(Arrahmah.id) – Perjalanan seorang pejuang tidak hanya diukur dari awal langkahnya, tetapi juga bagaimana ia mengubah arah perjuangannya di tengah badai ujian. Abu Muhammad al-Jaulani, seorang tokoh sentral jihad di Suriah, telah melalui transformasi besar. Dari seragam militer hingga jas resmi, dari Jabhah Nusrah hingga Hai’ah Tahrir Syam (HTS), ia menjadi simbol jihad modern yang mencoba mengintegrasikan perjuangan bersenjata dengan strategi politik.
Suriah, 2011: Awal Revolusi
Ketika revolusi melawan rezim Bashar al-Assad meletus, Suriah berubah menjadi ladang konflik yang melibatkan berbagai faksi dan ideologi. Di tengah kekacauan ini, muncul tokoh misterius bernama Abu Muhammad al-Jaulani. Sebagai utusan Al-Qaeda, ia memiliki misi yang jelas: memperkuat perjuangan melawan tirani di Suriah.
Latar Belakang Abu Muhammad al-Jaulani
Nama aslinya adalah Ahmad al-Shara, lahir pada 1982 di Riyadh, Arab Saudi, dari keluarga asal Quneitra, Suriah. Ayahnya, Hussein al-Shara, seorang nasionalis Arab, dan ibunya, seorang guru geografi, membesarkannya dalam lingkungan akademik. Namun, semangat jihad membawanya memilih jalan berbeda.
Pada 2003, setelah invasi Amerika ke Irak, al-Jaulani mulai mendengarkan khutbah Syaikh Abu al-Qaqa rahimahullah, seorang ulama yang menyerukan jihad melawan penjajah. Tak lama kemudian, ia bergabung dengan Syaikh Abu Musab al-Zarqawi rahimahullah, pemimpin Al-Qaeda di Irak, di mana ia mendapatkan kepercayaan untuk melatih kelompok-kelompok mujahidin.
Cobaan di Penjara Amerika
Pada 2006, al-Jaulani ditangkap oleh pasukan Amerika dan dipenjara di Abu Ghraib dan Camp Bucca selama lima tahun. Di penjara ini, ia bertemu dengan tokoh-tokoh jihad besar yang memperdalam pemahamannya tentang strategi dan politik jihad. Penjara ini menjadi “universitas jihad” yang mengasah visi dan misinya.
Kembali ke Suriah: Membangun Jabhah Nusrah
Setelah pembebasannya, revolusi Suriah pada 2011 menjadi kesempatan bagi al-Jaulani untuk melanjutkan perjuangan. Dengan izin Abu Bakr al-Baghdadi, ia mendirikan Jabhah Nusrah sebagai cabang Al-Qaeda di Suriah. Dalam waktu singkat, Jabhah Nushrah menjadi kekuatan signifikan, memimpin serangan-serangan taktis melawan rezim Assad dan menarik simpati rakyat Suriah.
Namun, pada 2013, konflik dengan ISIS meletus ketika al-Baghdadi mengumumkan penggabungan Nusrah dengan ISIS. Al-Jaulani menolak sumpah setia kepada al-Baghdadi dan memperbarui loyalitasnya kepada Syaikh Ayman al-Zawahiri rahimahullah, pemimpin Al-Qaeda pusat. Langkah ini memperkokoh posisi al-Jaulani sebagai pemimpin jihad yang mandiri di Suriah.
Transformasi Menuju Politik: Pembentukan HTS
Pada 2016, al-Jaulani memutuskan hubungan resmi dengan Al-Qaeda dan mengubah nama Jabhah Nusrah menjadi Jabhah Fatah Syam. Langkah ini dimaksudkan untuk menghilangkan stigma ekstremisme global dan fokus pada perjuangan lokal di Suriah.
Setahun kemudian, ia mendirikan Hai’ah Tahrir Syam (HTS), menggabungkan berbagai faksi jihad dan oposisi di Suriah. HTS menjadi kekuatan dominan di Idlib, mengontrol wilayah luas dan membentuk Pemerintah Penyelamatan Suriah untuk mengelola kebutuhan masyarakat.
Al-Jaulani juga mulai tampil berbeda. Dari seorang komandan bersenjata, ia kini sering muncul dengan jas resmi, berbicara tentang ekonomi dan pembangunan. Namun, semangat jihad tetap menjadi dasar perjuangannya.
Konflik Internal dan Tantangan Eksternal
HTS menghadapi tantangan dari kelompok saingan seperti Hurras al-Din, cabang baru Al-Qaeda di Suriah, serta sel-sel ISIS yang masih aktif. Al-Jaulani melancarkan serangan terhadap kelompok-kelompok ini untuk mempertahankan stabilitas di wilayahnya.
Di sisi lain, HTS menghadapi tekanan internasional yang terus menganggapnya sebagai organisasi teroris. Meski demikian, al-Jaulani terus berupaya mengubah citra HTS menjadi gerakan nasional yang berfokus pada rakyat Suriah.
Warisan Syaikh Pendahulu
Jejak perjuangan al-Jaulani tidak terlepas dari pengaruh para pendahulunya, seperti Syaikh Usamah bin Laden rahimahullah, Syaikh Ayman al-Zawahiri rahimahullah, dan Syaikh Abu Musab al-Zarqawi rahimahullah. Ia melanjutkan visi mereka dengan pendekatan yang relevan untuk konteks Suriah, menjadikan jihad sebagai alat perjuangan politik sekaligus perlindungan rakyat.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Kemenangan
Transformasi Abu Muhammad al-Jaulani dari seorang militan bersenjata menjadi pemimpin politik menunjukkan kemampuan adaptasinya di tengah tantangan. Dari bayangan revolusi hingga memimpin wilayah yang luas, ia tetap berpegang pada visinya: melindungi umat Islam dari kezaliman dan membangun masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam.
Meski penuh kontroversi, nama al-Jaulani akan tercatat dalam sejarah jihad modern sebagai tokoh yang menginspirasi perjuangan dan menunjukkan bagaimana strategi, kepemimpinan, dan visi dapat mengubah arah konflik di tengah tekanan global.
(Mjar/Arrahmah.id)