Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
Pengentasan kemiskinan menjadi salah satu agenda pemerintah, sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brazil, 18-19 November, “Kita semua memiliki komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kelaparan. G20 harus menghasilkan Tindakan nyata untuk membantu mencapai SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan)”. (Antaranews.com/22/11/2024)
Selain itu, presiden juga mengatakan, “Saya percaya pendidikan akan membawa kita keluar dari kemiskinan. Program makanan gratis untuk anak-anak juga menjadi bagian dari strategi kami untuk memastikan generasi muda mendapatkan manfaat pendidikan,” ungkap presiden.
Kemiskinan di negeri ini memang masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Disampaikan oleh Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar, bahwa sektor pertanian menjadi penyumbang kemiskinan terbesar di Indonesia. Menurut data yang dirilis BPS, persentase penduduk miskin ekstrem yang bekerja di sektor pertanian ada sebanyak 47,94 persen dari total penduduk miskin. Dari total persentase tersebut, 24,49 persen di antaranya merupakan pekerja keluarga atau tidak dibayar dan 22,53 persen lainnya bertani dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar. (Tirto.id/22/11/2024)
Kemiskinan: Buah Sistem Rusak
Jika kita menelisik lebih dalam tentang suburnya kemiskinan di negeri ini, tentu saja bukan sekadar faktor pendidikan, melainkan lebih fundamental dari itu, yakni sistem kehidupan rusak yang diterapkan di negeri ini, termasuk sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi oleh negara. Ya, sistem ekonomi kapitalisme tidak mampu menciptakan pemerataan dalam distribusi kekayaan di tengah masyarakat. SIstem ini hanya berkutat seputar peningkatan produksi barang dan jasa, namun gagal mendistribuskannya ke semua lapisan masyarat secara merata. Betapa tidak, dalam persoalan distribusi, sistem kapitalisme menerapkan prinsip hukum rimba, alhasil yang berduitlah yang hanya mampu memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan.
Negara dalam sistem kapitalisme juga bertindak sebatas regulator, bukan penyedia layanan itu sendiri. Negara memberi ruang kepada pihak swasta untuk menguasai setiap sektor layanan publik, termasuk sumber daya alam. Akibatnya, rakyat diposisikan sebagai pembeli di negaranya sendiri. Komersialisasi di segala bidang kehidupan sungguh sangat nyata kita rasakan. Berbagai kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan dan kesehatan dijadikan lahan bisnis, sehingga rakyat harus membayar mahal kebutuhan tersebut. Tak hanya itu, harga-harga kebutuhan pokok juga kian tak terjangkau rakyat jelata, karena motif penyediaannya adalah keuntungan materi. Para pemilik modal diberikan karpet merah untuk menguasai sumber daya alam di negeri ini, termasuk pertanian, pertambangan, dan perumahan. Inilah konsep sistem ekonomi kapitalisme yang jelas-jelas hanya berpihak kepada para pemilik modal, rakyat dijadikan objek bisnis untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka wajar jika kemiskinan terus meningkat, karena negara memiliki peran yang sangat minimalis dalam melayani rakyatnya.
Sangat mengherankan pula jika dinyatakan oleh BPS bahwa kemiskinan ekstrem paling banyak berasal dari sektor pertanian, padahal negeri kita adalah negeri agraris. Tanah kita subur, gemah Ripah loh jinawi. Tapi mengapa para pekerja di sektor pertanian justru paling miskin? Ini tak lepas dari dibukanya lebar-lebar keran impor bagi barang-barang pertanian. Akibatnya, produk pertanian di negeri ini tidak kuat bersaing di pasaran dengan barang-barang impor tadi. Petani pun merugi dan jauh dari sejahtera. Sungguh memprihatinkan!
Privatisasi SDA, Haram!
Dalam pandangan Islam, kekayaan alam yang depositnya melimpah haram dikuasai oleh swasta atau segelintir orang. Karena hakikatnya, itu merupakan harta kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Yang dimaksud api dalam hadis tersebut adalah minyak bumi dan gas, termasuk juga sumber energi yang tidak dapat diperbarui yakni batu bara dan nuklir. Sedangkan, air dalam hadis di atas meliputi, sungai, laut, danau, mata air, dll. Adapun padang rumput juga meliputi hutan, padang gembalaan, dll. Semua itu haram hukumnya diprivatisasi oleh negara demi kepentingan pihak swasta, karena hakikatnya semua itu merupakan kepemilikan umum. Negara wajib mengelolanya secara mandiri, lalu hasil dari pengelolaan tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat.
Itulah yang menjadi salah satu pendapatan terbesar negara ketika sistem Islam diterapkan dalam naungan Khilafah Islamiyah. Baitulmal, lembaga penyimpanan harta negara, memiliki pos-pos pemasukan, di antaranya yang terbesar adalah dari pos pengelolaan harta kepemilikan umum. Namun, hari ini, saat Islam tidak dijadikan pengatur kehidupan, harta kepemilikan umum diobral kepada asing, akibatnya negara mengumpulkan pemasukan dari menarik pajak kepada rakyat. Sudahlah segala kebutuhan rakyat dibisniskan, negara masih menarik pajak pula dari rakyatnya. Miris! Sungguh kezaliman yang nyata.
Kembali kepada Islam, Rakyat Sejahtera
Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Allah telah menurunkan Islam kepada manusia sebagai sistem kehidupan yang pasti membawa kebaikan dan keberkahan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, disingkirkannya Islam dalam mengatur kehidupan manusia hanya akan menciptakan kerusakan dan kesengsaraan hidup. Akal manusia yang lemah dan terbatas, tidak mampu menyelesaikan problem-problem kehidupan yang kompleks ini dengan tepat. Sungguh kita harus kembali kepada aturan Islam yang sudah pasti mampu menjadi problem solver bagi problematika umat. Sebab Allah, Sang Pencipta manusia dan alam semesta inilah yang menetapkan semua aturannya. Maka, sudah pasti antigagal.
Allah Swt berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Al-Maidah:50)
Sistem ekonomi Islam akan memperhatikan persoalan distribusi kekayaan di tengah masyarakat, sehingga tak hanya orang kaya saja yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara layak. Karena negara dalam sistem Islam akan berperan sebagai raa’in yakni pemelihara urusan rakyatnya secara mutlak. Jadi, bukan sebatas regulator yang menghubungkan antara pengusaha dengan rakyatnya. Negara akan memastikan seluruh rakyatnya terpenuhi kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, negara akan bersungguh-sungguh mengelola kekayaan alam berdasarkan prinsip-prinsip syariat, tidak menjualnya kepada asing demi keuntungan pribadi. Negara akan menjamin terciptanya kesejahteraan di tengah masyarakat, yakni dengan memastikan semua rakyatnya tercukupi kebutuhan pokoknya secara layak, yakni meliputi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Inilah keagungan sistem Islam yang khas, tegak di atas asas ketakwaan kepada Allah Swt. Penguasa yang diamanahi tanggung jawab menjalankan roda pemerintahan pun bekerja atas nama pengabdian, bukan mencari kekayaan dan keuntungan pribadi. Mereka akan menjalani tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh karena takut akan hisabnya di Yaumil Akhir. Semua itu tercermin dalam sistem pemerintahan Islam yang pernah tegak memimpin dunia 1300 tahun lamanya. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa hanya kembali kepada Islam lah, kemiskinan akan dapat diatasi dari akarnya, bukan sebatas ilusi yang terus disuarakan dari satu forum ke forum lainnya. Wallahu’alam bis shawab