Oleh: Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Judi online alias judol makin merajalela dan meresahkan. Bagaimana tidak, penyakit masyarakat ini semakin diberantas bukannya berkurang terlebih hilang, yang ada justru terus bermunculan dan menyasar hampir semua kalangan masyarakat.
Lebih miris ketika didapati bahwa mereka yang semestinya bertugas memberantas judol justru menjadi pelindung keberlangsungan aktivitas haram tersebut. Sebagaimana diberitakan media viva.co.id (1/11/2024) dari sebanyak 11 orang yang telah diamankan Polda Metro Jaya, beberapa di antaranya tercatat sebagai pegawai dan staf ahli di lingkup Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi). Menteri Komdigi Meutya Hafid menyatakan bahwa pihaknya akan tegas dalam upaya membersihkan jaringan judol meski harus berhadapan dengan pejabat dan staf yang ada di bawah otoritasnya.
Beberapa waktu sesudahnya ditangkap kembali berturut-turut 4 orang, lantas 2 tersangka lainnya. Dari total 17 pelaku, 11 merupakan pegawai Kemkomdigi, 4 warga sipil, dan 2 yang terakhir belum diidentifikasi apakah aparatur negara atau masyarakat biasa. (Kompas.com, 10/11/2024)
Modus Judol agar Tidak Terendus
Sebelumnya mungkin masyarakat demikian resahnya dengan judol yang seolah tak pernah ada habisnya. Namun dengan mencuatnya kasus ini jawaban pun mulai terkuak. Staf hingga pejabat Kemkomdigi yang sejatinya diberi kewenangan mengakses situs, akun, hingga web yang ada di dunia maya lantas ditugaskan untuk memblokir semua yang terdeteksi menjalankan aktivitas judi online, justru merekalah yang berkhianat. Kewenangan dan amanah tidak mereka pergunakan serta jalankan dengan baik. Yang ada malah disalahgunakan dengan motif meraup materi.
Tampak betapa modus perlindungan terhadap akun-akun judol agar tetap beroperasi terbilang rapi dan terorganisasi dengan baik. Berdasarkan pengakuan pelaku, oknum Kemkomdigi merekrut 8 pekerja sebagai operator dalam rangka menjalankan aktivitas pengurusan 1.000 situs judi online. Semua situs tersebut “dibina” oleh kedelapan operator agar bisa berkelit dari pemblokiran.
Seperti diketahui sebelumnya bahwa telah dilakukan penangkapan dan penggeledahan sebuah ruko yang menjadi markas satelit judi online di bilangan Kota Bekasi, Jawa Barat pada Jumat (1/11/2024). Salah satu tersangka yang ditangkap menyebut terdapat 5.000 situs judol yang seharusnya diblokir. Namun, 1000 situs justru mendapat “pembinaan” sehingga tidak ikut diblokir. Masing-masing web yang “dibina” tersebut wajib menyetor Rp8,5 juta agar aktivitas judol tetap aman tanpa diblokir.
Terjalnya Jalan Pemberantasan Judol
Berikut beberapa persoalan yang mendukung terjalnya jalan yang harus dilewati demi terberantasnya judol secara tuntas.
Persoalan pertama berupa keimanan dan kesadaran individu masyarakat saat ini yang tampak demikian tipisnya. Hal ini diperlihatkan dengan kenyataan betapa judi online tetap ada bahkan kian semarak. Padahal agama mayoritas di negeri ini adalah Islam. Di mana di dalamnya perihal judi itu terkategori aktivitas haram. Begitupun dengan dampak-dampak buruk dan merusak dari judi, baik offline terlebih online setiap saat menghiasi pemberitaan.
Persoalan kedua adalah kondisi kehidupan yang kian menghimpit, pekerjaan makin sempit, pemenuhan atas kebutuhan sehari-hari pun demikian sulit. Di tengah situasi ini munculnya aneka pemainan judi ibarat setitik harapan untuk bisa mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Ada asa bisa meraih materi dengan jalan mudah dan instan, padahal itu hanya mimpi belaka.
Di sisi lain kemudahan teknologi internet yang ada saat ini memunculkan beragam permainan yang sesungguhnya hanyalah bungkus aktivitas judi online yang melenakan. Di antara mereka ada yang sadar tengah bergelimang dalam permainan dosa, tetapi tidak sedikit juga yang tanpa sadar terjebak dalam labirin judi online.
Persoalan ketiga berupa lemahnya penegakan hukum yang ada. Fakta-fakta miris berupa tebang pilih dalam penutupan situs judol, aparat yang bisa disogok bahkan menjadi beking, dan mekanisme sanksi yang tak menjerakan.
Sistem dan Lifestyle Sekuler Kapitalistik Biangnya
Persoalan demi persoalan yang mendukung terjalnya jalur pemberantasan judi online sesungguhnya disebabkan sistem hidup dan lifestyle sekuler kapitalistik. Dalam sistem hidup sekuler agama dijauhkan dari kehidupan. Lifestyle pun pada akhirnya hanya mengikuti selera dan jauh dari rasa takut akan dosa ketika melanggar aturan agama. Mulai dari masyarakat yang terjerat judol serta penyedia situs hingga oknum aparatur negara yang mencari “jalan rezeki” melalui jalur haram.
Negara dalam sistem kapitalisme pun gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Problem kemiskinan sistemik dan struktural menjadi satu pendukung merebaknya judol.
Negara juga dalam hal ini abai dalam membina masyarakat dan aparatur negara agar memiliki keimanan yang teguh dan terdidik dengan pemahaman Islam. Konsep pendidikan sekuler yang diberlakukan justru menjauhkan masyarakat dari iklim keimanan dan ketakwaan. Kecanggihan teknologi yang ada pada akhirnya tak mampu dikendalikan berdasarkan konsep keimanan dan ketakwaan. Semakin merebaklah permainan-permainan semisal judi online dengan beragam bentuknya.
Berantas Tuntas Judi Online dengan Islam
Pemberantasan judi baik offline maupun online sampai kapan pun akan menghadapi jalan terjal berliku jika terus dilakukan dalam sistem kapitalisme sekuler. Lain halnya dengan Islam. Dalam Islam, aktivitas judi diharamkan secara tegas. Dan apabila diberlakukan tata aturan dan sistem Islam secara menyeluruh maka dijamin judi akan terberantas sampai akarnya.
Hal ini pernah terbukti ketika Islam diterapkan dalam setiap lini kehidupan. Dalam sistem Islam keharaman judi bersanding dengan haramnya miras. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 90, “Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung.”
Pemberantasan judi dilakukan melalui 3 pilar, yakni ketakwaan individu, peran masyarakat, juga ketegasan negara dalam membina dan memberlakukan aturan Islam yang menyeluruh di tengah masyarakat.
Individu yang bertakwa akan senantiasa menimbang semua perilakunya hanya berdasarkan rida dan magdhub (kebencian) dari Allah. Apa yang Allah ridai maka akan mereka kerjakan, sementara yang Allah benci tentu akan ditinggalkan. Keimanan mereka demikian kuatnya tertancap dalam diri bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, untuk dipertanggungjawabkan kelak di Yaumul Akhir yang maha abadi. Maka godaan dunia berupa kesenangan, permainan yang melenakan, hingga limpahan harta jika akan menghasilkan kebencian dari-Nya tentu tidak akan mereka pilih.
Masyarakat dalam sistem Islam akan senantiasa saling bahu membahu dalam kebaikan, saling ingat mengingatkan dalam perkara kebenaran dan kesabaran. Amar makruf nahi mungkar menjadi budaya yang tak terpisahkan di tengah masyarakat. Bukan budaya individualistik dan liberal sebagaimana biasa didapati dalam masyarakat sekuler kapitalistik seperti saat ini.
Peran ketiga adalah negara. Negara memiliki peran sentral dalam upaya pemberantasan judi online. Negara akan memberlakukan syariat Islam dalam semua kebijakan dan undang-undangnya. Judi sebagai salah satu aktivitas haram akan dilarang dalam undang-undang. Negara dalam hal ini akan mengerahkan semua aparatur dan lembaga yang ada di bawahnya untuk bersinergi menutup setiap celah kemunculan judi. Mekanisme sanksi yang tegas disiapkan oleh negara sebagai bentuk keseriusan menghilangkan setiap aktivitas yang dapat merusak masyarakat semisal judi.
Bentuk sanksi dalam sistem Islam terhadap pelaku judi juga bandarnya berupa takzir. Sanksi ini diberlakukan bagi pelanggar syariat yang kadarnya tidak ditentukan secara khusus oleh nas syarak. Maka dari itu Islam menetapkan qadhi (hakim syariat)-lah yang diberi kewenangan menjatuhkan kadar hukumannya. Dalam kitab Nizhamul ‘Uqubat karya Syekh Abdurrahman al-Maliki menyebutkan terkait hukum takzir bagi pelaku judi mengikuti kaidah umum ini, “Setiap orang yang memiliki harta dengan satu akad dari berbagai akad yang batil, sedangkan dia mengetahui, maka dia dihukum dengan hukuman cambuk (maksimal 10 kali cambukan) dan dipenjara hingga 2 tahun.”
Adapun untuk bandar judi, hukumannya bisa lebih berat lagi, tergantung tingkat dan kadar dampak buruk yang dihasilkannya. Sanksi takzirnya bisa berupa dicambuk (al-jild), dilakukan pemusnahan barang bukti kejahatan (itlaf al-mal), dipenjara (al-habs), disalib (ash-shalb), bahkan hingga dihukum mati (al-qatl).
Kesejahteraan bagi semua lapisan rakyat pun menjadi prioritas negara dalam tanggung jawabnya. Dengan sistem politik ekonomi Islam, kesejahteraan yang berkeadilan dapat terwujud dengan baik. Dalam suasana rakyat yang sejahtera, potensi munculnya perilaku maksiat semisal judi pun diminimalisasi bahkan ditiadakan.
Dengan penerapan aturan Islam yang sempurna (kaffah) dalam bingkai sistem kehidupan Islam maka tiada lagi akan didapati tindak pidana judi online yang terus marak karena mendapat perlindungan dari aparat. Wallahua’lam bis shawwab