Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Nyaring terdengar wacana pemerintahan era Prabowo Subianto-Gibran kelak dikabarkan akan menambah kementerian. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani membenarkan adanya proyeksi kabinet gemuk masa pemerintahan Prabowo-Gibran yang dinilai akan lebih efektif, sebab fokus kementerian akan lebih terpusat.
Lebih lanjut ia menilai, kalangan profesional untuk mengisi kabinet zaken (sebuah istilah dalam sistem pemerintahan yang merujuk kepada kabinet yang dibentuk bukan berdasarkan komposisi partai politik. kabinet ini biasanya terdiri dari para ahli atau professional) tak harus dari unsur non-partai politik. Sebab profesional bisa saja datang dari partai politik. Artinya, dia memang ahli di bidangnya, namun secara politisi terafiliasi oleh satu partai politik yang berkoalisi. (antaranews.com, 17 September 2024)
Penggemukan kementerian yang menjadi agenda Prabowo-Gibran turut diaminkan Dewan Perwakilan Rakyat yang mengesahkan Rancangan Undand-undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR ke-7 masa persidangan I Tahun Sidang 2024-2025. Sedikitnya terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut, satu di antaranya yakni mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden.
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menyatakan, penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintah Prabowo Subianto. Padahal menurut Castro jumlah kementerian 34 sebagaimana aturan sebelumnya pun terlalu banyak. Senada dengan Castro, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat, dengan menambah pos kementerian merupakan langkah yang keliru. (cnnindonesia.com, 20 September)
Politik Balas Budi dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme
Seperti yang sudah santer diberitakan, bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran berambisi menambah jumlah menteri dalam rangka memperkuat koalisi politik dengan cara memberikan lebih banyak kursi kabinet kepada partai-partai koalisi atau pihak-pihak yang mendukung. Sehingga memperkuat dukungan politik, stabilitas pemerintahan, sekaligus untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antar partai-partai politik.
Proyeksi penambahan kementerian yang digadang-gadang akan dimulai masa pemerintahan Prabowo-Gibran, jelas membutuhkan banyak orang. Tentu saja konsekuensinya kebutuhan dana untuk menggaji para menteri semakin besar. Hal ini beresiko bertambahnya utang negara dan naiknya pajak. Namun resiko sepertinya ini tak menjadi perhatian para elit politik di bawah pemerintahan yang baru malah terkesan terburu-buru dalam mengesahkan RUU untuk memuluskan wacana penggemukan kementerian Prabowo.
Meskipun dibantah bahwa menambah para menteri bukanlah bagi-bagi kursi kekuasaan melainkan sebagai kabinet zaken (kabinet yang dibentuk tanpa melihat jumlah kursi di parlemen) yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan gambaran dari suatu parpol. Akan tetapi aroma busuk politik transaksional begitu terlihat, seolah-olah mereka yang terpilih karena keahliannya, padahal bisa jadi mereka adalah orang-orang yang direkomendasikan oleh parpolnya.
Jika sudah demikian, celah keburukan akan semakin terbuka lebar di depan mata, di antaranya tumpang tindihnya jobdesk tiap-tiap menteri termasuk dalam membuat kebijakan. Sehingga keputusan yang dibuat tidak akan efektif dan efisien. Juga dapat membuka celah korupsi yang begitu besar, mulai dari menteri, kepala daerah, hingga pejabar-pejabat daerah di bawahnya. Sehingga dari keburukan inilah rakyat hanya bisa gigit jari dan akan menanggung akibatnya.
Begitulah kondisi perpolitikan yang dilahirkan demokrasi, pembagian keuntungan di antara para politisi dan para pendukungnya menjadi hal yang biasa terjadi. Penguasa dengan posisinya mampu membagi-bagikan hidangan lezat bagi mereka yang berperan serta dalam mendukungnya. Seperti jabatan menteri atau komisaris BUMN, tanpa mempertimbangkan kelayakan dan kemampuannya. Akibtanya, BUMN tak sedikit mengalami kerugian, bahkan terancam bangkrut.
Kepemimpinan Dalam Islam
Berbeda dengan demokrasi, di mana jabatan dan kekuasaan menjadi bancakan elit parpol, dalam sistem Islam justru menjadikan jabatan jarang diminati karena besarnya tanggung jawab di hadapan Allah kelak. Islam menetapkan penguasa (khalifah) adalah pelayan dan pelindung bagi rakyatnya. Khalifah bertanggung jawab dalam menjaga harta, nyawa, kehormatan, akal, dan akidah setiap warga negaranya. Karena khalifah paham bahwa kepemimpinannya merupakan amanah yang akan dihisab di akhirat kelak.
Sistem pemerintahan Islam secara tegas menjelaskan bahwa kekuasaan bukanlah milik pribadi atau kelompok seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi. Secara keseluruhan tidak ada pembagian kekuasaan dalam pemerintahan Islam sebab semua terpusat pada satu pemimpin, yakni khalifah. Pemimpin bertanggung jawab atas urusan politik dan pemerintahan sesuai syariat Islam dan bertanggung jawab sepenuhnya atas keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Adapun para pejabat yang membantu khalifah, mereka adalah orang-orang yang paham bahwa tugasnya membantu menyelesaikan persoalan di tengah-tengah masyarakat sesuai arahan khalifah.
Dalam sistem Islam tidak dikenal istilah kementerian. Khalifah di bawah tuntunan akidah dan syariah bertanggung jawab penuh atas semua tugas pokok kepemimpinan. Ia boleh mengangkat para pembantunya sesuai kebutuhan, sehingga amanah kepemimpinan berjalan efektif dan efisien sesuai jobdesk yang diamanahkan. Para pembantu khalifah akan dipilih secara ketat dengan syarat-syarat yang merujuk pada syariat, yakni ahli dan amanah. Oleh karena itu, tidak akan ada saling sikut demi meraih kursi jabatan.
Demikianlah perbedaan sistem Islam yang menjaga dan menjadikan pemimpinnya sebagai sosok pelayan dan pelindung seluruh rakyat. Karena memahami jabatan yang diembannya merupakan amanah berat yang hanya layak diterima oleh mereka yang memiliki kapabilitas untuk melaksanakan tugas berdasarkan tuntunan syariat. Jjabatan dalam Islam sebagai sarana untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala dan pahala terutama mereka yang bisa menjalankannya dengan adil. Sebagaimana sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai pleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi). Sementara jabatan dalam era sekulerisme kapitalisme merupakan sarana meraup untung secara materi di samping status sosial.
Wallahua’lam bish shawab.