang terpenting rumah itu sesuai syariat. Para penghuninya terhindar dari pandangan orang luar, memiliki ruang privat, auratnya terjaga dan negara tidak berperan sebagai regulator melainkan pengurus.
Terkait tanggung jawab tersebut Rasulullah saw. telah bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Al Bukhari)
Negara juga tidak dibenarkan mengalihkan tanggung jawabnya kepada operator, baik kepada pengembang maupun bank-bank yang nyata-nyata mencari untung dan bunga.
Untuk masalah pembiayaan pembangunan, negara dalam Islam tidak memiliki kesulitan mendapatkannya karena pos pendapatan negara dari berbagai sektor sangat melimpah, antara lain dari pos kharaj, ghanimah, fa’i, usyr; pos pengelolaan sumber daya alam; serta pos zakat. Masing-masing pos ini memiliki mekanisme pengeluaran dan peruntukan yang jelas. Zakat misalnya, pengeluaran diperuntukkan untuk para mustahik zakat (8 golongan) saja. Sumber daya alam dan energi untuk gaji pegawai negara, kebutuhan militer, atau infrastruktur publik.
Negara dalam Islam juga tidak dibenarkan menerapkan konsep pembangunan dan pengadaan perumahan dengan konsep KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha). Karena, antara lain akan menghilangkan kewenangan negara yang begitu penting dalam fungsinya sebagai pelayan umat.
Masyarakat miskin yang memiliki rumah tidak layak huni dan mengharuskan direnovasi, maka negara harus segera dan secara langsung melakukan renovasi agar menjadi layak, aman, dan nyaman. Rumah-rumah untuk masyarakat miskin juga bisa langsung dibangunkan oleh negara di atas lahan-lahan yang dimiliki negara. Bisa juga negara memberikan tanah miliknya secara gratis kepada masyarakat miskin untuk dibangun rumah.
Hal seperti itu dibenarkan syariat selama bertujuan untuk kemaslahatan kaum muslim. Di sisi lain, negara juga harus melarang penguasaan tanah oleh korporasi, karena hal itu akan menghalangi negara dalam proses penjaminan ketersediaan lahan untuk perumahan.
Hanya saja patut dicatat, bahwa penerapan konsep Islam ini hanya bisa terlaksana dalam sistem yang sahih, yaitu sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw. yang disebut al Khilafah. Sehingga jelaslah penyelesaian persoalan perumahan saat ini, khususnya dalam kondisi ekonomi kufur kapitalisme membutuhkan penerapan syariat secara kaffah.
Wallahu a’lam bissawab