(Arrahmah.id) – Usai dilantik sebagai Presiden RI ke-8 periode 2024-2029, Presiden Prabowo Subianto membacakan pidato konstitusionalnya di hadapan Sidang Paripurna MPR RI, di Gedung Nusantara MPR-DPD-DPR RI, Senayan, Jakarta, pada hari Minggu 20 Oktober 2024 pagi.
Dalam pidato perdananya, Prabowo bersumpah untuk memimpin Indonesia dengan penuh tanggung jawab, berbakti kepada negara dan bangsa, serta mengutamakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
“Saudara-saudara, beberapa saat yang lalu di hadapan majelis yang terhormat ini, di hadapan seluruh rakyat Indonesia, dan yang terpenting di hadapan Tuhan yang Maha Esa Allah SWT, saya Prabowo Subianto dan saudara Gibran Rakabuming Raka telah mengucapkan sumpah untuk mempertahankan UUD kita, untuk menjalankan semua UU dan peraturan yang berlaku untuk berbakti pada negara dan bangsa. Sumpah tersebut akan kami jalankan dengan sebaik-baiknya.
Kami akan menjalankan kepemimpinan pemerintah RI, kepemimpinan negara dan bangsa Indonesia dengan tulus dengan mengutamakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, termasuk mereka yang tidak memilih kami. Kami akan mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia di atas segala golongan apalagi kepentingan pribadi kami,” janjinya.
Menyimak pidato Prabowo, yang disarikan dari laman publikasi Kementerian Sekretariat Negara RI, mantan komjen Kopasus itu menyampaikan dua hal penting:
Pertama, bertekad merawat demokrasi, yang berarti menjaga dan memperkuat sistem pemerintahan yang demokratis, di mana hak-hak rakyat dihormati, termasuk kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam proses politik.
“Kita menghendaki kehidupan demokrasi. Tapi marilah kita sadar bahwa demokrasi kita harus demokrasi yang khas untuk Indonesia, yang cocok untuk bangsa kita, demokrasi yang berasal dari sejarah dan budaya kita. Demokrasi kita harus demokrasi yang santun, demokrasi di mana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan. Demokrasi di mana mengoreksi harus tanpa caci maki, bertarung tanpa membenci, bertanding tanpa berbuat curang. Demokrasi kita harus demokrasi yang menghindari kekerasan, adu domba, hasut menghasut. Harus yang sejuk, demokrasi yang damai, demokrasi yang menghindari kemunafikan.”
Kedua, membangun bangsa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
“Hanya dengan persatuan dan kerja sama kita akan mencapai cita-cita para leluhur bangsa yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo, bangsa yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Bangsa yang di mana rakyat cukup sandang, pangan, papan. Cita-cita kita adalah melihat wong cilik iso gemuyu, wong cilik bisa senyum, bisa tertawa,” ucap Prabowo Subianto dengan nada retoris.
BALDAH THAYYIBAH
Tidak ada yang mengira, narasi Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan keluar dari lisan Presiden RI ke-8 ini, dalam sebuah pidato politik resmi kenegaraan. Narasi religius yang disitir Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya, merupakan frasa dari Al-Qurán yang secara harfiah berarti “negeri yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun.”
Frasa ini merujuk firman Allah Swt, yang terdapat pada potongan akhir ayat Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 15.
كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ
“…Diperintahkan kepada kaum Saba’ : “Makanlah sebagian rezeki dari Tuhan kalian. Taatlah kalian kepada Allah. Negeri kalian adalah sebuah negeri yang makmur. Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Pengampun.” (Qs. Saba’[34] : 15)
Ayat ini menggambarkan sebuah negara yang baik, aman, sentosa, makmur dan murah rezki. Masyarakat yang taat kepada Allah, sehingga mendapat ampunan dan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Ini bisa dipahami sebagai visi atau cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.
Dalam khazanah sejarah politik kekuasaan di Indonesia, Partai Masyumi, juga mengusung konsep Baldah Thayyibah (Negara yang Baik) ini. Sayangnya, partai ini tidak bertahan lama akibat konflik politik di bawah rezim demokrasi terpimpin Soekarno.
Bagaimanakah gambaran baldah thayyibah (negara yang baik) itu? Sebuah makalah berjudul: “Membangun Baldah Thayyibah yang Bebas dari Kemiskinan dan Kejahatan Sosial,” karya Amir Majelis Mujahidin Al-Ustadz Drs. Muhammad Thalib, menyatakan bahwa Konsep membangun Baldah Thayyibah terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : Individu (pribadi) shalih/shalihah, Keluarga sakinah, Masyarakat marhamah dan Pemimpin amanah. Mari kita bahas secara singkat satu per satu:
- Individu Shalih: Ini merujuk pada pribadi yang memiliki akhlak mulia, berintegritas, dan taat menjalankan ajaran agama dengan benar. Sebagai anggota masyarakat marhamah dan calon pemimpin amanah, pribadi shaleh harus disiapkan melalui pendidikan.
-
Keluarga Sakinah: Keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, dan saling mendukung. Keluarga adalah unit terkecil masyarakat, apabila keluarga kuat, solid, dan harmonis, akan memberikan dampak positif pada masyarakat secara keseluruhan. Untuk membangun ketahanan masyarakat dimulai dari keluarga.
-
Masyarakat Marhamah: Komunitas yang penuh kasih sayang, tolong-menolong, dan peduli terhadap sesama warga negara. Dalam masyarakat seperti ini, nilai-nilai keadilan, persatuan, kebersamaan dan kesetaraan sangat dijunjung tinggi.
Apabila unsur dan komponen ini terpenuhi, diharapkan akan terwujud negara yang ideal seperti yang digambarkan dalam konsep “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.” Namun Konsep Baldah Thayyibah, atau konsep masyarakat ideal ini, tidak mungkin berjalan efektif dan berdaya guna tanpa didukung oleh berbagai aspek, antara lain :
- Politik Akhlaqul Karimah: Sistem politik yang dijalankan dengan integritas, kejujuran, dan sesuai dengan nilai-nilai moral. Akhlakul karimah dalam politik memastikan kebijakan yang diambil berpihak pada kepentingan rakyat dan menjaga keadilan.
-
Ekonomi Penuh Berkah: Sistem ekonomi yang adil, seimbang, dan memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat berbasis keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan keadilan sosial bagi oligarki ataupun golongan elite tertentu. Ekonomi yang berkah adalah ekonomi yang menjauhkan segala yang haram dan non ribawi, yang dijalankan dengan cara-cara yang etis dan sesuai dengan prinsip-prinsip agama.
-
Interaksi sosial ruhama : Hubungan antarwarga yang harmonis, saling menghormati, dan gotong-royong, berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Interaksi sosial yang baik akan menciptakan masyarakat yang solid dan bersatu sesuai asas Bhineka Tunggal Ika. Bahwa berbeda tidak berarti bermusuhan.
Dengan dukungan ketiga aspek ini, diharapkan tercipta negeri yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan diridhai Allah Swt. Terhindar dari konflik sosial berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Akan tetapi patut dipertanyakan, apakah pernyataan Prabowo tentang Baldah Thayyibah ini serius ataukah hanya retorika, sekadar jargon politik pencitraan? Kita semua, rakyat Indonesia akan memantau, apakah Presiden Prabowo komitmen dengan sumpah jabatannya dan konsisten untuk memenuhi janji politik yang ingin merawat demokrasi dan membangun Baldah Thayyibah?
Sumpah jabatan adalah janji setia yang wajib ditepati. Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa tidak menepati janji seorang muslim, niscaya ia mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan tebusan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
HARAPAN BARU
Sejarah mengabarkan, Khalifah Umar bin Khathab adalah sosok pemimpin yang berhasil membangun dan meletakkan dasar-dasar ekonomi yang kokoh berbasis iman dan Tauhid kepada Allah. Khalifah yang bergelar Al-Faruq, orang yang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, sangat terkenal dengan pengawasan melekat terhadap rakyatnya. Ketegasannya terhadap orang-orang yang melakukan penyimpangan, khususnya apabila pelaku penyimpangan itu adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kepentingan publik, seperti kepala daerah, hakim, polisi, dan pemungut pajak/zakat, sangat inspiratif.
Umar bin Khathab pernah mengatakan, bahwa kerusakan sistem pemerintahan dan dikuasainya berbagai urusan oleh orang-orang rakus, fasik alias durhaka merupakan sebab kehancuran pilar-pilar negara.
“Suatu negeri akan hancur meskipun makmur,” kata beliau. Ada yang bertanya, “Bagaimana suatu negeri akan hancur sedangkan dia makmur?” “Jika para pengkhianat menjadi petinggi negara, ekonomi dan keuangan negara dikuasai oleh orang-orang fasik (serakah),” tegas Umar bin Khathab.
Dalam kaitan ini, kita menyaksikan terdapat paradoks dalam Kabinet Merah Putih rezim Prabowo – Gibran. Di satu sisi, dalam 10 tahun terakhir, bangsa Indonesia diamuk oleh berbagai problem hampir dalam segala strata: sosial, moral, politik, ekonomi, juga hukum. Sementara masyarakat terpuruk dalam mentalitas spekulatif, terbiasa jadi konsumen pinjol (pinjaman online), penadah bansos (bantuan sosial) dan penikmat judol (judi online)
Disisi lain, kabinet Merah Putih diidentifikasi sebagai “Kabinet Residivis,” karena 18 menteri warisan kabinet Indonesia Maju masih dipertahankan. Secara spesifik, ditengarai terdapat 5 dari 7 Menko dijabat sosok bermasalah, tersandera kasus korupsi warisan kabinet Indonesia Maju Jokowi, mengapa masih dipertahankan di
kabinet Merah Putih Prabowo? Bahkan disinyalir di antara mentri dan wamen ini ada yang jadi backing mafia judi online.
Dengan track record kepemimpinan nasional yang buruk seperti ini, tanpa adanya evaluasi dan koreksi oleh Presiden yang baru, maka harapan Indonesia menjadi Baldah Thayyibah, negara yang adil dan beradab, niscaya sulit diwujudkan. Sangat memalukan, tentu saja, apabila di bawah pemerintahan Prabowo, predikat bangsa pengecut, sebagaimana dikesankan Presiden RI ke- 4 Abdurrahman Wahid, benar adanya. “Bangsa ini pengecut, tidak berani menghukum yang salah,” kata Gusdur.
Belum cukupkah nasib derita menimpa bangsa Indonesia, selama 10 tahun kekuasaan Presiden Joko Widodo? Apakah Indonesia Paradoks, seperti kritik Presiden Prabowo sendiri dalam bukunya Paradoks Indonesia: “Negeri kaya raya, tapi rakyatnya menderita,” akan dibiarkan terus menimpa negeri ini?
Harapan kita, Indonesia ke depan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi Baldah Thayyibah yang demokratis, seperti disebutkan dalam pidato pelantikannya. Bukan Indonesia paradoks, dimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berubah menjadi keadilan sosial hanya bagi oligarki dan golongan elite tertentu.
Oleh karena itu, disini hendak disampaikan firman Allah Swt yang artinya :
“Kamilah yang menghidupkan yang mati. Kamilah yang mencatat setiap perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia dan pengaruh baik atau buruk dari perbuatan itu sepeninggalnya. Semuanya itu Kami catat dengan teliti pada buku catatan amal yang mudah dibaca oleh pelakunya kelak di akhirat.” (QS. Yasin [36] : 12)
Lugas dan tegas, ayat ini menyatakan, bahwa setiap orang bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan dan perkataan yang telah diucapkan. Pahala dan siksa yang akan diterimanya sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya. Pengaruh baik maupun buruk atas perbuatan maupun ucapannya terhadap rakyat akan menjadi beban dan tanggung jawabnya di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagai Presiden, Anda memimpin 280 juta lebih rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, yang bisa dipengaruhi oleh setiap tindakan, kebijakan, atau ucapan yang Anda keluarkan. Bila ternyata pengaruh yang melekat pada rakyat adalah perilaku yang jelek, berdosa dan menyalahi konstitusi maupun kitab suci, maka dosa 280 juta rakyat Indonesia, ditambah dosa pribadi dan para pejabat negara, niscaya akan menjadi tanggungjawab Presiden dan Wakil Presiden.
Wallahu a’lam bis shawab!
Yogyakarta, 20/11/2024
(ameera/arrahmah.id)