GAZA (Arrahmah.id) – Selama 400 hari genosida ‘Israel’ yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, nama Mahmoud Al-Madhoun muncul, ia termasuk yang menolak pemindahan paksa dan evakuasi yang diberlakukan oleh tentara pendudukan ‘Israel’ dan bersikeras untuk tetap tinggal untuk mendukung rakyat Gaza utara dalam menghadapi pembersihan etnis.
Al-Madhoun syahid dalam serangan ‘Israel’ di Beit Lahia yang menargetkan kendaraan milik Central World Kitchen pada Sabtu malam (30/11/2024), saat pendiri Gaza Soup Kitchen ini melakukan kunjungan rutin ke Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara, tempat ia memberi makan orang-orang terlantar yang mencari perlindungan.
Al-Madhoun, yang berusia tiga puluhan, menjadi sumber harapan bagi warga Gaza Utara, ia mencurahkan seluruh kemampuannya untuk membantu rakyat di wilayahnya menyediakan makanan, melalui inisiatif individu mengingat pembunuhan dan pengepungan ‘Israel’ yang intens.
Palestinian chef and co-founder of the Gaza Soup Kitchen, Mahmoud al-Madhoun, was targeted and killed by an Israeli drone strike.
He was able to feed over 3,000 people a day in Gaza. pic.twitter.com/eccTHa1DCM— Ryan Rozbiani (@RyanRozbiani) December 2, 2024
Pada Februari, Al-Madhoun memutuskan untuk memulai Gaza Soup Kitchen menggunakan apa pun yang bisa ia dapatkan karena hampir tidak ada bantuan yang memasuki wilayah tersebut, ketika Anera dan World Central Kitchen menghentikan operasinya setelah serangan ‘Israel’ menargetkan konvoi mereka,
Pada hari pertama mereka, koki Palestina ini dan timnya yang sebagian besar terdiri dari anggota keluarga memberi makan 120 orang pengungsi.
Sejak itu ia telah memberi makan lebih dari 3.000 orang setiap hari melalui Gaza Soup Kitchen, sebagian besar menyajikan semur sayuran tradisional untuk mengatasi tindakan ‘Israel’ yang sengaja membuat ratusan ribu warga Palestina terlantar yang memilih untuk tetap tinggal di Gaza utara.
Al-Madhoun bekerja bersama petani lokal yang memanen tanaman mereka di bawah ancaman terus-menerus dari pasukan ‘Israel’ dan menggunakan sayuran musiman dalam supnya.
Dalam sebuah opini untuk Washington Post pada April, Al-Madhoun menulis bahwa ia dan keluarganya akan memberi makan tetangga mereka selama mereka bisa.
“Kami akan terus mengabdi pada masyarakat kami, mengingat bahwa ketika semua hal telah gagal bagi rakyat Palestina, namun tanah kami tidak akan gagal,” tulis Al-Madhoun.
Koki tersebut meninggalkan tujuh orang anak, yang termuda baru berusia dua pekan dan yang tertua baru pulih dari cedera yang disebabkan oleh quadcopter ‘Israel’.
Al-Madhoun juga berkontribusi menyediakan sarana komunikasi bagi mereka yang terkepung untuk berkomunikasi dengan keluarga mereka di luar Gaza utara, menurut apa yang dilaporkan warga Palestina.
Al-Madhoun menyediakan internet bagi sejumlah aktivis di Gaza utara agar bisa menyiarkan genosida ‘Israel’ ke seluruh dunia, dan rumahnya menjadi tempat berlindung bagi mereka untuk mendokumentasikan kejahatan ‘Israel’ melalui foto dan video.
Pos kesehatan dalam “Proyek Beit Lahia” juga merupakan salah satu kontribusi Al-Madhoun yang paling menonjol selama invasi ‘Israel’ baru-baru ini ke Gaza utara, yang telah berlangsung sejak 5 Oktober 2024, pada saat semua rumah sakit dan fasilitas medis tidak beroperasi.
Al-Madhoun mendokumentasikan, melalui akun Facebook dan Instagram-nya, saat menyediakan makanan bagi para pengungsi selama perang, seperti yang terlihat dalam salah satu klip yang mengonfirmasi kehadirannya di Gaza utara untuk membantu penduduk tanpa mundur.
Today, the “civilized liberal democracies” provided Israel with the bullet that assassinated Chef Mahmoud. His family established the Gaza Soup Kitchen. He did everything he could to ensure communities in Gaza had access to food and water. His crime was feeding innocent children. pic.twitter.com/ikx3Klnm2a
— 🅰pocalypsis 🅰pocalypseos 🇷🇺 🇨🇳 🅉 (@apocalypseos) December 1, 2024
Berita duka yang menyebar
Begitu berita tentang kesyahidannya menyebar, para aktivis Palestina di platform media sosial berduka atas kesyahidan Mahmoud Al-Madhoun, dan memuji kegigihannya untuk tetap tinggal di utara guna memerangi kelaparan dengan mengoordinasikan dapur umum.
Tim relawan “Ahl Gaza” mengumumkan dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (30/11) bahwa Mahmoud Al-Madhoun syahid dalam serangan ‘Israel’, menekankan bahwa sang syuhada adalah salah satu orang pertama yang berkontribusi dan membantu dalam menyelesaikan operasi terakhir di Rumah Sakit Kamal Adwan yang terkepung, dengan menyiapkan makanan dan mendistribusikannya kepada para dokter, pasien, dan yang terluka.
Central World Kitchen juga menyampaikan kesedihannya dalam sebuah pernyataan atas kesyahidan tiga karyawannya di Gaza dalam serangan udara ‘Israel’ yang menargetkan tim relawan tersebut. Mereka juga mengumumkan penangguhan sementara operasinya di Gaza hingga informasi lebih lanjut diketahui tentang rincian insiden tersebut.
Hani Al-Madhoun, saudara dari Mahmoud Al-Madhoun, mengatakan bahwa ‘Israel’ sengaja menargetkannya, dan menambahkan dalam sebuah unggahan di Facebook, “Kehilangannya adalah pengingat akan kekejaman luar biasa yang kita hadapi. Semoga kenangannya tetap hidup sebagai kesaksian keteguhan, dan mungkin kita akan menemukan kekuatan dalam mengenangnya untuk melanjutkan perjuangan demi keadilan.”
"My brother slowed down the ethnic cleansing of north Gaza, and that's why he was taken out."
We mourn Mahmoud Almadhoun, who co-founded and helped run the Gaza Soup Kitchen, feeding Palestinians during Israel's brutal blockade. He was "targeted and assassinated" this weekend. pic.twitter.com/pUh7FDMb0g
— Democracy Now! (@democracynow) December 2, 2024
“Chef Mahmoud bekerja tanpa lelah dan penuh semangat di tengah genosida untuk memberi makan sebanyak mungkin orang, bahkan membuat tempat penampungan untuk pendidikan dan perawatan medis, dan menemukan sumber daya dalam kondisi yang tak terbayangkan,” kata aktivis Lisa Jakes, mengecam penargetan aktivis hak asasi manusia oleh pendudukan di tengah keheningan global. (zarahamala/arrahmah.id)