JAKARTA (Arrahmah.id) – Psikolog klinis Universitas Indonesia, A. Kasandra Putranto, menyerukan perlunya regulasi tegas terkait penggunaan gawai pada anak-anak menyusul terungkapnya 80 ribu kasus judi online (judol) yang melibatkan anak.
Menurutnya, penyalahgunaan gawai selama pandemi menjadi akar dari adiksi ini dan harus segera dievaluasi oleh pemerintah serta keluarga.
“Selama dua tahun pandemi, anak-anak kita hidup hanya dengan gawai dan kehilangan masa kecil mereka. Ini harus menjadi bahan evaluasi serius,” ujar Kasandra dikutip dari Antara, Jumat (22/11).
Kasandra menilai melarang anak-anak menggunakan gawai sepenuhnya bukanlah solusi efektif untuk mengatasi persoalan adiksi judi online. Sebaliknya, ia mendorong adanya regulasi yang jelas terkait batasan penggunaan gawai sesuai usia, serta kontrol lebih ketat terhadap akses internet dan media sosial bagi anak.
“Pemerintah harus menetapkan batasan usia bagi pengguna internet dan media sosial, seperti yang dilakukan di Korea Utara dan Australia. Selain itu, kerja sama dengan penyedia media sosial dan gim juga penting untuk menerapkan kebijakan yang melindungi anak-anak,” tambahnya.
Kasandra memperingatkan bahwa judi online dapat memberikan dampak psikologis dan sosial yang serius. Anak-anak dan remaja yang terjerat biasanya mengalami kesulitan mengendalikan diri, yang berujung pada gangguan kecemasan, depresi, hingga perilaku agresif.
“Pelaku judi online cenderung kehilangan kendali terhadap keuangan. Mereka menghabiskan dana simpanan atau alokasi lain untuk berjudi, yang akhirnya memicu masalah kriminal,” jelasnya.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa remaja berusia 12 hingga 18 tahun adalah kelompok yang paling rentan, dengan hampir dua pertiga dari mereka pernah berjudi dalam setahun terakhir. Bermain judi di usia muda, lanjutnya, meningkatkan risiko tekanan psikologis dan masalah di masa depan.
Kasandra mengusulkan agar pemerintah membuat kesepakatan dengan platform digital untuk menaikkan batas usia pengguna gim dan media sosial. Selain itu, pemerintah perlu memblokir konten negatif yang dapat diakses anak-anak.
Ia juga menekankan pentingnya psikoedukasi melalui televisi sebagai pusat informasi masyarakat. Media ini, katanya, bisa digunakan untuk menyediakan program edukasi yang menyenangkan, sekaligus mendukung pengembangan hobi dan kreativitas anak.
“Jika energi anak tidak tersalurkan karena orang tua sibuk, mereka akan mencari kesenangan instan seperti bermain gim atau judi online,” kata Kasandra.
Sebagai perbandingan, Pemerintah Inggris telah menerapkan panduan pembatasan penggunaan gawai selama siswa berada di sekolah. Sementara itu, Prancis sejak September 2024 tengah menguji larangan penggunaan gawai bagi siswa di bawah usia 15 tahun di 200 sekolah.
“Langkah serupa dapat diterapkan di Indonesia untuk mengurangi dampak buruk penyalahgunaan gawai pada anak-anak. Namun, semua pihak—pemerintah, keluarga, dan masyarakat—harus bekerja sama,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)