DAMASKUS (arrahmah.id) — Kelompok perlawanan Suriah telah mengambil alih kekuasaan Suriah setelah rezim Bashar al Assad tumbang pada hari Ahad (8/12/2024) lalu.
Sejak itu, Israel meluncurkan invasi militer ke Suriah dengan mencaplok wilayah Dataran Tinggi Golan yang ditinggal lari pasukan rezim Assad.
Selain memperluas wilayah caplokannya di Dataran Tinggi Golan, militer Zionis juga sudah 480 kali membombardir situs-situs militer Suriah.
Dengan mengambil alih kekuasaan, kelompok perlawanan Suriah yang dipimpin Hai’ah Tahrir asy Syam (HTS) dan Tentara Pembebasan Suriah (SNA) semestinya juga berkuasa atas seluruh wilayah dan aset-aset milter yang ditinggalkan rezim Assad.
Lalu mengapa mereka diam saja ketika Israel menginvasi negara Arab tersebut?
Juru bicara HTS, Obeida Arnaout, bahkan enggan mengecam serangan udara dan invasi darat Israel ketika ditanya jurnalis Channel 4 Inggris (13/12).
Ketika diminta untuk mengomentari serangan dan penyerbuan Israel, Arnaout menjawab: “Prioritas kami adalah memulihkan keamanan dan layanan, menghidupkan kembali kehidupan dan lembaga sipil, dan merawat kota-kota yang baru dibebaskan.”
“Ada banyak bagian mendesak dari kehidupan sehari-hari yang harus dipulihkan: toko roti, listrik, air, komunikasi, jadi prioritas kami adalah menyediakan layanan tersebut kepada masyarakat,” katanya.
Namun, jurnalis itu terus mendesak Arnaout tentang invasi Israel ke Suriah. ”Saya mengerti itu bukan prioritas Anda, tetapi apakah Anda dengan jujur mengatakan kepada saya bahwa Anda tidak memiliki apa pun untuk dikatakan tentang serangan Israel, situs-situs di negara ini?” tanya jurnalis tersebut.
Jangan ragu, kami ingin semua orang menghormati kedaulatan Suriah yang baru. Hal ini sangat penting bagi kami,” jawab Arnaout, yang tetap enggan menyebut Israel secara langsung, seperti dikutip dari Russia Today (13/12/2024).
Beberapa laporan media sebelumnya mengeklaim bahwa pemimpin HTS Abu Mohammad al Jaulani telah mengatakan bahwa kelompok itu tidak berencana untuk melibatkan Israel di medan perang, karena Suriah saat ini belum siap untuk konflik lainnya.
Pada hari Ahad, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeklaim bahwa jatuhnya pemerintahan Assad merupakan akibat langsung dari kampanye militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) terhadap dua sekutu utama Damaskus; Hizbullah dan Iran. Dia memuji perubahan rezim di Suriah, menyebutnya sebagai “hari bersejarah dalam sejarah Timur Tengah.”
Menteri Pertahanan Israel Israel Katz mengatakan tujuan serangan udara dan invasi darat IDF ke Suriah adalah untuk menciptakan “zona pertahanan steril” yang akan “mencegah pembentukan dan pengorganisasian teror di Suriah” setelah pasukan oposisi mengambil alih kekuasaan di negara itu dalam serangan cepat.
(hanoum/arrahmah.id)