Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
Indonesia baru saja mengukuhkan pemimpin baru pada 20 Oktober kemarin. Ya, Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik. Berbagai kontroversi yang mengikuti sepanjang perjalanan terpilihnya keduanya itu pun masih berlanjut yakni saat kabinet Merah Putih yang dibentuk Prabowo sangat gemuk karena banyak penambahan jumlah menteri plus wakilnya.
Dilansir oleh bbc.com (21/10/2024), Kabinet Prabowo dikatakan sebagai kabinet paling gemuk sejak Orde Baru hingga reformasi. Sebagaimana diketahui bahwa Presiden Prabowo Subianto telah melantik jajaran menteri dan wakil menteri pada Senin (21/10), yakni sebanyak 48 menteri dan 56 wakil menteri dalam Kabinet Merah Putih.
Gemoynya cabinet Prabowo, disoroti oleh media asing di antaranya Reuters. Dalam artikelnya yang berjudul Indonesia’s Prabowo to swear in cabinet of over 100 ministers, deputies, kantor berita Inggris tersebut melaporkan kabinet Prabowo-Gibran diisi oleh 48 menteri dan lebih dari 100 wakil menteri. Tak hanya itu, pengangkatan beberapa orang dengan jabatan “Utusan Khusus Presiden” juga tak kalah menghebohkan, di antaranya selebritas Rafi Ahmad yang diangkat menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Selain itu, Gus Miftah diangkat menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Selain itu, ada lima utusan khusus lainnya. Salah satunya putri Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Zita Anjani. Zita menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Pariwisata. Lalu ada Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono yang menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan. Kemudian, Setiawan Ichlas yang menjadi tusan Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Perbankan. Ahmad Ridha Sabana menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Ekonomi Kreatif dan Digital. Sementara itu, Mari Elka Pangestu menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan. Jabatan utusan khusus diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024. Peraturan itu menyebut utusan khusus mendapatkan fasilitas keuangan setara menteri. (cnnindinesia.com, 22/10/2024)
Penguasa Gemoy, Rakyat Letoy
Aroma bagi-bagi kursi tercium sangat kuat dalam pengangkatan pejabat di Kabinet Merah Putih ini. Hal tersebut makin mengukuhkan bahwasannya sistem politik demokrasi memang memberi ruang untuk hal tersebut. Betapa tidak, sistem demokrasi memang meniscayakan adanya mahar politik yang mengantarkan para calon dapat meraih tampuk kekuasaan yang tentu saja tak gratis. Pada akhirnya penguasa dan pengusaha pun saling berkolaborasi. Inilah yang dinamakan rezim oligarki. Jika sudah begitu, apakah rakyat menjadi perhatian utama untuk diurus dan dilayani?
Kenyataannya rezim oligarki hanya akan memuluskan kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bahkan tak segan-segan menumbalkan kesejahteraan rakyat. Gemoynya jajaran Kabinet Merah Putih saja menunjukkan betapa rezim ini tak berpihak kepada rakyat. Betapa tidak, dari mana para pejabat tersebut akan mendapat gaji jika bukan dari uang rakyat? Sungguh ironis! Rakyat akan terus ditekan dengan berbagai pungutan pajak, sementara penguasa sibuk lobi-lobi demi mendapat cipratan cuan dari sana-sini.
Akhirnya nasib rakyat kian letoy alias lesu. Negara dalam cengkeraman rezim oligarki tidak akan seutuhnya hadir untuk rakyat karena secara konsep asasinya rezim ini bekerja untuk para kapitalis, bukan untuk rakyat. Lantas jika sudah begini, perubahan yang diharapkan tentu jauh dari kenyataan.
Islam Jalan Perubahan
Sungguh, jabatan sebagai penguasa merupakan amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Dalam Islam, penguasa adalah wakil umat dalam menerapkan syariat Islam secara praktis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi, penguasa bukanlah sebuah jabatan untuk mengeruk kekayaan pribadi, melainkan jabatan yang bernapaskan pengabdian kepada umat. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-orang yang benar-benar ikhlas dan amanah dalam menjalankan perannya sebagai penguasa dan pejabat publik.
Dengan demikian, penguasa dan pejabat haruslah yang memiliki keahlian atau kapabilitas yang sesuai dengan bidang yang ditempatinya. Rasulullah saw pernah mengingatkan hal ini dalam hadisnya:
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. (HR. Bukhari)
Selain itu, dibutuhkan pula penguasa yang berkarakter yakni memiliki sifat amanah. Adapun amanah ini lahir dari adanya ketakwaan di dalam diri seseorang. Dengan ketakwaan itulah ia akan merasa takut dalam melakukan kemaksiatan, termasuk ketika melakukan kezaliman dan ketidakadilan kepada rakyatnya. Sifat amanah akan menjaga penguasa dari penyimpangan dalam jabatannya. Ia akan benar-benar menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan apa yang digariskan oleh syariat.
Misalnya dalam pengelolaan SDA, negara akan secara mutlak mengelolanya untuk kemudian hasilnya diserahkan untuk kemaslahatan rakyat, bukan malah menyerahkannya kepada pihak swasta, baik lokal maupun asing. Karena dalam pandangan Islam, SDA yang depositnya tidak terbatas merupakan harta kepemilikan umum yang haram diprivatisasi demi kepentingan segelintir orang. Negara lah yang wajib mengelolanya dan mengembalikan keuntungannya dalam bentuk pelayanan kepada rakyat, misalnya pendidikan gratis dan kesehatan gratis.
Oleh karena itu, jika menginginkan perubahan yang hakiki maka hanya dengan menerapkan syariat Islamlah satu-satunya jalan, bukan dengan sistem kapitalisme sekuler yang justru akan membawa negeri ini dalam kubangan penderitaan yang kian dalam. Sungguh, Islam hadir sebagai rahmat bagi semesta alam, maka sudah tentu ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, kesejahteraan dan keadilan akan terwujud secara nyata.
Allah Swt berfirman dalam surah An-Nisa: 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”