(Arrahmah.id) – Indonesia ke depan, dapat diprediksi melalui pemenang Pilkada 2024. Skenario jahat dinasti oligarki sukses meraih kemenangan, karena sebagian besar pemilih adalah penadah bansos, penikmat judol, dan penyuka pinjol. Sebagian pemilih lainnya adalah oposisi setan bisu, dan mereka yang bersikap apatis.
Mukidi adalah kita, kata buzzer.
Mulyono adalah kita, kata partai coklat.
Jainudin adalah kita, kata Ulama su’ dan Ubaru fasik.
Wiwi adalah kita, kata aseng.
Betapa lengkap antek pendukungnya, karenanya mereka kuat dan menang di Pilkada serentak tahun ini.
Sebaliknya, para oposan tidak menampakkan diri. Seperti kucing menunggu ikan asin. Mereka keras bertengkar bila ada jamaah lain yang tidak sejalan, tapi diam saja melihat kecurangan.
Ada yang mencari jalan mudah beramar makruf, berbuat kebaikan. Tapi ogah, alias tidak mau bersusah payah bernahi mungkar, mencegah kebathilan.
Dan yang mengerikan, ada di antara parpol yang bekerjasama dalam kejahatan. Memanfaat kerusakan sistem untuk kepentingan golongannya, akibat tergiur “ghanimah” menteri. Di Jabar, kemenangan salah satu cagub, malah dianggap mempecundangi politik agama.
Malapetaka kemanusian seperti perang dunia, genosida di Palestina, invasi dll bukan karena hebatnya para penjahat, karena penjahat itu sebenarnya tidak lebih hanya 2% dari penduduk.
Akan tetapi malapetaka kemanusiaan terjadi, akibat kebanyakan orang baik bersikap apatis, tidak peduli atau diam. Mengapa? Karena mayoritas tokoh pengecut, terutama kaum agamawan, mereka memilih jadi SETAN BISU.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata : “Orang yang berdiam diri dari menyampaikan kebenaran (padahal ia mampu melakukannya) adalah Syaithon Akhros (Setan Bisu dari jenis manusia).”
Kerjasama Kejahatan
Ibnu Taimiyah dalam karya monumentalnya, Majmu’ al-Fatawa, juga menjelaskan dengan tegas bahwa tolong-menolong dalam hal dosa dan pelanggaran adalah haram. Ia menyebutkan bahwa segala bentuk kerjasama yang mendorong atau mempermudah terjadinya kejahatan, maksiat, termasuk dalam dosa yang sama dengan pelaku utamanya.
Meskipun seseorang tidak melakukan kejahatan secara langsung, jika ia membantu, mendukung, atau bahkan sekadar memfasilitasi perbuatan jahat, maka ia turut menanggung dosa yang sama.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa setiap muslim harus berhati-hati dalam memilih bentuk kerjasama, karena Islam mengajarkan untuk selalu menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat mendatangkan murka Allah Swt.
Sementara itu, Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ juga memberikan pandangan yang senada. Beliau menjelaskan bahwa setiap bentuk partisipasi dalam dosa, baik itu melalui bantuan fisik, dukungan moral, atau bahkan dengan memberikan ruang dan kesempatan bagi orang lain untuk berbuat jahat dan maksiat, adalah haram.
Imam Nawawi mengingatkan bahwa Islam tidak hanya mengharamkan perbuatan dosa, tetapi juga semua bentuk kontribusi yang menyebabkan terjadinya dosa tersebut. Menurutnya, seorang muslim yang paham akan ajaran Islam seharusnya mampu menahan diri dari semua bentuk keterlibatan dalam maksiat, meskipun hanya sekadar kata-kata atau sikap yang mendukung.
Dalam kehidupan sehari-hari, peringatan dari kedua ulama besar ini menjadi pegangan penting bagi seorang muslim. Seringkali kita terjebak dalam situasi dimana tanpa sadar kita memberikan dukungan kepada sesuatu yang salah, baik itu melalui tindakan langsung atau hanya sekadar membiarkan tanpa upaya pencegahan. Dalam perspektif Ibnu Taimiyah dan Imam Nawawi, sikap seperti ini sama beratnya dengan melakukan maksiat itu sendiri.
Yogyakarta, 28/11/2024
(ameera/arrahmah.id)