IDLIB (Arrahmah.id) — Kian banyak warga Suriah melarikan diri dari bom Israel di Lebanon untuk kembali ke rumah, pasukan Suriah malah memorot uang mereka di tiap pos penyeberangan.
Dilansir DW (10/10/2024), perjalanan dari Lebanon untuk kembali ke Suriah panjang dan sulit dan, menurut mereka yang telah melakukannya, semakin mahal.
Pria Suriah Khaled Massoud dan keluarganya butuh waktu tujuh hari dan uang sebesar $1.300 atau sekitar Rp20 juta agar bisa mencapai tempat yang aman di Suriah utara. Mereka melarikan diri dari pengeboman Israel di Lebanon.
Keluarganya beranggotakan enam orang, ditambah keluarga putrinya. Mereka kini berada di kamp pengungsi dekat Maarat Misrin, utara Idlib, di daerah yang dikuasai oleh pasukan oposisi antipemerintah.
Massoud adalah salah satu dari banyak orang. Pekan ini, kepala badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Filippo Grandi, mengatakan sedikitnya 220.000 orang telah menyeberang dari Lebanon ke Suriah, menyusul pemboman Israel. Sekitar 80% dari mereka adalah warga Suriah. Sementara pihak berwenang Lebanon memperkirakan sebanyak 400.000 orang telah mengungsi ke Suriah.
Bagi warga Suriah yang kembali ke negara mereka sendiri, menyeberangi perbatasan dari Lebanon bukanlah hal yang mudah. Sejak 2011, Suriah dilanda perang saudara antara pemerintah Bashar Assad dan pasukan antipemerintah.
Siapa pun yang melarikan diri dari negara itu selama perang akan dicurigai, dan dipandang sebagai pengkhianat rezim Assad.
Jadi, bagi banyak warga Suriah, menuju ke daerah yang masih dikuasai oleh kelompok oposisi antipemerintah adalah pilihan yang lebih aman. Hampir semua orang yang datang ke sini mengambil jalan pedesaan.
Untuk sampai ke pedesaan yang dikuasai oposisi di sekitar Idlib, orang-orang harus melewati tiga zona berbeda yang dikuasai oleh tiga pasukan keamanan yang berbeda: zona pemerintah Suriah, pasukan sekutu Turki, dan pasukan keamanan Kurdi-Suriah, sebelum akhirnya menyeberang ke wilayah yang dikuasai oposisi Suriah. Untuk bisa lanjut, perlu ada uang pelicin.
Seiring pengeboman oleh Israel ke Lebanon, pergerakan pengungsi di perbatasan pun menjadi bisnis yang menguntungkan.
“Setiap pos pemeriksaan akan mengambil apa yang diinginkannya,” kata Hadi Othman, 20 tahun, warga Suriah yang baru saja melakukan perjalanan kembali ke Idlib. “Lebih seperti bisnis, dan berapa banyak yang mereka minta, suka-suka mereka saja.”
Othman dan yang lainnya mengatakan kepada DW bahwa tiap orang membayar antara $300 dan $600 (sekitar Rp4,6 juta hingga Rp9,3 juta) untuk kembali ke wilayah yang dikuasai oposisi.
Setiap perjalanan berbeda, kata sumber DW, penduduk setempat mengetahui cara kerja sistem tersebut. Ia mengatakan kepada DW bahwa berbagai cabang militer Suriah bekerja sama dengan milisi lain, termasuk pasukan Kurdi-Suriah, yang menguasai jalan, untuk memfasilitasi pembayaran tersebut.
Sering kali, pengungsi Suriah dilecehkan, diserang, atau bahkan ditangkap, sumber tersebut menambahkan. Menurutnya, jika bisa membayar, barulah mereka bisa melanjutkan perjalanan.
Awal minggu ini, media independen Suriah Al Jumhuriya melaporkan sedikitnya 40 pemuda yang baru kembali dari Lebanon ditangkap di stasiun bus di Damaskus.
“Orang-orang takut, lelah, dan mencari tempat tinggal. Jika perang di Lebanon tidak lebih buruk daripada situasi di Suriah, mereka akan tetap tinggal di sana, meskipun ada rasisme,” kata sumber tersebut.
“Kini mereka dianggap sebagai uang dolar berjalan. Orang-orang yang meminta uang kepada mereka menuduh mereka sebagai pengkhianat dan mengatakan bahwa mereka kaya.”
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, sekitar 470 keluarga yang terdiri dari sekitar 2.500 orang, dan 200 pria lajang telah tiba di wilayah yang dikuasai oposisi. Masih banyak lagi yang sedang dalam perjalanan.
Jika jumlah rata-rata uang yang dipungut yang dikatakan para pengungsi itu benar, ada kemungkinan berbagai pihak pasukan keamanan telah memeras lebih dari satu juta dolar dari pengungsi Suriah yang datang dari Lebanon.
Biaya ini bukanlah kecil bagi kebanyakan warga Suriah yang mengungsi ke Lebanon karena perang saudara. Di sana, 90% warga Suriah hidup dalam kemiskinan dan mereka yang bisa bekerja secara legal menghasilkan sekitar $95 sebulan dari pekerjaan sambilan, menurut PBB. Undang-undang Lebanon tidak memperbolehkan para pengungsi Suriah bekerja.
Othman mengatakan dia tinggal di Lebanon sejak 2012, setelah melarikan diri dari kampung halamannya di Binnish, di bagian barat laut Suriah.
“Namun, hidup di Lebanon sangat sulit,” katanya kepada DW. “Dolar mahal, dan kondisi ekonomi buruk. Kami hidup dengan upah minimum dan tidak punya tabungan.”
Di persimpangan Aoun al-Dadat, yang menghubungkan Kota Jarablus yang dikuasai oposisi dan Kota Manbij, yang dikuasai pasukan Kurdi, Othman mengatakan biaya pos pemeriksaan yang dikenakan di sana seharga $10.
“Namun, di sana kami berdemonstrasi, dan tidak ada yang membayar,” kenangnya, menjelaskan bagaimana massa yang marah memprotes dan kemudian menerobos perbatasan tanpa membayar biaya apa pun.
“Kami bersyukur kepada Tuhan karena kami berhasil kembali ke sini,” kata Othman. “Kami lelah, tetapi yang penting adalah kami telah mencapai desa, dan sekarang kami akan tinggal di rumah sendiri.”(hanoum/arrahmah.id)